Berita
Ruh Islam Adalah Cinta
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai bentuk Kasih-Sayang dan Cinta-Nya sekaligus rahmat bagi semesta alam. Inilah inti dari semua ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Kesadaran akan ruh Islam yang penuh cinta inilah yang harus selalu ditanamkan dan diduplikasi. Terlebih di tengah tantangan makin menyebarnya paham-paham kebencian yang mengatasnamakan Islam saat ini.
Untuk lebih memahami hal-hal tersebut, berikut wawancara ABI Press dengan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.
Bisa Prof. Nasaruddin jelaskan apa sebenarnya inti ajaran Islam?
“Kitab suci Islam adalah Alquran. Kalau dipadatkan 6066 ayat itu jadi satu kata, maka kata itu adalah cinta. Dan dalam Alquran itu terdapat satu surah al-Fatihah, yang dikenal juga sebagai Ummul Kitab, karena kalau dikumpulkan, dipadatkan seluruh kitab-kitab, Taurat, Injil, Zabur, dan seluruh suhuf-suhuf yang lain termasuk suhuf Ibrahim, maka intinya adalah surah al-Fathihah. Intinya surah al-Fatihah adalah ar-Rahman ar-Rahiim. Dan asal kata ar-rahman ar-rahim satu kata juga yaitu rahima, cinta.”
“Jadi seluruh kitab suci termasuk Alquran, kalau semua dipadatkan, akhirnya menajdi satu kata, yaitu cinta.”
“Hanya saja kita orang Indonesia sulit memahami makna cinta dalam Alquran. Karena bahasa Indonesia itu ditakdirkan bukan menjadi bahasa spiritual. Cinta dalam Alquran itu memiliki 14 makna. Begitu diterjemahkan di Indonesia itu hanya (satu) cinta. Jadi rasa bahasanya yang bertingkat-tingkat ini tak bisa dipahami. Bahasa Persia bisa 4-6 makna. Jadi Bahasa Persia itu bahasa yang sangat spiritual. Mampu menjelaskan makna yang paling dalam. Bahasa Indonesia itu dalam hati kita tahu maknanya tapi kita sulit mengucapkannya dalam bahasa apa. Jadi bukan bahasa spiritual. Masih mentah. Bukan kita tak cinta bahasa Indonesia, tapi coba bandingkan dengan kamus bahasa Arab, 12 jilid, semeter. Dari ukurannya saja bahasa Arab lebih dalam.”
“Saya menghimbau kepada teman-teman, siapapun yang ingin memahami kedalaman ajaran cinta Islam, harus mendalami bahasa Arab dan bahasa Persi.”
Kalau ruh Islam itu adalah cinta, mengapa kita temukan orang-orang yang justru ber-Islam tapi penuh kebencian?
“Kalau cinta diformalkan itu bukan cinta. Seorang pencinta itu tidak membenci. Bagaimana ia membenci ketika seluruh tubuhnya dipenuhi dengan cinta sehingga tak ada ruang untuk membenci siapa pun? Yang ditolak cinta itu kalau diformalkan, kalau cinta hanya dalam standar-standar formal itu salah.”
Cinta yang diformalkan itu seperti apa?
“Contohnya ya orang yang hitam-putih. Gampang men-jugde orang. Kalau kita mencintai orang, berarti kita harus memaafkan. Kalau mencintai orang dalam batas tertentu yang lainnya ditolak, itu bukan cinta. Itu masih conditional love belum unconditional love. Yang unconditional love inilah cinta yang sejati. Unconditional love itu artinya, menerima kelemahan orang, sebagai manusia biasa. Tapi bada saat yang bersamaan dia mengakui kelebihan orang.”
“Jadi cinta bukan diukur dari luar, tapi dari dalam bekerjanya. ‘In loving,’ bukan ‘loving’. Kalau ‘love’ itu ada maunya. Kalau ‘in love’ itu saya dalam suasana batin mencintai kalian. Apakah Anda temen saya atau musuh saya, sama saja. Tidak ada benci di situ. Selama kita masih mengadopsi rasa jengkel, rasa benci, rasa kecewa, itu bukan cinta.”
“Ketika kita mencapai tingkat mahabbah, representasi al-Mudzin Allah, Allah Maha Menyesatkan, jadi kenapa kita harus membenci iblis? Iblis itu kan aktualisasi dari sifat Mudzin, Maha Menyesatkan-Nya Allah. kalau tidak ada iblis, bagaimana Allah sempurna. Hanya ada sifat-Nya tapi tak ada aktualisasi-Nya. Supaya teraktualisasi sifat-sifat Tuhan, maka ada al-Ghafur, al-Affu, maka harus ada pendosa. Kalau semua jadi malaikat, kata Rasulullah, pasti Allah akan ciptakan makhluk pendosa. Kalau gak ada yang berdosa, tidak jalan itu Asmaul Husna.”
Agar Muslim bisa mengaktualisasikan ruh cinta ini, apa yang mesti dilakukan?
“Saya kira, ‘barangsiapa berpikir tanpa tasawuf maka dia akan fasik’. Namun jangan lupa juga kalau ‘bertasawuf tanpa berpikir akan zindiq.’ Yang selamat adalah ‘barangsiapa yang menggabungkan keduanya itulah yang benar.’ Maka menurut saya tak boleh berat sebelah.”
“Fikih oriented itu melahirkan kebencian. Tetapi kalau tasawuf oriented itu juga melahirkan permisifme. Permisifme, serba memaafkan itu juga merusak. Tetapi fikih oriented yang terlalu hitam-putih itu juga masalah. Jadi yang paling bagus kedua-duanya harus seimbang.”
Bagaimana kita menghadapi orang yang terpapar kebencian?
“Ibnu Athaillah pernah mengatakan, orang yang kerjaannya hanya menyalahkan orang lain, pertanda masih harus belajar. Tapi kalau orang itu sudah mulai menginstropeksi diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, sudah tidak lagi. Kalau sudah sampai maqam tidak menyalahkan orang lain dan menyalahkan diri sendiri, sudah selesai belajar. Itu namanya orang arif, tak pernah mencari kambing hitam, kambing putih, tapi dengan tenang menyelesaikan persoalan tanpa menemukan titik kita berbeda.”
“Sayangnya di Indonesia banyak orang pintar, kurang orang arif. Kita perlu orang arif. Nah, hemat saya ke depan, perlu tasawuf. Kalau tidak, yang terjadi itu over maskulin pembangunan ini. Jadi kalau over maskulin dalam pembangunan, yang terjadi adalah pembabatan, penggusuran, penaklukan, dan sebagainya. Itu perlu ada unsur feminimnya. Karena itu tasawuf penting.”
“Tasawuf itu penting karena ia adalah upaya untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah dengan caranya masing-masing. Tasawuf itu bukan tarekat. Tarekat itu organisasi. Tasawuf itu siapapun yang mencintai Tuhan, mau mendekati Tuhan, dan siapapun yang menanamkan rasa Ilahi pada dirinya itu orang sudah bertasawuf. Walaupun dia anti tasawuf tapi kalau Cinta-Nya, Sayangnya, Damai-Nya, Indah-Nya, Jamaliyah-Nya terwujud dalam dirinya, maka itu sudah bertasawuf.”
Terakhir, apa pesan untuk masyarakat agar pemahaman ajaran cinta Islam ini tertanam dalam jiwa?
“Mari kita mendalami Alquran. Kalau hanya membaca Alquran secara permukaan, itu belum menangkap makna hakikat cinta dalam Alquran. Jadi mengapa Tuhan menurunkan 5 kali iqra itu? Iqra! iqra! iqra! Jadi iqra yang pertama, how to read. Iqra kedua how to learn. Iqra ketiga how to understand. Iqra keempat adalah, how to meditate. Dan ada iqra ke lima itu adalah iqra warabbal akram, itu mukassyafah.”
“Jadi, harus ada iqra. Jangan hanya berhenti di iqra pertama. Itu hanya membaca dulu. Lanjutkan ke iqra kedua, mengerti apa yang dibaca. Lanjutkan iqra ketiga, menghayati apa yang dibaca, dan seterusnya. Jangan sampai di situ, tapi harus menembus ke lapis-lapis berikutnya. Agar pemahaman ajaran cinta Islam itu menghunjam ke dada tiap-tiap diri kita.” (Muhammad/Yudhi)