Berita
Revolusi Mental dalam Perspektif Agama-Agama
Meski Pilpres sudah lama berlalu, namun slogannya masih saja menjadi bahan diskusi. Selasa (22/12), organisasi yang selama ini kerap mempromosikan interfaith dialog, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), kembali mengadakan diskusi publik Revolusi Mental dalam Perspektif Agama-Agama: Menemukan Landasan Teologis untuk Penguatan Revolusi Mental, di kantor Wahid Institute, Jakarta.
Diskusi siang itu dihadiri beberapa orang perwakilan; Ulil Abshar Abdallah dari Islam, Pendeta Albertus Patty dari Kristen, Jo Priastana dari Buddha dan Supri Suharsono dari agama Leluhur.
Jo Priastana menjelaskan bahwa banyak cara dan contoh revolusi mental di dalam ajaran Buddha, baik yang prosesnya cepat maupun lambat. Agar revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo saat kampanye Pilpres bisa dilaksanakan, dia mengatakan bahwa kuncinya adalah Bawana. Di dalam Buddha hal itu disebut sebagai Budidaya, yaitu mengembangkan nilai budi yang ada di dalam diri kita.
“Dari buruk menjadi baik, yang dipandang sebagai proses kimiawi,” ujar Jo.
Pendeta Albertus Patty dari perwakilan Kristen menyoroti revolusi mental bukan hanya mengubah batiniah di dalam saja, tapi sekaligus menciptakan perilaku yang baik, adil, damai dan menjunjung kesetaraan. Sehingga perilaku itu dapat memperngaruhi struktur politik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya.
Oleh karena itu, jika berbicara revolusi mental itu seharusnya tak hanya berbicara rentetan perbuatan, sikap, hati dan jalan hidup yang baik. Tapi juga memaparkan di dalam kebijakan struktural dan sistem ekonomi yang baik, adil dan penuh dengan perdamaian.
“Karena ndak ada gunanya kalau kita berlaku baik tapi tidak dilembagakan di dalam struktur-struktur itu,” tegas Patty.
Sementara Ulil menjelaskan bahwa mentalitas seharusnya ada di semua aspek kehidupan, terutama dalam kehidupan demokrasi, partai politik, dan juga dalam parlemen.
Sedangkan di dalam kultur masyarakat Indonesia, Ulil mengatakan bahwa agama masih menjadi hal yang sangat penting, sehingga untuk melakukan revolusi mental diperlukan peran agama di dalamnya. Maka revolusi mental perlu memikirkan kembali bagaimana agama dipahami di dalam masyarakat.
“Jadi kalau mau konkretnya seperti apa revolusi mental itu? Menurut saya salah satu pendekatannya adalah bagaimana cara masyarakat kita itu memahami agama,” terang Ulil. “Namun pertanyaannya saat ini adalah apakah masyarakat kita memahami agama sudah tepat atau belum?”
Salah satu anggota Pokja Revolusi Mental yang menjadi keynote speaker, Fajar Riza Ul Haq, menjelaskan tentang revolusi mental yaitu kepemimpinan presiden Joko Widodo saat ini menyagkut perbaikan fasilitas publik.
Dia juga menegaskan untuk tidak lagi meributkan tentang definisi dari revolusi mental yang digagas oleh Presiden Joko Widodo, sebab komitmen pemerintah saat ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik agar lebih cepat, transparan dan kalau bisa gratis.
“Kalau tiga hal ini tidak tercapai selama Joko Widodo memerintah, maka bisa dikatakan gagal revolusi mental itu,” pungkas Fajar. (Lutfi/Yudhi)