Berita
Reklamasi Semarang, Bali dan Jakarta: Berkah atau Bencana?
Dua pertiga wilayah bumi adalah lautan. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan, dan sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pesisir pantai. Sehingga, semestinya, lautan juga mendapat perhatian besar seperti halnya daratan. Kesalahan dalam memperlakukan lautan, dampaknya akan sangat besar bagi daratan.
Salah satu bentuk perhatian pada urusan laut adalah reklamasi. Ya, tentunya adalah reklamasi yang ideal sesuai fungsi dan tujuannya.
Banyak definisi tentang reklamasi, salah satunya adalah memperbaiki sesuatu yang rusak. Dalam arti lain, reklamasi adalah pemanfaatan kawasan berair yang tidak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Ada juga yang berpendapat, reklamasi merupakan pembuatan daratan baru dengan cara pengurukan di daerah perairan.
Namun dalam praktiknya, dampak reklamasi justru berbanding terbalik dengan tujuannya. Tentu bukan salah reklamasi itu sendiri, melainkan penerapannya yang tidak sesuai fungsi. Misal, reklamasi yang dilakukan di suatu wilayah yang seharusnya tidak direklamasi, reklamasi yang lebih mengedepankan pembangunan dan keuntungan bisnis ketimbang menjaga ekosistem dan keseimbangan alam.
Ada kalanya juga reklamasi dapat memberi keuntungan, di saat yang sama juga berdampak kerugian. Sebagai contoh, reklamasi yang terjadi di pantai utara Semarang. Khususnya reklamasi perluasan pelabuhan Tanjung Mas sejak tahun 1980-an. Bagi para pengembang dan pebisnis yang berkepentingan dengan pelabuhan ini, tentu sangat diuntungkan. Bagi masyarakat sekitar, tentu ini menimbulkan kerugian dan ancaman. Hal ini dapat dilihat dengan meluasnya banjir rob dan tergenangnya rumah-rumah warga sekitar pelabuhan yang tak lagi dapat ditempati. Belum lagi kerusakan ekologi yang tak terhitung jumlah kerugiannya.
Tak mau bernasib sama, di Bali, rencana reklamasi di Teluk Benoa ditolak warga secara berbondong-bondong. Tidak hanya warga Bali, di media sosial pun banyak yang mendukung penolakan reklamasi yang dianggap hanya menguntungkan pengusaha dan akan menimbulkan kerusakan alam yang lebih besar ini.
Setelah Semarang dan Bali, kini Jakarta. Reklamasi Teluk Jakarta dengan pembangunan Giant Sea Wall dengan biaya 500 Triliun itu pun membuat banyak orang angkat bicara. Tidak hanya itu, masyarakat nelayan pun beramai-ramai melakukan berbagai aksi penolakan.
Reklamasi ini pada mulanya dibangun berkait dengan ketakutan-ketakutan pada banjir rob besar, membuat Jakarta terancam banjir besar sehingga penting mambangun Giant Sea Wall (GSW). Nah, setelah konsep GSW itu dikenalkan, para pengusaha mulai berpikir bahwa di GSW, di belakang benteng-benteng itu, bisa dibuat pulau-pulau. Tentu dengan dalil akan menolong Jakarta dari banjir. Menolong Jakarta dari kerusakan ekologi yang parah di sekitar teluk Jakarta. Jadi problemnya sama dengan Bali, alasannya adalah ekologi yang rusak.
Sejarahwan JJ Rizal pun sering angkat bicara soal reklamasi ini. Dalam forum diskusi “Reklamasi Teluk Jakarta Untuk Kepentingan Siapa?” yang berlangsung di Rumah Kedaulatan Rakyat (24/3), Jakarta, ia kembali angkat bicara.
Apakah betul bahwa reklamasi itu akan menolong Jakarta dan membebaskan Jakarta dari banjir?
“Saya pikir jawabannya sudah banyak dari para pakar yang justru terbalik. Bukan menolong Jakarta dari banjir malah akan menjadikan banjir Jakarta menghebat,” ungkap JJ Rizal.
Ada juga yang mengatakan reklamasi ini akan membantu kehidupan nelayan dan memulihkan kembali ekologi di sekitar teluk Jakarta.
“Akan tetapi ada riset dan ini menarik, Ibu (Menteri) Susi pernah ngomong dan berdialog dengan pemerintah kota Jakarta tentang dua pokok besar bahwa, reklamasi tidak akan memulihkan ekologi Jakarta malah akan merusak,” imbuhnya.
“Belum lagi ancaman terhadap situs-situs misalnya yang menarik, yang mungkin akan membuat umat Islam marah. Ada makam namanya Habib Husein Alaydrus di Luar Batang. Ini juga disebutkan akan terkena masalah karena reklamasi itu,” terang JJ Rizal sembari menjelaskan bahwa Habib Husein Alaydrus merupakan salah seorang penyebar Islam pertama di Batavia (Jakarta).
Reklamasi ini, menurutnya, juga akan mengantarkan Jakarta mendapat cap baru sebagai penjahat lingkungan.
“Karena untuk mendapat lingkungan baru mereka masuk pulau reklamasi itu dengan mengkanibal wilayah lain, daratan lain, atau pulau lain. Karena pro reklamasi, pro pasir dalam jumlah raksasa,” kata JJ Rizal.
Nah, untuk reklamasi Jakarta pasirnya dari mana? Ternyata menurut JJ Rizal, pasir didapat dari Serang yang pantainya disedot beberapa kilometer.
“Jakarta akan punya gelar baru sebagai penjahat lingkungan karena merestui pulau reklamasi.”
Yang lebih esensial lagi, sebenarnya, apakah Jakarta memerlukan reklamasi?
“Kalau dihubungkan dengan Nekolim, bagaimana ya cara menghubungkan reklamasi dengan Nekolim? Dalam pidato Bung Karno, Indonesia Menggugat, Bung Karno menerjemahkan kolonialisme itu menarik sekali. Apakah kolonialisme itu? Kata Bung Karno, kolonialisme adalah nafsu. Nafsu mencari rezeki dengan menggunakan cara-cara apapun yang mempersetankan segala hal, tak peduli apakah itu merusak lingkungan atau mengorbankan kemanusiaan. Saya pikir ada kaitannya kalau kita bisa bicarakan reklamasi itu dengan nafsu mencari rezeki. Dengan mengorbankan bukan hanya kemanusiaan karena disitu ada nasib nelayan. Ada sekitar 17.000 nelayan di Jakarta. Kemudian, merusak lingkungan sudah jelas. Bahwa ekologi di sekitar Jakarta akan mengalami kerusakan hebat, dan itu urusannya adalah nafsu mencari rezeki, dengan menciptakan daratan (baru) yang bisa dijual 6 kali atau 10 kali lipat harga dari modalnya,” papar JJ Rizal.
Neokolonialisme, kolonialisme bentuk baru ini menurut Rizal bisa berjalan dan bisa massif karena ada perkawinan atau sebentuk kerjasama antara kaum kapitalis dengan penguasa. (Malik/Yudhi)