Berita
Reklamasi Benoa Hancurkan Ekonomi dan Budaya Lokal
“Kita semua makan nasi, bukannya butuh reklamasi.”
Itulah sebagian lirik lagu ‘Bali Tolak Reklamasi’ yang dinyanyikan oleh para pendemo yang menolak reklamasi teluk Benoa Bali, di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (20/3).
Koordinator aksi demo ini, Made Bawayaksa menyatakan reklamasi merupakan bentuk pengkhianatan.
“Reklamasi ini adalah bentuk pengkhianatan. Dari wilayah konservasi menjadi wilayah komersil,” ujar Bawayaksa.
Lebih ironisnya lagi, komersilnya ini bukan untuk masyarakat lokal menurut Bawayaksa.
“Tidak benar kalau reklamasi ini untuk masyarakat. Ini murni bisnis. Harga tanah di sana per meter itu milyaran, makanya ada konspirasi pengusaha untuk menguruk teluk Benoa,” papar Bawayaksa.
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Dr. Saraswati Dewi Putri M.Hum, yang juga hadir dalam demo ini menyebutkan reklamasi ini bisa merusak tatanan kehidupan masyarakat Bali.
“Bali sekarang sudah sangat padat, harusnya pembangunannya berorientasi pemerataan, bukan menambah kesenjangan yang sekarang sudah ada,” ujar Saraswati.
“Reklamasi ini katanya akan menyerap tenaga kerja 200 ribu orang masyarakat Bali, tapi kalau kita melihat laporan BPJS, sebagian besar di tempat reklamasi itu terjadi pemiskinan masyarakat lokal,” lanjut Saraswati.
“Jadi tentu kita pertanyakan, sebenarnya ini proyek untuk siapa? Yang jelas bukan untuk rakyat Bali,” kritik Saraswati.
Menghancurkan Budaya Lokal
Selain secara ekonomi justru makin memperlebar kesenjangan sosial, reklamasi ini juga jelas merusak alam, budaya dan tradisi keagamaan masyarakat Bali.
“Teluk Benoa itu wilayah suci umat Hindu. Tradisi Hindu kalau Hari Raya Nyepi melantik ke laut, ada upacara Ngaben. Kalau itu mau diuruk, ya masyarakat lokal dimana lagi akan melakukan ritual? Sementara, itu merupakan aset budaya yang harus kita jaga bersama,” keluh Bawayaksa.
“Hasil dari Persamuan para petinggi agama Hindu, juga lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali sudah mengatakan bahwa wilayah Teluk Benoa adalah wilayah yang disucikan,” ujar Saraswati mengingatkan hal yang sama.
“Di wilayah laut itulah, sebelum Hari Raya Nyepi, sebelum menyelenggarakan tapa pensucian, ada diselenggarakan Melati, membawa seluruh perlengkapan ke laut. Jadi laut itu menjadi bagian dari ritual.”
“Tapi kalau lautnya diuruk maka apa yang akan terjadi dengan masyarakat? Tentu kegiatan ritual budayanya akan hilang,” tutur Saraswati.
Reklamasi Teluk Benoa tak hanya merusak alam dan menciptakan kesenjangan ekonomi yang makin menganga. Tapi juga menghancurkan adat-istiadat dan budaya lokal atas nama kapital.
Akankah pembangunan yang menistakan keadilan sosial dan menghancurkan budaya lokal ini terus didiamkan? (Muhammad/Yudhi)