Berita
Reformasi Kepolisian untuk Perburuhan
Diskusi publik dapat menjadi sarana mengumpulkan gagasan bersama dalam membahas suatu tema atau permasalahan yang ada. Dari situ akan muncul berbagai pandangan yang mungkin dapat diaplikasikan ke dalam tindakan.
Hal itu pula yang dilakukan LBH Jakarta Senin (18/5) siang di kantornya, membahas tema tentang peran dan posisi penegak hukum (dalam hal ini kepolisian) atas kasus-kasus perburuhan. Serikat buruh, aktivis dan wartawan hadir pula dalam diskusi itu.
“Kalau buruh membuat kesalahan kecil, lalu pengusaha melaporkan ke Polisi, langsung cepat proses pemidanaannya. Sebaliknya, kalau pengusaha yang melakukan pelanggaran pidana, buruh melaporkannya, pihak kepolisian alot dalam memproses,” ungkap Eny Rofiatul, pengacara publik LBH Jakarta mengutarakan masalah yang ada.
Eny yang konsen di bidang perburuhan itu juga mengungkap, banyak problem di internal kepolisian dalam menyikapi kasus perburuhan. Salah satunya, “Praktik korupsi yang dilakukan polisi terhadap pengusaha, ketika pengusaha dijadikan ‘ATM kepolisian’ untuk diambil keuntungan,” Eny menyontohkan.
Sementara itu, Sultoni dari serikat buruh mengatakan, penegak hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. “Soal sandal jepit, uang koperasi yang hanya 25 ribu, dan masalah sepele lainnya yang menimpa buruh sangat cepat berurusan dengan teralis,” katanya. Sementara menurutnya pelanggaran pidana yang dilakukan pengusaha, susah sekali diprosesnya.
Permasalahan itu kemudian mendorong kelompok diskusi menghasilkan rekomendasi untuk reformasi kepolisian dalam hal perburuhan. Di antaranya dengan cara “Mendorong kepolisian membuat desk khusus penanganan kasus perburuhan,” kata Eny. (Malik/Yudhi)