Berita
Refleksi Perjuangan Perempuan Sejak Kartini Hingga Kini
Menjelang peringatan Hari Kartini yang tiap tahunnya diperingati pada tanggal 21 April, sejumlah perempuan yang saat ini menjadi pejuang di komunitasnya masing-masing seperti Dian Septi, buruh korban kriminalisasi, Muhayati, korban penggusuran Waduk Pluit, Anggun Pradesha, Aktivis HAM, korban kebebasan bersuara, berpendapat dan berekspresi, dan Helga Inneke Agustine Worotijan, perempuan korban kekerasan/pelecehan seksual, bercerita tentang perjuangan mereka selama ini dalam diskusi “Kartini dan Perjuangan Perempuan di Masa Sekarang” di LBH Jakarta, Jakarta Pusat (20/4).
Setelah empat pejuang perempuan itu menyelesaikan ceritanya, acara kemudian dilanjutkan dengan refleksi oleh Mia Siscawati, Dosen Pusat Studi Gender UI dan Peneliti di Sajogyo Institute yang membuka sesinya dengan pertanyaan, “Sudah merdekakah kita sekarang?”
“Belum…” jawab sejumlah pembicara dan audiens yang didominasi kaum perempuan tersebut.
Ternyata menurut Mia, dari ujung satu ke ujung lain di Indonesia, dari buruh tani hingga ke kawan-kawan mereka yang beruntung dengan ekonomi yang lebih baik, ternyata masih belum ‘sepenuhnya merdeka”.
“Jadi apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia setelah mendengarkan kawan-kawan semua ini?” tanya Mia.
Mia menjelaskan bahwa saat ini kita berada dalam periode “Neoliberal”, yang pemodal besar dan pasar bebas diposisikan paling depan.
Menurut Mia, paling tidak Neoliberalisme di Indonesia terjadi dalam beberapa hal. Ada neoliberalisme sebagai sistem, ketika diam-diam pemerintah mengadopsi situasi yang memposisikan pemodal besar dan pemain di pasar bebas memiliki peran yang lebih besar.
“Jadi dibuat sebagai sistem dalam peraturan perundang-undangan,” jelas Mia.
Pada saat bersamaan, kondisi inipun merupakan juga periode militerisme. Buktinya, masih ada paramiliter dan ormas yang menggunakan kekerasan, yang sebetulnya harus diakui pendekatannya sangat militeristik.
Lalu berikutnya adalah periode penyempitan ruang demokrasi dan pada saat yang sama ini adalah periode kegaduhan demokrasi para elit.
Selanjutnya, ada periode penyempitan pemaknaan agama. Tiba-tiba bermunculan orang yang mungkin belajar agama baru dua tahun lalu tapi tiba-tiba menjadi dai copas (Copy-Paste).
“Kerjanya copas-copas, padahal dia tahu apa nggak itu isinya, nggak jelas juga”, tegas Mia.
Tapi yang menarik untuk dicermati jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa sekarang ini mulai memberikan ruang bagi kelompok-kelompok “korban” maupun kelompok yang dimarjinalkan untuk bergerak, seperti Bu Muhayati yang digusur mulai bersuara dan tidak lagi sekadar titip suara untuk disuarakan oleh LSM.
“Ini sebuah harapan. Artinya gerakan perempuan, gerakannya tidak hanya berbasis isu, tapi berbasis kelompok, baik kelas maupun indentitas,” terang Mia.
Tantangan
Mia juga mengakui gerakan sosial saat ini agak terkotak-kotak. Jadi gerakan perempuan perlu bersinergi, karena isunya sangat banyak dan berhadapan tidak hanya dengan satu musuh seperti pada saat rezim Orde Baru, juga bukan hanya pasar bebas dan pemodal besar tapi juga orang biasa yang pro-pasar dan orang-orang biasa yang pro-militerisme.
Tantangan lainnya adalah kita punya pekerjaan rumah besar untuk melibatkan berbagai pihak terutama publik yang sebetulnya masih ada celah melibatkan mereka.
“Dari zaman Kartini hingga sekarang artinya pekerjaan rumah kita belum selesai dan wajah musuhnya menjadi lebih beragam,” tandas Mia. (Lutfi/Yudhi)