Berita
Refleksi 19 Tahun Reformasi
Jakarta, 21 Mei 2017 – Tepat pada hari ini, 19 tahun sudah kelompok-kelompok proreformasi mencoba menata kembali bangunan ketatanegaraan demokrasi yang hancur akibat sistem otoritarianisme masa lalu.
Penataan kembali tersebut sudah menghasilkan dasar-dasar sistem perwakilan, independensi peradilan, kebebasan pers, dan kemerdekaan untuk berpendapat. Penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi demokratis. Dengan penataan ini, aktor-aktor penyebab terjadinya masalah mendasar berbangsa dan bernegara—korupsi dan pelanggaran HAM–semakin terungkap diketahui masyarakat akibat keharusan keterbukaan. Meski pelaku pelanggaran HAM tak tersentuh, sebagian pelaku korupsi telah dihukum.
Persis karena keberhasilan penataan inilah, kemudian pihak-pihak yang sejak awal anti reformasi atau yang semula reformis lalu menjadi oportunis atau yang takut kepentingannya terancam, terus menghambat jalannya perubahan. Bukan hanya melalui jalan elektoral lewat pendirian partai-partai dan penyalahgunaan aturan hukum berbentuk kriminalisasi, tapi juga cara-cara lama yang berbahaya: politik ketakutan, kebencian, pemecah-belahan, maupun pengkambinghitaman kaum minoritas, hingga teror dan kekerasan fisik kepada mereka yang berani.
Sasaran pertama adalah lembaga-lembaga produk reformasi yang memberantas KKN. Komisi Pemberantasan Korupsi yang sukses memberantas korupsi makin dirundung masalah internal kelembagaan (penempatan penyidik luar yang tidak reformis) dan tekanan luar bertubi tubi. Anggota komisioner dan penyidik yang berani malah diserang dengan kriminalisasi serta kekerasan fisik.
Sedangkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang telah dibekali kekuatan pro-yustisia oleh UU produk reformasi justru telah mengalami degradasi kredibilitas akibat lemahnya dukungan pelaku-pelaku politik dan politisisasi seleksi maupun lemahnya integritas dan keahlian sebagian komisionernya.
Sasaran kedua adalah aktivis-aktivis proreformasi yang bergerak mengungkap kasus korupsi, membela Hak-hak Asasi Manusia korban dan kelompok minoritas, melindungi kelestarian alam dan tanah-tanah ulayat. Mereka diserang karena peran mereka dalam mengungkap membantu masyarakat miskin dan kelompok rentan yang terus menerima ketidakdilan hukum serta dijauhkan dari akses-akses kesejahteraan yang digerus korupsi.
Amnesty International Indonesia mencatat, setidaknya lebih dari 200 orang telah dikriminalisasi dan diserang fisiknya karena membela hak-hak adat dan tanah ulayat dari perambahan hutan demi perluasan lahan perkebunan dan tambang. Ini belum termasuk aktivis-aktivis proreformasi yang kasusnya mencuat seperti pemukulan dan kriminalisasi I Wayan Suardana di Bali, pembunuhan terhadap Salim Kancil, dan kriminalisasi Haris Azhar. Dalam pemberantasan korupsi, ada kriminalisasi aktivis-aktivis anti korupsi, pengeroyokan aktivis ICW Tama Satria Langkun, penembakan aktivis anti korupsi di daerah seperti Mathur Husairi dari Bangkalan, Jawa Timur, atau Mukhtar Effendy di Medan, pada tahun 2015, serta penyerangan dengan air cuka keras terhadap aktivis anti korupsi di Palembang pada Februari 2017 dan penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan pada April tahun yang sama.
Parahnya, meski seluruh ancaman bahaya ini bukan bersumber dari kekuasaan eksekutif yang terpusat seperti masa lalu, tapi juga dari berbagai pihak termasuk yang tidak terlihat oleh publik. Badan peradilan masih lemah untuk mengontrol kekuasaan eksekutif, termasuk akibat terlibat praktik KKN. Situasi ini membuat pemerintahan cenderung menjadi otoriter.
Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok proreformasi yang berani bersuara, bersikap kritis, dan melakukan pembelaan konkret pada warga yang terpinggirkan mulai berada dalam ancaman bahaya.
Oleh karena itu, kami menghimbau agar seluruh kelompok proreformasi di mana pun mereka berada, untuk segera melakukan reorientasi dan rekonsolidasi. Hal ini amat diperlukan untuk menghadapi ancaman bahaya dari kelompok menolak reformasi.
Konsolidasi ini juga diperlukan karena sebagian kelompok proreformasi tengah mengalami polarisasi akibat pertarungan elektoral, khususnya Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Dua momen pertarungan kekuasaan ini telah sedikit banyak melemahkan rasa solidaritas, daya dorong, energi dan optimisme yang menandai reformasi 1998. Konsolidasi diperlukan untuk mengubah kondisi yang hari ini diwarnai skeptisisme dan keraguan akan arah dan tujuan reformasi.
Gerakan masyarakat sipil sebagai motor reformasi tidak boleh tinggal diam dan perlu menemukan kembali tujuannya. Perjuangan melawan tirani korupsi serta pelanggaran HAM telah merusak sendi-sendi politik, hukum dan ekonomi serta menggerus sumber-sumber kemakmuran masyarakat menuntut kita untuk terus bergerak maju. Kondisi kebangsaan yang memprihatinkan akhir-akhir ini adalah sebuah peringatan bahwa masyarakat sipil perlu memposisikan dirinya kembali dan sesegera mungkin mengkonsolidasikan diri menuju arah baru demokrasi.
Demikian pernyataan ini disampaikan.
Nara hubung:
1. IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) (Al Araf. 081381694847)
2. Amnesty International (AI) Indonesia ( Usaman Hamid .0811812149)
3. Transparency International Indonesia (TII) (Dadang Trisasongko.081220212063]
4. Indonesian Corruption Watch (ICW)
5. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)