Berita
Redefinisi Kultus
Benarkah “kultus” (menyanjung) secara general dan mutlak dilarang?
Logiskah memperlakukan orang yang baik sama dengan orang yang jahat?
Sebagaimana kita ketahui dari karya-karya Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu TaImiyah, menolak shalawat dengan aksesoris “sayyidina” dan kalimat-kalimat pujian kepada Nabi dan keluarganya, yang dianggapnya sebagai syirik, pemujaan yang berlebihan. Karena itu, upacara maulid dan ziarah kubur dianggapnya sebagai bidah.
Tapi, sikap antipemujaan yang digembor-gemborkan oleh gerombolan “mazhab horor” ini tidak tercermin dalam televisi mereka, terutama saat berita seputar raja, emir dan keluarganya. Pembaca berita harus menunjukkan sikap penghambaan, manakala menyebut sederet pujian dan pujaan sebelum menyebut namanya, seperti Sumuww Al-Amîr (Paduka Pangeran), Jalâlah Al-Malik (Yang Dipertuan Agung Raja), Ma’âli Waliy Al-’Ahd (Junjungan Putra Mahkota) dan serumpunnya, lalu diakhiri dengan kata doa “hafizhahullâh” (semoga Allah melindunginya).
Ternyata dalam Alquran terdapat sejumlah “ayat diskriminasi”. Ini bukan modus liberalisasi teks suci. Artinya, Allah Swt secara terangan-terangan mengutamakan sekelompok manusia dari yang lain. Tentu bukan didasarkan pada orang atau alasan-alasan determinan, melainkan berdasarkan standar-standar rasional.
Di sisi lain, memperlakukan semua orang secara sama, bukanlah keadilan, malah merupakan kezaliman. Karena itu sama dengan tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Samakah orang yang berjuang, mengeluarkan pikiran, tenaga, waktu dan harta demi kebaikan banyak orang dengan orang yang hanya menjadi sekadar “warga negara yang baik”. Tentu tidak.
Allah menegaskan,
Selain itu, yang berhak mendapatkan perlakuan diskriminatif adalah orang yang fasik, orang yang karena meragukan akhirat, melakukan korupsi dan memanfaatkan kepercayaan publik sebagai cara untuk menjadi kaya raya. Orang demikian, selain tidak berhak dihormati mesti dipermalukan. Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama. (QS. Al-Sajdah [32]: 18). Iman adalah buah dari pengetahuan yang benar akan sebab pengada alam semesta dan kepastian hari akhir. Iman yang disandang seseorang adalah alasan rasional untuk dipuja dan diidolakan, bahkan dikultuskan (meski istilah “kultus” kian kabur).
Baca juga Nashibi, Pembenci Keluarga Nabi Saw
Pengetahuan benar, yang merupakan sumber iman atau keyakinan yang benar, juga merupakan sebuah prestasi yang layak diapresiasi dan tidak boleh sama sekali dianggap sama dengan yang tidak berprestasi. Apakah (tidaklah) sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. (QS. Al-Zumar [39]: 9).
Firman-firman Allah diatas dapat dianggap sebagai afirmasi tentang perlunya menjaga keseimbangan antara kultus dan diskriminasi, antara pemujaan dan penistaan dengan tolok ukur kerja keras (jihad), iman dan pengetahuan. Pengistimewaan menjadi sah dan perlu, demikian pula diskriminasi. Islam yang rasional meletakkan segala sesuatu secara proporsional.
Menurut Islam, kelas tidak mutlak dihapus. Namun ia menghapus kelas-kelas sosial berdasarkan kekayaan, raga, rupa dan simbol-simbol semu lainnya. Perbedaan pelakuan dan tingkat penghormatan harus tetap ada agar yang tidak berprestasi dan berbuat zalim tidak merasa benar.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurât [49]: 13) Islam mengabadikan hak dan prestasi orang-orang yang memang layak untuk dipanggil “Yang Mulia”.
Kultus adalah perlakukan istimewa terhadap orang yang tidak berhak dan layak. Bila orang yang diperlakukan istimewa memang berhak diistimewakan karena ketinggian spiritualnya, maka itu adalah perlakukan yang adil dan terpuji. Nabi dan para wali adalah orang-orang yang harus diistimewakan.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)