Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Rapor Buruk Peradilan KBB di Indonesia

ABI Press_Kepala Divisi Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta

Mimpi penegakan dan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tampaknya masih jauh dari harapan. Dalam laporan akhir tahun 2014, Komnas HAM dan The Wahid Institute menyebutkan fakta yang mengejutkan, pelaku KBB terbanyak kedua justru aparat kepolisian dan lembaga negara.

Untuk lebih mengetahui kondisi peradilan di Indonesia dalam kasus KBB ini, ABI Press mewawancarai Muhammad Isnur, S.H.I. Kepala Divisi Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Bagaimana kondisi peradilan di Indonesia dalam pandangan LBH Jakarta?

“Sejauh yang kami temukan, mayoritas pengadilan atau hakim buruk dalam konteks peradilan KBB.”

“Pertama, pengadilan bagi korban tidak menjadi sarana pemulihan yang efektif. Di situ ada namanya independence judictionary; hakim yang tidak independen, hakim yang takut tekanan, hakim yang takut pressure massa, hakim yang kemudian tak bisa berdiri bebas dan imparsial dalam memutus perkara. Dalam artian para pelaku penyerangan relatif diputus dengan ringan atau bahkan tidak menjalani hukuman.”

“Begitu juga bagi korban, hakim dan pengadilan justru cenderung mengkriminalisasi korban. Hakim tidak bisa berdiri bebas melihat fakta-fakta dan berdiri di atas dalil hukum dan hak-hak hukum.”

Bisa Anda berikan contoh-contoh kasusnya?

“Contohnya penyerangan Ahmadiyah di Cisalada. Ada puluhan rumah diserang, dihancurkan, dan masjid yang dibakar. Pelakunya diseret 4 orang tapi tak satu pun yang menjalani tahanan. Hanya percobaan saja. Sebaliknya korban yang membela diri kemudian diputus bersalah 4 bulan ditahan.”

“Di kasus Cikeusik misalnya, para pelaku yang membunuh 3 orang, dan menyebabkan korban luka berat, rumah dan kendaraan hancur, diputus hanya 6 bulan saja maksimal. Membunuh orang hanya 3 bulan saja. Dan tidak menyentuh aktor intelektualnya. Tetapi korban yang membela diri malah diputus ditahan 6 bulan. Jadi yang membela diri juga diputus sama dan dikriminalisasi sama dengan yang membunuh.”

“Di Ciketing juga ada ketua FPI Bekasi yang menusuk pendeta diputus hanya 4 bulan saja. Kriminalisasi lain juga terlihat di kasus Syiah Sampang. Para pelaku penyerangan dan pembakaran kampung tak ada yang diseret dan diputus bersalah. Tapi Tajul Muluk, orang yang punya keyakinan Syiah diputus bersalah dengan hukuman 2 tahun lebih. Ratusan warga Muslim Syiah Sampang pun hingga kini masih di pengungsian.”

“Menurut saya ini mengerikan. Itu tren di mana pengadilan bukannya jadi alat pemulihan atau perlindungan korban tapi justru alat kriminalisasi korban.”

Tren kriminalisasi korban oleh aparat dan pengadilan ini sejak kapan terjadi?

“Tren ini seiring dengan eskalasi peningkatan kekerasan beragama. Kasus-kasus tadi itu masih mending, banyak peristiwa kekerasan dan penyerangan tak dibawa di pengadilan. Misalnya kasus penyerangan terhadap pengajian Ustaz Manji di Jogja. Sampai sekarang tak ada kabarnya. Sampai pengadilan pun tak ada. Banyak lagi penyerangan di Cianjur, Tasik, Sukabumi, dan Majalengka yang tak ada pelakunya dibawa ke pengadilan. Sama sekali tak ada perlindungan dari negara.”

Mengapa itu terjadi? Apakah kasus itu tak dilaporkan ke polisi?

“Itu dilaporkan. Tapi polisi bukan hanya sekadar lalai tapi juga justru jadi aktor yang ikut terlibat. Misalnya begini, polisi waktu kejadian Cikeusik itu menangkap para Kiai di Banten. Karena didemo langsung dilepas semuanya. Jadi polisi lemah di hadapan massa dan kelompok intoleran.”

Kenapa polisi bukannya melindungi, malah justru malah ikut jadi aktor pelaku kekerasan?

“Ya memang gini. Polisi itu kan sebagai aparat negara untuk melindungi warganya. Juga garda negara paling depan untuk menegakkan hukum. Nah, kalau ada kejadian-kejadian, terus polisi tidak melakukan perlindungan dan tidak melakukan penegakan hukum maka mereka melanggar di situ. Di dua tempat inilah polisi banyak melakukan pelanggaran.”

“Misalnya FPI menyerang di Salihara, bukannya mengusir FPI-nya malah acara Saliharanya dibubarkan polisi. Di Banjar, di Bekasi, juga di Jatibening ada ancaman yang tak seberapa, bukan orangnya diusir, malah masjidnya disegel.”

“Ibarat kata, anda di rumah mau dirampok, kemudian dibilangin sama polisi, ‘Udah anda pergi saja dari rumah anda.’ Polisi bukannya melindungi anda dan mengusir perampoknya, malah menyuruh anda pergi. Itu logika yang dibangun polisi dalam banyak kasus kebebasan beragama.”

Itu semua kan jelas melanggar sumpah-setia polisi sendiri. Mengapa itu terus terjadi?

“Memang itu faktanya. Itu bukan ketakutan orang per orang, tapi jadi struktur. Kita tak tahu juga ketakutan apa yang melanda kepolisiannya. Kalau menurut pengamatan kami itu berbanding lurus dengan pemimpinnya. Catatan paling buruk polisi itu waktu era Timur Pradopo. Karena memang dia deket dengan FPI, akhirnya ke bawah pada takut semua. Zaman Sutarman agak tegas, agak baik di mana kondisi kejadian, pelakunya ditangkap. Walau belum maksimal.”

“Dan kedua, tergantung presidennya. Kalau presidennya macam SBY yang penakut, ya makin menjadi-jadi. Tapi kalau presidennya tegas pada hal-hal intoleran maka aparat pun akan tegas juga. Kalau atasan dengan tegas memerintahkan bawahan dengan tegas, maka aparat di bawah akan tegas. Kalau cemen seperti SBY ya jadinya seperti itu.”

Sekarang sudah berganti pemerintahan. Bagaimana pandangan Anda dengan pemerintahan yang sekarang ini?

“Pertama ada catatan buruk Jokowi. Dalam pemilihan Jaksa Agung, Hakim MK, dan Kapolri. Saya gak akan terlalu yakin akan bagus dalam penegakan hukum ke depan. Tapi ini tantangan bagi jokowi. Kalau Jokowi tak mau disebut cemen seperti SBY, ya buktikan. Buktikan bahwa tidak ada lagi kekerasan dengan nuansa intoleransi. Tak ada kekerasan dalam bentuk apa pun di Indonesia. Polisi harus bertindak tegas menegakkan hukum apa pun keyakinannya, apa pun pendapat politiknya harus dilindungi hukum. Dan tak boleh ada orang menyerang atas dasar keyakinan atau apa pun.”

Bagi masyarakat sendiri, apa yang seharusnya dilakukan?

“Yang harus dilakukan masyarakat ada dua, pertama masyarakat luas harus membangun semangat toleransi dan kebersamaan. Bangun dialog, bangun kesamaan, bangun persatuan, itu penting bagi Indonesia kalau masih ingin bertahan sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika.”

“Kedua harus berani melawan kelompok intoleran. Kalau ada kelompok kecil yang akan diserang, masyarakat harus membantu untuk melindungi. Jangan diam saja kalau ada yang melakukan penyerangan dan hanya diam mengutuk atau mengecam saja. Hadang siapa pun yang menyerang dan jaga kelompok minoritasnya.” (Muhammad/Yudhi)