Berita
Ragam Cerita dan Tradisi Asyuro di Indonesia
Bulan Muharram atau yang biasa dikenal bulan Asyuro (Suro) dan diyakini sebagai tahun baru Islam ini merupakan salah satu bulan yang menjadi perhatian lebih, terutama di kalangan umat Islam. Bahkan ada pula yang meyakininya sebagai bulan keramat, bulan nahas dan sebagainya.
Di Indonesia sendiri, ragam budaya, agama, serta berbagai keyakinan lainnya melengkapi khazanah tentang Asyuro yang terbungkus tradisi oleh masing-masing penganutnya. Sehingga di bulan Asyuro ini, banyak sekali ritual-ritual yang dilakukan baik oleh kalangan Muslim maupun non Muslim.
Berbagai tradisi Asyuro itu antara lain, membuat bubur merah-putih, mencuci keris, membaca doa-doa, menyantuni anak yatim dengan memegang kepalanya, dan ritual lainnya.
“Kita semua percaya bahwa tidak ada kekuatan apapun kecuali kekuatan Tuhan. Kalau kita mencuci keris itu bukan memuja, tapi betul-betul dibersihkan (bagian dari budaya). Sementara rentang waktu dari tanggal 1 sampai 10 Muharram, ada peristiwa Asyuro yang mengingatkan kita pada syahidnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad Saw, yang berani menghadapi kematian dengan gagah walaupun kepalanya dipenggal, lalu diarak. Peristiwa berdarah ini begitu masuk ke Indonesia menjelma dalam berbagai ragam tradisi dan kebudayaan.”
Demikian disampaikan Masud Thoyib, Sekpres Pembina Dewan Budaya TMII.
Di Jakarta, tradisi Muharram diekspresikan dalam berbagai macam bentuk. Salah satunya, yang dilakukan warga Condet, Jakarta Timur. Di bawah koordinasi organisasi Pemuda dan Remaja Islam Masjid Jami’ Al-Ikhlas (Prisma), warga menggelar aneka kegiatan positif berupa lomba-lomba, festival, marawis, menggambar kaligrafi dan sebagainya. Acara ini sudah rutin diadakan setiap tahun.
Sementara untuk menelisik tradisi-tradisi lainnya, ABI Press menghubungi beberapa narasumber di daerah–daerah.
Saat terhubung dengan Irfan Jailani, di Sumenep Madura, ia menceritakan tradisi membuat bubur merah-putih yang sering dibuat ketika masuk bulan Shafar.
Ia menuturkan, dalam bahasa Madura, bulan Muharram disebut dengan bulan Sora. Ketika bulan Sora, orang-orang Madura membuat bubur tajin dan menyebutnya Tajin Sora (Bubur Asyura) terbuat dari bubur nasi dengan kuah ketan. Kemudian memasuki bulan Shafar orang Madura membuat Tajin Mera Pote (Bubur Merah Putih) karena bubur itu terdiri dari dua warna. Warna putih dari santan dan warna merah dari gula, dan di dalamnya ada bola bola yang terbuat dari tepung ketan. Biasanya antar tetangga saling bersedekah bubur selama Muharram. Dalam pandangan tradisional orang Madura, bulan Muharram dianggap sebagai bulan nahas, sehingga dilarang melakukan perjalanan jauh pada bulan tersebut.
Kalau orang awam, pemahamannya masih menganggap bahwa pada bulan tersebut rawan kecelakaan, atau bulan yang membawa aura negatif. “Hanya di kalangan kaum santri yang masih setia pada ajaran-ajaran kyai terdahulu saja yang paham bahwa bulan Muharram adalah bulan terbunuhnya Sayyidina Husein di Karbala,” tutur Irfan. “Bahkan ada seorang Kyai yang bernama Raden Murtadla, Pondok Pesantren Loteng Pasar Sore sampai melarang permainan sepak bola karena mengingatkan pada kepala Sayyidina Husein yang pernah dijadikan permainan dengan kaki oleh Yazid,” Irfan menambahkan.
“Kalau persoalan makna Tajin Mera Pote (Tajin Sora), merah itu menggambarkan darah Sayyidina Husein, putih itu menggambarkan kesucian perjuangan beliau dan bola-bola ketan adalah gambaran kepala beliau,” ungkap Irfan.
Tidak hanya di Madura, bubur merah-putih (bubur Asyuro) ini kerap dijumpai di tempat lain. Namun demikian menurut Irfan, tak banyak yang mengetahui maknanya. Selain bubur Asyuro, menurut Irfan masih banyak di daerahnya ritual-ritual, contohnya prosesi ijazah ilmu kebatinan, karena dianggap sebagai bulan kramat dan istijab. “Kalau yang ini, saya tidak paham darimana sumber riwayatnya,” pungkas Irfan.
Sementara dari Cirebon, ABI Press terhubung dengan Ammar Abdullah. Ia pun bercerita ihwal kegiatan Muharram di sana. “Malam satu Syuro kemarin ada pawai keliling,” tutur Ammar. Ia kemudian menjelaskan makna pawai tersebut kepada ABI Press. Menurutnya, acara tersebut untuk mengokohkan kembali Cirebon sebagai Kota Wali. “Pawai tersebut untuk mengajak masyarakat agar menghindari maraknya perjudian, merosotnya moral dan akhlak serta banyaknya peredaran miras di masyarakat Cirebon. Dengan perayaan 1 Muharram, mengajak masyarakat meninggalkan itu semua karena tidak sejalan dengan predikat Cirebon sebagai Kota Wali,” terang Ammar. “Tapi sayang, kemarin tidak sempat foto-foto,” pungkasnya.
Di Jogja, ABI Press terhubung dengan Fajar. Ia tak begitu tahu tentang tradisi-tradisi Asyuro di daerahnya. “Ada yang puasa, tapi belum tahu tentang adanya perayaan,” tutur Fajar. “Oh ya, saya pernah dengar di Bengkulu ada perayaan 10 Muharram. Masyarakat datang untuk berdoa di suatu tempat yang mereka sebut Karbala. Tampaknya, itu sisa Mazhab Syiah yang dulu berkembang di sana,” pungkas Fajar.
Tidak begitu banyak orang tahu tentang makna ritual-ritual dan budaya yang berhubungan dengan Asyuro, namun dari beberapa keterangan di atas, tampaknya memang erat kaitannya dengan peristiwa gugurnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad Saw.
Bagi kalangan Muslim bermazhab Syiah, peristiwa itu sangat disakralkan. Karena berkenaan dengan wafatnya salah satu manusia terbaik pilihan Allah. Tidak hanya tentang kesyahidan, namun juga pesan yang begitu besar yang disampaikan dalam peristiwa yang terjadi di Karbala itu. Singkatnya, Husein di mata muslim Syiah, adalah simbol keadilan, simbol perlawanan terhadap kezaliman.
Sebab itulah Muslim Syiah memiliki tradisi berbeda dengan tradisi lainnya. Muslim Syiah lebih meresapi makna Asyuro dengan duka, sekaligus meresapi makna perjuangan Sayyidina Husain sebagai simbol inspirasi. Hal itu dapat dilihat misalnya di Islamic Cultural Centre (ICC) Jakarta. Sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam bermazhab Syiah, pada tanggal 1 hingga 10 Muharram selalu mengadakan peringatan dalam bentuk doa-doa dan ceramah sebagai bentuk saling mengingatkan.
Tak hanya di ICC, di beberapa daerah lain, Muslim Syiah pun melakukan hal yang sama. (Malik/Yudhi)