Berita
Quo Vadis SE Kapolri?
Terbitnya Surat Edaran Kapolri bernomor SE/06/X/2015 yang berlaku efektif sejak ditandatangani oleh Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 silam mengenai larangan hate speech, membelah publik Indonesia menjadi dua kubu utama: pro dan kontra. Kubu pro, yang umumnya direpresentasikan kelompok minoritas keagamaan terutama muslim Syiah dan Ahmadiyah maupun pegiat kerukunan antarumat menyambut baik Surat Edaran tersebut mengingat selama ini tidak pernah ada tindak lanjut terhadap pelaku penyebaran ujaran kebencian yang jelas-jelas meresahkan karena memprovokasi terjadinya konflik horizontal. Adapun kelompok kontra, kita perlu lebih jeli menelaah sebab terdapat dua motif berbeda di balik penentangan mereka terhadap SE Kapolri.
Pertama, kelompok yang kontra karena motif prinsipil yakni teguh memegang konsepsi ideal freedom of speech ala Barat. Mereka berpendapat, merujuk pada bagaimana cara Amerika menangani geliat kaum Neo-Nazi yang kian terbuka, selama hate speech belum terwujud menjadi hate action maka sah saja untuk diutarakan sebagai “khazanah perbedaan” atau dilawan dengan konter argumen. Lebih jauh, upaya aparat berwajib lewat surat edaran hate speech dinilai sebagai bentuk pelanggaran negara terhadap prinsip demokrasi yang menjamin kebebasan berbicara. Meminjam istilah beberapa aktivis kontra SE, kebijakan ini hanya akan membawa Indonesia mundur ke era Orde Baru yang penuh sensor. “Pembreidelan itu sia-sia, hanya akan menciptakan media garis keras dengan nama baru”, atau “Masyarakat kita sudah cukup dewasa memilah informasi di media jadi tidak perlu ada kebijakan ini” adalah argumen yang sering didengungkan aktivis kelompok pertama.
Kedua, kelompok kontra SE yang merasa terganggu karena memang aktivitasnya, baik di ceramah publik wa bil khusus media sosial jelas-jelas menyebarkan kebencian antarmazhab dan memecah belah harmoni umat. Kelompok bermotif kedua inilah yang perlu diwaspadai sebab gebrakan Kapolri tentu membuat mereka tak lagi mampu leluasa melancarkan isu pengkafiran terhadap mazhab lain. Bahkan tanpa malu, meski kelompok kedua tidak memercayai ideal demokrasi seperti kelompok pertama karena dianggap sebagai sistem thagut, namun karena situasi politik yang tidak menguntungkan, mereka tiba-tiba bisa fasih mendalil soal kebebasan berbicara dan demokrasi di ruang publik untuk membenarkan tindakannya. Falsafah isuk dele sore tempe (pagi minta kedelai sorenya minta tempe, artinya plin-plan) benar-benar dilakukan oleh kelompok provokator isu takfir serta SARA agar tidak terjerat hukum setelah berlakunya SE.
Mau Kemana?
SE Kapolri ini perlu dilaksanakan secara konkret di lapangan untuk meminimalisasikan polah pihak-pihak yang gemar menebar hate speech. Hanya saja dalam praktiknya, kebijakan ini terkesan melenceng dari tujuan utamanya yakni melindungi identitas SARA serta kelompok minoritas karena lebih banyak digunakan sebagai dasar hukum untuk mengusut kasus yang kurang substansial. Ambillah contoh seperti pelaporan terhadap seorang perempuan oleh oknum kepolisian di Ponorogo karena dianggap melecehkan korps lewat meme.
Bahkan, produk SE yang sedianya diharapkan mampu memberikan rasa aman bagi minoritas keagamaan dari kekerasan verbal mulai dibelokkan menjadi isu politis. Kelompok penentang SE kategori kedua memainkan opini publik lewat media bahwa kebijakan Kapolri hanya digunakan sebagai alat merepresi oposisi pemerintah sehingga masyarakat tidak lagi kritis dan terbuka. Dengan membesar-besarkan isu politik, kelompok takfir yang gemar hate speech ini berharap masyarakat umum dan aktivis demokrasi akan bersuara menentang terobosan Kapolri sehingga SE akan dicabut. Akibatnya? Para pentakfir di mimbar dan media akan bertepuk tangan karena dapat kembali melancarkan ekspresi kebenciannya tanpa takut terbentur oleh hukum. (Fikri/Yudhi)