Berita
“Putra-Putri Karbala” di Indonesia
Sosok pria berkumis dan berperawakan kurus itu gugur bersimbah darah. Tubuhnya tertelungkup tanpa nyawa di atas tanah berdebu. Warga sekitar hanya berani berkerumun dalam keriuhan tanpa mampu berbuat apa-apa. Sebab di sekeliling korban pengeroyokan itu, puluhan orang dengan sorot wajah merah penuh amarah, masing-masing tampak masih menggenggam aneka benda tajam di tangan mereka.
Itulah nasib tragis yang menimpa Salim Kancil, petani berumur 46 tahun yang meregang nyawa tak lama setelah dibantai puluhan orang yang belakangan diketahui sebagai preman bayaran. Apa pasal? Tak lain karena pria berkumis itu berani memprotes keberadaan operasi tambang biji besi liar yang merusak lingkungan di desanya. Dengan alasan demi menyelamatkan lingkungan dan menolak kezaliman, Salim harus menukarnya dengan nyawa.
Kisah pembantaian serupa bukan tak pernah terjadi dalam sejarah perjalanan Islam. Salah satu di antaranya adalah tragedi yang menimpa Imam Husein. Putra Imam Ali dan Sayidah Fathimah yang oleh Nabi kerap dijuluki sang Penghulu Pemuda Surga itupun bahkan tertimpa nasib yang jauh lebih tragis dan lebih mengenaskan daripada apa yang menimpa Salim, maupun para aktivis lain dalam menentang kesewenang-wenangan.
Imam Husein tak hanya harus kehilangan nyawanya sendiri tapi juga nyawa seluruh sahabatnya yang setia bersamanya di Padang Karbala pada tahun 61 H, demi menentang ketidakadilan penguasa zalim dan mempertahankan kebenaran Islam yang telah diputarbalikkan sang penguasa pada masa itu.
Apa yang menimpa Salim, kembali menegaskan bahwa tragedi di Karbala akan terus terulang dan terjadi di setiap tempat dan zaman. Akan selalu ada sosok yang gagah berani menentang ketidakadilan yang berlaku di tengah masyarakatnya meski taruhannya adalah nyawa.
Di sini, di Indonesia Salim Kancil tak sendirian. Jauh sebelumnya, ada Munir Said Thalib, pejuang HAM yang tak kenal lelah membela ratusan korban pelanggaran HAM di Indonesia. Naas menimpa Munir. Dia kehilangan nyawa dalam pesawat Garuda GA 974 jurusan Amsterdam, 7 September 2004 di usianya yang ke 39 tahun. Dari hasil otopsi pada 12 November 2004 ditemukan jejak-jejak senyawa arsenikum dalam tubuh pria kurus itu. Singkat kata, Munir telah dibunuh, diracun oleh orang-orang yang tak mau perbuatan jahat mereka diungkap oleh suami Suciwati itu.
Selain Munir, ada juga Marsinah, aktivis perempuan yang juga dibunuh karena kegigihannya memperjuangkan hak teman-temannya sesama kaum buruh.
Ada lagi nama Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo. Pemuda kelahiran, Surakarta, Jawa Tengah tahun 1963 yang berjuang membela nasib rakyat kecil dan orang-orang lemah dari penindasan penguasa melalui puisi-puisinya yang “membakar” kesadaran, hilang entah kemana bersamaan dengan hilangnya sejumlah aktivis pada tahun 1998.
Lalu ada Fuad Muhammad Syafruddin yang biasa dipanggil Udin. Wartawan Bernas di Yogyakarta ini dianiaya oleh orang tak dikenal di depan rumahnya hingga tak bernyawa. Apa yang menimpa Udin, konon akibat tulisan kritisnya di surat kabar yang dianggap menentang rezim pemerintah dan militer kala itu.
Ada banyak lagi, aktivis kemanusiaan, warga biasa, rakyat jelata di Indonesia yang harus kehilangan nyawanya akibat melawan ketidakadilan yang tampak jelas di depan mata.
Maka pantaslah mereka disebut sebagai putra-putri Karbala di Indonesia, sebab semangat perjuangan yang mereka lakukan berbanding lurus dengan apa yang dilakukan oleh Imam Husein beserta para sahabat dan keluarga setia beliau, yang berkorban jiwa-raga dalam menentang penindasan dan kezaliman pada zamannya. (Lutfi/Yudhi)