Berita
Puslitbang Kemenag RI: Sunni-Syiah Sukses Islamkan Nusantara
Puslitbang Kemenag RI: Sunni-Syiah Sukses Islamkan Nusantara
Buku Mengenal dan Mewaspadai Penyelewengan Syiah itu memiliki banyak kelemahan secara ilmiah, karena banyak copy paste yang tidak ilmiah. Demikian salah satu pernyataan Ketua Tim Peneliti Puslitbang Kemenag RI, Wakhid Sugiyarto dalam webinar bertema “Diseminasi Karya Ilmiah Dinamika Syiah di Indonesia”, Sabtu (14/11).
Lebih jauh, Wakhid Sugiyarto mengatakan bahwa tradisi-tradisi keislaman di Nusantara sangat kental dengan budaya-budaya Islam Syiah. Bahkan tradisi dan ritual itu diterima dengan baik oleh umat Islam Indonesia yang mayoritas Sunni, seperti perayaan Asyura. Selain itu, Sunni-Syiah sukses mengislamkan nusantara dan membangun masyarakat dengan nilai Islam yang rahmatan lil’alamin. Ini menunjukkan suksesnya koeksistensi Sunni-Syiah di Indonesia.
Menurutnya lagi, ungkapan Gusdur bahwa NU itu Syiah tanpa imamah tidak berlebihan. Sebab, Sunni dan Syiah tidak berbeda kecuali dalam hal imamah. Gus Dur sangat memahami tipisnya perbedaan NU dan Syiah dikarenakan kesamaan dalam meyakini Allah, al-Quran, nabi, kiblat, shalat, haji, dan seterusnya.
Menurutnya, pasca terjadinya revolusi Islam Iran tahun 1979, pemikiran Islam Syiah menggeliat. Banyak kalangan mulai mempelajari apa itu Syiah. “Di sinilah terjadi starting point tentang kebangkitan Islam. Penentangan terhadap Islam Syiah dimulai, hingga pada tahun 1984, MUI diikuti ormas lain mengeluarkan himbauan untuk berhati-hati terhadap mazhab ini sampai sekarang,” ungkapnya.
“Menuduh Syiah sesat semacam ini sepertinya tidak perlu bukti, karena tidak mau diklarifikasi. Buku Mengenal dan Mewaspadai Penyelewengan Syiah ini ditulis. Setelah selesai, tidak ada klarifikasi dengan kalangan komunitas Syiah, baik dari IJABI maupun ABI,” ujarnya. Ketika ABI, lanjutnya, mencoba mengirim surat beberapa kali agar ada klarifikasi bahwa Syiah idak seperti yang dituduhkan, tidak direspon.
Baca juga : Aparat Lebanon Tangkap Mata-mata Rezim Zionis
“Sehingga kemudian terbitlah buku yang terkenal itu, buku kuning dan buku putih (Syiah Menurut Syiah dan Buku Putih Mazhab Syiah–red.). Saya kalau membaca buku kuning dan buku putih itu, kemudian membaca buku Mengenal dan Mewaspadai Penyelewengan Syiah, saya merenung agak lama, sedih saya. Membandingkan bagaimana kualitas dari kedua buku itu, sedih memang,” katanya.
Fenomena kebencian terhadap Syiah di Indonesia, lanjutnya, sangatlah tidak logis. Di Arab Saudi sendiri tidak ada kebencian seperti ini (di tengah masyarakat–red.) meski di sana Syiah minoritas. “Ketika berkunjung ke Republik Islam Iran untuk meneliti, Iran yang notebene negara Syiah, di sana Muslim Sunni begitu dilindungi. Ini terbukti dari jumlahnya yang sedikit tapi punya lebih banyak masjid. Jika dibandingkan masjid Syiah yang mayoritas hanya 11 ribu masjid, Sunni malah punya 14 ribu masjid. Bahkan di Parlemen, Sunni mendapatkan jatah yang lebih, yang seharusnya mendapatkan 16 kursi tapi mendapatkan 24,” pungkasnya.
Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta webinar mempertanyakan mengapa penelitian ini tidak diterbitkan dalam bentuk buku. Sebab, isinya sangat urgen bagi kerukunan beragama. “Ada banyak pertimbangan yang di antaranya menunggu waktu dingin, karena waktu itu lagi panas-panasnya isu ini, menunggu cooling down, tapi rencananya awal tahun 2021, buku ini akan naik cetak,“ jawab Wakhid.
Sebenarnya, hasil penelitian pihak Puslitbang Kemenag RI yang bertajuk “Dinamika Syiah di Indonesia” itu telah rampung sejak 2018 silam. Hasilnya pun telah dibukukan secara digital dan beredar luas di masyarakat. Subjek penelitian itu adalah dua ormas besar yang menaungi komunitas pecinta Ahlulbait Indonesia, yakni Ahlulbait Indonesia (ABI) dan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI).
Selain Wakhid Sugiyarto, webinar yang diselenggarakan IJABI itu juga menghadirkan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Zulkifli dan Ketua Dewan Syura IJABI, Dr. Jalaluddin Rakhmat.
Baca juga : MER-C Sayangkan Jokowi Ragu Tolak Timnas “Israel”