Berita
Prof Nasaruddin Umar: Napas Agama dalam Sila Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila kedua dari Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sungguh sarat dengan muatan agama. Sila ini seolah menggambarkan tujuan umum agama (maqashid al-syari’ah). Kosa kata ini yang digunakan dalam sila kedua ini keseluruhannya berasal dari bahasa agama. Kata “kemanusiaan” berasal dari akar kata bahasa bahasa Arab “anisa-ya’nas” jinak, ramah, dan senang. Dari akar kata itu lalu lahir hata “insan” (manusia), kemudian mendapatkan imbuhan ke dan an (kemanusiaan), berarti bersifat kemanusiaan (humanity).
Kata “Adil” jelas dari bahasa Arab (‘adl), berarti hidup berkeseimbangan dan harmonis, tidak berat sebelah, dan memberikan rasa puas terhadap semua pihak. Kata “Beradab” juga berasal dari bahasa Arab (aduba-ya’dub) berati berbudi lahir, span santun, berakhlak mulia. Dilihat dari asal usul suku kata yang digunakan sila kedua ini tidak bisa diingkari aspek religiusitasnya.
Kata kemanusiaan adalah sebuah kata yang paling tinggi nilainya dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kita. Tanpa kemanusiaan maka manusia lebih tepat menjadi seekor hewan atau binatang. Rasa kemanusiaanlah yang membedakan seseorang dengan binatang. Namun perlu dicermati karena rasa dan sifat kemanusiaan ini menyebabkan manusia menempuh perjalanan hidupnya dengan cara fluktuatif.
Berbeda dengan kehidupan makhluk biologis lainnya, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan termasuk bangsa jin dan malaikat. Manusialah satu-satunya yang dapat diketegorikan sebagai makhluk eksistensialis. Hanya manusia yang bisa naik turun martabatnya di mata Allah, Tuhan YME. Manusia bisa turun martabatnya lebih hina dari pada binatang (asfla safilin). Akan tetapi manusia juga bisa mencapai ketinggian paling puncak (ahsan taqwim) seperti yang pernah dicapai Nabi Muhammad Saw, naik ke puncak Adr al-Muntaha.
Malaikat Jibril yang ditugasi Tuhan mendampinginya memohon maaf tidak bisa mendampingi Rasulullah naik ke puncak karena kedua sayapnya sudah terkapar tanpa kekuatan. Sebaliknya Nabi Muhammad Saw terus melejit hingga Sidratul al-Muntaha, tempat yang didambakan para pencari Tuhan, sebagaimana diabadikan Tuhan dalam ayat: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba- Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. al-Isra’/17:1).
Tuntutan dan tuntunan sila kedua ini merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Meskipun bangsa ini dikaruniai luas wilayah strategis berikut dengan kekayaan alam luar biasa tetapi tidak membuatnya sombong dan angkuh. Sebaliknya keindahan alam dengan aneka rupa warna kembang mempengaruhi kepribadiannya sebagai warga Indonesia yang ramah dan santun. Sikap kemanusiaan yang dikembangkan, bukan manusia bebas dan liberal yang cenderung arogan dan individualistik, tetapi warga bangsa yang memiliki otonomi dan kemandirian sebagai insan-insan yang bertanggung jawab. Satu sisi warga bangsa Indonesia terkesan sangat lembut dan bijaksana tetapi saat bersamaan sebagian warga bangsa Indonesia juga memiliki keangkuhan, individualism, dan sekularis.
Selain memiliki unsur kemanusiaan, manusia Indonesia juga perlu melengkapi dirinya dengan dengan sikap keadilan dan keadaban publik. Sila kedua ini harus dipertahankan karena itulah hakekat kepribadian bangsa Indonesia. (RMOL)