Berita
Prof Azyumardi Azra: Kaum Syiah di Asia Tenggara, Menuju Pemulihan Hubungan dan Kerjasama [1]
Sebelumnya Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara
Pengantar Dari awal perlu ditekankan berkali-kali bahwa kaum Syiah adalah saudara kandung kaum Sunni. Lebih jauh lagi, kaum Syiah adalah bagian hakiki dari Islam. Bersama kaum Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni, kaum Syiah adalah sayap-sayap Islam lainnya. Tentunya, ada lebih banyak persamaan daripada perbedaan di antara mereka karena keduanya benar-benar berasal dari sumber yang persis sama; mereka taat kepada ajaran-ajaran yang sama yang terkait dengan iman dan Islam. Oleh karena itu, tidak perlu membesar-besarkan perbedaan-perbedaan ‘sepele’ (furu’iyah) dalam konsep telogis dan praktek religius tertentu. Di samping itu, ada juga banyak tumpang-tindih dan pertukaran di antara kaum Sunni dan Syiah dalam banyak aspek kehidupan religius, politis, sosial, dan budaya.
Saya berargumen bahwa persepsi keliru, ketidakakuratan, ketegangan, permusuhan, dan bahkan perang berdarah di antara kedua kelompok banyak terkait dengan politik dan kontestasi kekuasaan. Faktanya, keberadaan kaum Syiah, Sunni, dan beberapa kelompok lainnya seperti Khariji adalah hasil konfl ik politis yang mula-mula terjadi semasa khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang disusul oleh al-fi tnat al-kubra (perang saudara) pada saat munculnnya Umayah dengan mengorbankan Ali bin Abu Thalib, keluarganya, dan para pendukungnya, mereka semua disebut saja ‘Syiah’ (‘pihak’ atau kelompok).
Syiahisme sebagai badan kelompok religius Islami berkembang dalam perjalanan sejarah, melintasi tapal-tapal batas yang ada di dunia Muslim, meliputi Nusantara atau kepulauan Melayu-Indonesia atau Asia Tenggara. Meskipun ada jejak-jejak kaum Syiah di Asia Tenggara, sejarah Syiahisme di wilayah itu khususnya pada periode awal Islam Nusantara sebagian besar masih kabur. Hasilnya jelas; ada banyak kontroversi terkait dengan pernyataan-pernyataan yang kebanyakan belum didukung oleh bukti yang memadai. Sejumlah penulis menegaskan bahwa Syiahisme dulu mempunyai pengaruh yang kuat di Indonesia, khususnya pada tahun-tahun awal penyebaran Islam di negeri ini. Saya berargumen bahwa tidak ada bukti yang memadai untuk mendukung penegasan ini (Azra 2000; Azra 1995:4-19). Kalau pun ada beberapa pengaruh ‘Syiah’, itu sangat dangkal.
Tak diragukan lagi, Syiahisme populer di Indonesia belum begitu lama, khususnya setelah Revolusi Islam di Iran. Kendati usaha keras telah dilakukan untuk menyebarkan Syiahisme ke Asia Tenggara pada periode kontemporer, teristimewa pasca-pembaharuan Revolusi Islami Ayatullah Ruhollah Khomeini, Muslim Asia Tenggara tetap berpegang pada doktrin kaum Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Dengan kata lain, kaum Syiah tetap merupakan minoritas di wilayah itu. Meskipun Muslim Asia Tenggara telah sangat sukses dalam mengembangkan ‘Wasatiyah Islam’—Islam Jalan Tengah—, ada kecenderungan makin sulitnya keadaan kaum Syiah di bagian-bagian tertentu kawasan ini.
Seiring menyerbarnya paham Salafiyah yang berpikiran harafi ah dan radikal di kalangan Muslim Asia Tenggara, kaum-kaum Syiah di tempat-tempat tertentu, seperti di Bangil dan Sampang, Madura (keduanya di Jawa Timur) menjadi sasaran permusuhan.
Mayoritas kaum Islam di Asia Tenggara adalah Sunni. Penganut aliran ini juga lazim disebut Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau singkatnya, Sunni. Sejak menjelang penghujung abad ke-12, para guru oleh para pedagang dan pelaut Muslim yang berasal dari Persia, Arab, Gujarat, dan India serta mereka mengislamkan penduduk lokal. Mereka membawa seorang Sayyid Mawlana ‘Abd al-Aziz Shah, orang Quraisy, untuk bertakhta sebagai Sultan. Berkat kekuasaannya, kaum Muslim setempat segera menganut Syiahisme. Menurut ‘kisah’ Hasymi, kekuasaan politis kaum Syiah di Kesultanan Perlak bukan tanpa perlawanan dari kaum Sunni. Dia menegaskan bahwa selama pemerintahan Sultan Syiah ketiga, Ala’ al-Din Sayyid Mawlana Abbas (memerintah 285-300 Hijriyah/889-913 Masehi), kaum Sunni memberontak selama dua tahun sebelum ditindas oleh Sang Sultan Syiah. Tidak berakhir sampai di situ karena kaum Sunni kembali mengangkat senjata melawan penguasa Syiah, Sultan Ala’ al-Din Mawlana Ali Mughayat Shah (memerintah 302-5 H / 915-8 M). Kali ini, kaum Sunni berhasil mengakhiri kekuasaan kaum Syiah; mereka membentuk Kesultanan Sunni dengan seorang penguasa Perlak pribumi yang bernama Meurah ‘Abd al-Qadir bergelar Sultan Makhdum Ala’ al-Din Malik Abd al-Qadir Shah Johan Berdaulat (memerintah 306-10 H/918-22 M).
Kembali kepada pertarungan yang disebut ‘politis, kekuasaan, dan religius di antara kaum Syiah dan Sunni di Asia Tenggara, tidak ada bukti bahwa ada entitas politis Islam di wilayah itu pada abad ke- 9. Meskipun para pedagang Muslim yang datang dari Arabia telah ada di pelabuhan Sriwaya pada abad ke-8, juga tidak ada bukti bahwa sudah ada konversi penduduk lokal ke Islam dalam jumlah yang signifikan. Konversi massal kepada Islam terjadi sebagian besar mulai dari penghujung abad ke-12 dan kedepannya (Azra 2007 dan 2004).
Di sisi lain, dari perspektif global dunia Muslim, selama periode yang diduga sebagai masa pertarungan mereka dengan kaum Sunni di Nusantara, Kaum Syiah belum terkonsolidasi sebagai suatu kekuatan politis. Orang perlu mengingat bahwa kaum Syiah masih berantakan setelah tragedi awal sejak masa khalifah ketiga dari para ‘Khalifah Yang Memperoleh Petunjuk’ (al-Khulafa’ al-Rashidun), Ali (memerintah 35-40 H/656-661 M) dengan Perang Siffin, pengambilalihan kekuasaan politis dari Hasan bin Ali bin Abu Thalib oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang mendirikan Dinasti Umayah (40-132 H/661-750 M), pembunuhan Husein bin Ali di Karbala oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah (61 H/680 M) hingga mereka ditinggalkan oleh Abbasiyah (132-656 H/749-1258 M) yang dulu mereka dukung pendiriannya. Jauh lebih belakangan pada periode Abbasiyah, kaum Syiah pada umumnya mendapat perlindungan dari para penguasa Sunni.
Perlindungan ini juga diberikan kepada dinasti-dinasti Syiah regional yang muncul pada waktu itu seperti Buwaihi (Ing., Buyid, dari Syiah Zaidiyah, didirikan 334-447 H /945-1055 Masehi di Persia Utara), yang bertumpang-tindih dengan Dailamiyah (Syiah Zaidiyah, didirikan 334 Hijriyah/945 Masehi), Hamdaniyah (didirikan 277-395 Hijriyah/890-1004
Masehi di Irak), dan Fatimiyah (Syiah Isma’iliyah, didirikan 297-567 Hijriyah/909-1171 Masehi di Tunisia dan Mesir). Semua dinasti Syiah ini pada umumnya menjalankan kebijakan yang bersahabat dengan kaum Sunni; para penguasanya tidak memaksakan konversi rakyat Sunninya kepada Syiahisme. Ini adalah salah satu alasan paling penting mengapa Mesir tetap Sunni selama periode dinasti Fatimiyah.
Lebih lanjut, dinasti-dinasti atau kesultanan-kesultanan Syiah ini rukun dengan Abbasiyah di Baghdad, mengakui para penguasanya sebagai khalifah dan juga dengan dinasti-dinasti Sunni regional yang kuat seperti kaum Saljuk (Turki-Sunni, didirikan 429-590 Hijriyah/1037-1194 Masehi di Anatolia-Syria-Asia Tengah- Persia), Ayyubiyah (didirikan 567-741 Hijriyah/1171-1341 Masehi, berpusat di Mesir). Para penguasa Sunni ini nyatanya bekerjasama dengan rekan Syiah mereka dalam mencegah penyebaran kelompok-kelompok Syiah radikal ( Al- Ghulat), termasuk kaum Syiah Qaramitah, yang disebut dengan salah oleh Parlindungan sebagai “ Karmatiyah” dan diduga memerintah dunia Minangkabau selama 300 tahun.
Meskipun terjalin hubungan baik, ada bukti yang cukup bahwa bentrokan-bentrokan yang jarang dan sebentar-sebentar benar-benar terjadi di kalangan kelompok-kelompok tertentu antara kaum Sunni dan Syiah. Akan tetapi, tampaknya konflik itu lebih bersifat religius daripada ideologis dan politis. Oleh karena itu, saya berargumen bahwa pertarungan ideologis dan politis di kalangan kaum Syiah dan Sunni mulai intens dengan kemunculan Dinasti Savafi d di Persia (907-1145 H/1501-1736 M). Dinasti itu didirikan oleh Shah Isma’il, yang sebenarnya berasal dari kaum Sufi Safavid, yang kemudian mendeklarasikan Syiahisme sebagai basis keagamaan yang resmi. Untuk maksud itu, dia mewajibkan semua pengkhotbah (khatib) selama shalat Jumat untuk berusaha meneladani Ali di satu sisi dan mengkritisi sebagian para sabahat serta semua penguasa Umayah dan Abbasiyah di sisi lain.
Shah Isma’il bertindak lebih jauh dengan menundukkan kaum Sunni di daerah-daerah seperti Hamadan, Isfahan, dan Shiraz. Akan tetapi, pergerakannya ke arah barat ditahan oleh Sultan Selim dari Kesultanan Utsmani. Munculnya Dinasti Safavid mengakhiri sejarah Persia sebagai salah satu pusat pemikiran dan ortodoksi Sunni. Sejak itu, Persia menjadi pusat aktivisme keagamaan dan politis Syiah yang paling kuat.
Penting dicatat bahwa kemunculan Dinasti Savafid jauh lebih belakangan dibandingkan tanggal yang diklaim para penulis yang telah disebutkan di muka sebagai masa ketika kaum Syiah merupakan penguasa beberapa kesultanan di Nusantara dan terlibat dalam pertarungan-pertarungan sengit dengan kaum Sunni di wilayah itu. Di Asia Barat pun, Dinasti Savafid gagal menciptakan momentum untuk penyebaran Syiahisme di wilayah itu. Kontrasnya, munculnya Dinasti Savavid merupakan daya pendorong bagi dinasti-dinasti Sunni untuk melakukan rekonsolidasi dan penguatan kembali Sunni; hal ini secara khusus terlihat nyata pada Dinasti Utsmani yang berperan penting dalam penguatan kembali ortodoksi dan solidaritas Sunni. Itulah sebabnya mengapa sejak abad ke-16, kesultanan Aceh mengirimkan duta berturut-turut ke Istanbul, yang mengakui bahwa kesultanan itu adalah vasal kesultanan Utsmani (Azra 2007: 148-76).
Oleh karena itu, tradisi politis Sunni yang dipengaruhi Persia dan juga segelintir kata-kata Persia menemukan jalan dan tanah yang subur di kesultanan-kesultanan Nusantara. Akan tetapi, perlu diingat yaitu orang tidak boleh melompat pada kesimpulan bahwa pengaruh Persia identik dengan kaum Syiah. Mereka menerima dengan mudah tradisi politis Sunni yang ‘terpersiakan’ karena tidak ada hubungannya dengan Syiahisme.
Semua diskusi di atas membawa kita ke salah satu argumen utama makalah ini bahwa Syiahisme sebagai ideologi dan entitas politis tidak pernah ada di Nusantara. Penegasan mengenai ‘pertarungan’ dan ‘kekuasaan politis’ kaum Syiah yang diduga ada di kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara lebih didasarkan pada persepsi konflik abad pertengahan dan modern di antara kedua sayap Islam itu yang diproyeksikan ke masa lampau.
dikutip dari buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara