Berita
Potret BURAM Penegakan Hukum dan Peran Media dalam Kasus JIS
Libur Natal dan Tahun Baru menjadi momen bahagia tersendiri bagi sebagian orang. Entah sekadar untuk berkumpul bersama keluarga, maupun pergi berwisata. Namun hal berbeda tengah dilakoni Maya Pramana dan Vanessa Siwy. Dua pengajar Jakarta Intercultural School (JIS) ini rela meluangkan waktu liburnya untuk menghadiri proses persidangan dua rekan kerjanya Neil Bantleman (Neil) dan Ferdinant Tjong (Ferdi) atas dakwaan, telah melakukan sodomi terhadap salah satu siswa JIS. “Menurut saya itu hanyalah rekayasa,” kata Maya. “Karena kita melihat ketidakmungkinan hal itu terjadi,” tambah Vanessa.
Apa yang diungkap Maya dan Vanessa bukan tanpa alasan. Ketidakmungkinan itu terjadi misalnya, dalam keterangan saksi pelapor, korban disodomi lebih dari 50 menit. “Saya juga menanyakan konsistensi dari ibu pelapor, kesaksian yang sering berbeda. Seperti ada skenario yang diubah-ubah. Dengan logika prosedur supervisor di JIS, itu tidak mungkin terjadi. Karena saya mengalami sendiri. Di kelas misalnya, kenapa ke toilet tidak ditemani, karena toiletnya dekat. Jangankan 5 menit. Misalnya 2 menit belum kembali saja, pasti asisten keluar dan melihat ada apa. Di depan toilet juga banyak orang lalu lalang, ada wali murid yang juga menunggu. Jadi mustahil kalau terjadi sodomi di situ. Apalagi dilakukan banyak orang,” ungkap Maya. Kejanggalan-kejanggalan lain juga sudah diungkap dalam pemberitaan ABI Press sebelumnya.(Kasus JIS antara Fakta dan Rekayasa)
“Waktu sidang putusan untuk lima terdakwa sebelumnya itu, saya duduk waktu Majelis Hakim memberikan pertimbangan-pertimbangan, lalu putusan. Saya denger itu. Semua yang ditimbang adalah semua yang dari pihak penuntut. Satu pihak saja. Waktu itu saya bertanya, lah yang dari saksi ahli kok nggak jadi bahan pertimbangan? Alat bukti juga tidak dipedulikan. Hanya dari pelapor. Yang diberikan dari pihak Jaksa saja yang jadi bahan pertimbangannya,” kata Vanessa mengungkapkan salah satu ketidakadilan dalam persidangan. Maya pun berpendapat sama. Ada ketimpangan dalam proses pengadilan ini. “Ini kan lembaga yang tidak hanya sebagai simbol keadilan, melainkan simbol kehormatan suatu bangsa. Saya berharap proses hukum dapat ditegakkan secara adil,” tutur Maya.
Maya menilai, dengan adanya saksi ahli yang tidak dipertimbangkan padahal jelas-jelas itu bisa dipertanggungjawabkan secara medis, merupakan sebuah hal yang perlu dipertanyakan. “Padahal sudah sejak awal diingatkan, tidak ada kasus sodomi. Otomatis kasus ini tidak boleh diteruskan, atau akan menjadi kriminalisasi tersendiri tentunya,” tutur Maya. “Kita kan menjadi bertanya-tanya, ada apa di balik keputusan Hakim?” sambung Vanessa.
“Ada ketidakadilan? Jelas,” kata Maya. “Kita ingin mengikuti ini sesuai prosedur. Tapi ketika prosedur ini mencederai prosedur itu sendiri, kemana kita mencari keadilan? Di negara kita karena mencari keadilan ya tempatnya di pengadilan. Kita mencari perlindungan ya di polisi. Kalau misalnya di level itu kita sudah tidak mendapatkan, kemana rakyat akan meminta perlindungan?” tanya Maya.
Selain itu mereka mempertanyakan peran media. Dalam hal ini, melihat kasus yang terjadi dengan JIS banyak media yang bersikap tidak adil dan tidak berimbang karena memberitakan hanya dari satu sisi saja. “Lalu dengan mudah membuat justifikasi dan opini publik.”
Sidang sebelumnya berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Seperti hari ini (30/12), yang merupakan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan keterangan saksi terkait tuduhan terhadap Neil dan Ferdi. Namun, sidang berlangsung secara tertutup. Maya, Vanessa dan rekan-rekan kerjanya pun hanya dapat menunggu di luar. Sebagian besar dari mereka mengenakan kostum bertuliskan “Free Neil & Ferdi” sebagai simbol dukungan agar kedua rekan mereka dibebaskan.
Maya dan Vanessa adalah guru Bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, menepis anggapan bahwa di JIS tidak diajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia. “Materi yang diajarkan selain kebahasaannya juga kebudayaannya. Kebudayaan bukan hanya meliputi tentang, misalnya memperkenalkan adanya Wayang, ada tari-tarian, tapi juga sopan santun, seperti bagaimana berjalan saat melewati orang, kenapa makan pakai tangan kanan dan sebagainya,” papar Maya.
Mereka menyayangkan adanya pihak yang menuduh bahwa JIS tidak mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia. “Padahal Bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di JIS,” kata Maya. “Saya bahkan juga mengajar ekskul angklung,” sambung Vanessa.
Selain itu, ekskul lain seperti gamelan, tari-tarian tradisional juga diajarkan di sana. Yang justru menurut Maya hal itu jarang dilakukan di sekolah-sekolah negeri kita. “Saya kadang-kadang suka bertanya kenapa sih hanya berdasarkan sentimen, mencari-cari kesalahan, atau berusaha memaksakan orang asing untuk lebih berbudaya Indonesia sedangkan mereka tidak memperhatikan budaya kita sendiri ini. Anak-anak di sekolah negeri yang justru harus di pantau kan? Karena anak-anak JIS hanya sementara di sini. Setelah itu mereka berpindah ke negaranya masing-masing. Dan mereka bisa menceritakan tentang negara Indonesia di sana,” kata Maya.
Terlepas dari itu, mereka berharap keadilan dapat ditegakkan di negeri ini. “Kalau ini dibiarkan terus terjadi, akhirnya aparat akan sibuk memenjarakan orang yang tidak bersalah, yang terjadi orang-orang jahat di luar sana akan bebas berkeliaran,” ungkap Maya.
Sementara itu, pandangan lain juga terucap dari Vanessa. “Kita semua membenci pedofil, kita akan mengutuk itu. Tapi, lebih keji lagi memfitnah orang sebagai pelaku pedofil. Itu jauh lebih kejam,” kecam Vanessa.
Mereka berdua berharap Neil dan Ferdi yang mereka anggap sebagai korban fitnah dapat segera dibebaskan. “Harapan terbesar saya, negara kita berlaku adil. Saya tidak rela kalau negara kita itu menjadi negara ‘tikus.’ Kita bukan negara ‘tikus.’ Saya yakin, bahwa ada satu waktu dimana tidak akan ada lagi aparat hukum kita yang tidak amanah,” pungkas Maya. (Malik/Yudhi)