Berita
Potret Buram Muslim Tertindas Rohingya
Kamis malam (6/2) kemarin pegiat HAM, penulis buku Exiled To Nowhere sekaligus fotografer terkemuka dunia Greg Constantine, mulai memamerkan hasil karyanya di Galeri Cemara 6 Menteng, Jakarta Pusat. Pameran fotografi yang disponsori National Endowment For Democracy, Jesuit Refugee Service Indonesia, Indonesia Civil Society Network for Refugee Right Protection dan Galeri Cemara 6 itu, kabarnya akan berlangsung hingga 16 Pebruari mendatang. Puluhan foto bernuansa hitam-putih tampak terpajang di seluruh dinding ruangan lantai dasar galeri. Hasil jepretan Constantine selama 8 tahun dirinya berada di Myanmar itu seolah ingin bercerita tentang derita dan ketertindasan Muslim Rohingya yang selama ini mengusik hatinya.
“Sungguh ini adalah pengalaman dan pemandangan cukup tragis buat saya. Miris hati saya menyaksikan sebuah komunitas yang telah hidup lama di sebuah Negara, namun tidak juga mendapatkan pengakuan dari penguasa. Sebaliknya mereka malah terus ditindas, diusir dan dipaksa pergi dengan cara kejam. Saya pikir, siapapun yang dengan sengaja dan sewenang-wenang membuat sebuah komunitas minoritas kehilangan masa depannya, berarti mereka telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang benar-benar nyata,” tegasnya saat media ABI mewawancarainya.
Menurutnya, semua dokumentasi foto di ajang pameran ini adalah wujud kesaksiannya sejak tahun 2006 berada di negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha itu. Ditanya apa sebenarnya tujuannya menggelar ajang semacam itu, kepada kami Constantine menyatakan bahwa melalui pameran fotografi yang akan digelarnya di beberapa negara Asean itu, dia hanya ingin berbagi kesaksian dan selanjutnya, sebisa mungkin menggalang empati. “Saya ingin agar para pembela HAM, lembaga-lembaga sosial dan para pembuat kebijakan di masing-masing negara, segera tergerak melakukan langkah-langkah nyata dalam membantu Muslim Rohingya keluar dari ketertindasan yang mereka alami dan belum juga berakhir hingga detik ini.”
Kita tahu bahwa sejak beberapa tahun lalu konflik antaretnis yang terjadi antara suku Muslim Rohingya atau Arakan yang mendiami wilayah Rakhine dengan kelompok radikal Budhis di wilayah Myanmar itu sudah ramai diberitakan berbagai media. Saat ini bahkan diperkirakan statusnya telah meluas menjadi genosida (ethnic cleansing, pembantaian massal) yang tak hanya menimpa salah satu etnis Muslim saja.Akibatnya, Muslim Myanmar (terdiri dari etnis Rohingya dan Muslim Burma) yang menurut data semula ada 5 juta jiwa itu, sejak konflik terus meluas jumlahnya pun turun drastis hanya tinggal beberapa ribu orang saja. Itu pun sebagian besarnya hanya mampu bertahan hidup terkonsentrasi di kamp-kamp pengungsian pinggir pantai. Tinggal menunggu waktu diusir atau dimusnahkan oleh kelompok radikal yang selama ini memusuhi mereka. Konon warga non-Muslim Myanmar merasa ketakutan minoritas Islam terus menyebar dan mengalahkan Budha sebagai mayoritas. Mereka tidak mau Myanmar menjadi seperti Indonesia, yang awalnya Budha berjaya tapi akhirnya berganti Islam. Hal ini tampak dari kian banyaknya wanita Budha di Myanmar yang setelah menikah dengan Muslim Rohingya lalu berpindah agama. Ditambah lagi adanya fenomena baru sebelum meletusnya konflik Rohingya, ketika kalangan Muslim hampir menguasai sektor penting ekonomi Myanmar.
Diakui Constantine, tak mudah membingkai kesaksian tentang derita panjang ketertindasan itu hanya lewat puluhan bahkan ratusan hasil karya fotografinya di ajang pameran kali ini. Kepada kami dia katakan, hanya ada tiga kata yang bisa diungkapkannya perihal Muslim Rohingya, yaitu “Very determined people.” Karena penderitaan itu sudah berlangsung sejak tahun 1982, saat status kewarganegaraan Muslim Rohingya secara resmi dihapus rezim pemerintah. Hidup tanpa hak milik atas darat dan lautan, membuat mereka jadi gelandangan yang terus diusir dari negara mereka sendiri hingga kehilanggan hak-hak fundamentalnya sebagai manusia. Belum lagi upaya pelarian dan pencarian suaka mereka demi menghindari kekejaman rezim penguasa itu pun kerap ditolak negara-negara tetangga.
Saat kami berkeliling ruangan, tampak salah satu foto yang dari keterangannya menunjukkan pengungsi Rohingya sedang menaiki truk-truk roda tiga di kamp-kamp pengungsi daerah pedalaman di luar Sittwe. Ada juga foto dua belas lelaki usia antara 19 dan 28 tahun yang sedang dipaksa turun dari bis di salah satu pos pemeriksaan. Keterangannya menyebut foto dijepret Constantine pada pagi hari, tepatnya tanggal 19 Pebruari 2012, dua tahun lalu.
Jika benar pengakuan Constantine, bahwa ajang pameran fotonya itu bagi Muslim Rohingya tidak akan pernah cukup. Tapi setidaknya, melalui foto-foto itu dia sudah mengambarkan kepada kita semua tentang perjuangan jatuh-bangun etnis Rohingya sekadar untuk dapat bertahan hidup. Juga tentang betapa berartinya arti hidup dan kebebasan terutama pada saat tiap hembusan napas manusia berada dalam ancaman kelompok radikal dan rezim pemerintah yang kejam. Karena itulah kata Constantine, setelah pameran di London, Canberra, US Halocaust Memorial Museum di Washington DC, ke Parlemen Eropa di Brussel, dan kali ini di Jakarta, dirinya masih akan melanjutkan kampanye kemanusiaannya itu ke kota-kota besar di negara lain seperti Bangkok dan Tokyo. (Lutfi/Yudhi)