Berita
Politisasi Media
“Media punya agenda setting, dapat mempengaruhi kita dalam menentukan apa yang dianggap penting,” kata Langitantyo, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI). Pemilik nama asli Langitantyo Tri Gezar itu juga mengutip penelitian Hendrato Darudoyo (2009) yang mengatakan, 76% media mengalami intervensi dan 71% konten dipengaruhi pemiliknya.
Hal itu disampaikan dalam diskusi publik di auditorium Ilmu Komunikasi FISIP UI Depok Jawa Barat (16/4). “Media juga dapat menjadi alat penguasa menjaga kekuasaan,” tuturnya.
Diskusi dengan tema “Politisasi Media: Dimanakah Pers yang Bebas dan Profesional?” itu juga menghadirkan pembicara lain dari Remotivi dan mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Nina M. Armando, mantan Komisioner KPI yang sekarang bertugas di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI menjadi salah satu pembicarannya. Ia menyampaikan Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 22 ayat (5) yang menyatakan bahwa: Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik untuk tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.
“Frekuensi milik publik, dan media harus independen. Tapi kalau pemilik medianya pimpinan partai politik bagaimana bisa independen?” tutur Nina.
Menurutnya di masa Orde Baru, ancaman bagi pers datang dari penguasa. Kini ancaman juga muncul dari pengusaha pemilik media erat kaitannya dengan politisasi media.
Kewenangan KPI dimana? “Apa boleh buat. Wewenang KPI diamputasi,” kata Nina.
“Keputusan MK terhadap Judicial Review UU Penyiaran yang diajukan oleh industri penyiaran: yang berwenang membuat peraturan pelaksanaan UU hanya pemerintah. Sejak 2005 pemerintah melahirkan berbagai PP (Peraturan Pemerintah) yang mengukuhkan kekuasaannya dan sebaliknya mengerdilkan kewenangan KPI,” paparnya.
Sementara ini menurutnya, KPI bertugas melaksanakan mekanisme pengawasan dan sanksi administratif bahkan pembekuan izin penyiaran. Namun hal itu butuh proses panjang mengingat pasal demi pasal dalam UU penyiaran ditentukan oleh pemerintah. “Sementara para pemilik media lebih akrab dengan pemerintah daripada KPI,” lanjut Nina.
Sementara itu Septi Prameswari dari Remotivi juga menjadi pembicara. Selaku lembaga yang mengawasi hal-hal terkait penyiaran, Remotivi yang diwakili Septi mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Dalam hal ini, mengajak untuk melaporkan hal-hal yang dianggap menyimpang dari lembaga-lembaga penyiaran. “Kita memiliki aplikasi android namanya Rapotivi, bisa menjadi wadah masyarakat untuk berpartisipasi melaporkan, kemudian akan kita verifikasi lalu diteruskan laporan itu ke KPI,” kata Nina.
Selan itu Remotivi memiliki tujuan mengubah pola hubungan televisi dengan penonton yang pada awalnya berupa hubungan produsen dengan konsumen menjadi hubungan antara peminjam frekuensi dengan warganegara. (Malik/Yudhi)