Berita
Politik Kartel: Membahas Politik Dengan Ideologi
SEMUANYA bermula dari kolusi di kalangan semua partai politik, kecuali PKB, untuk melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2000-2001. Pada masa itulah kartelisasi partai-partai di Indonesia menjadi semakin stabil terutama selama masa kepresidenan Megawati Sukarnoputri (2001-2004).
Seolah ada “moratorium” di kalangan partai politik ketika itu untuk sama-sama mengamankan jabatan presiden Megawati hingga tuntas di tahun 2004. Sebagai imbalannya pos-pos kementerian dalam kabinet Megawati dibagikan kepada partai pendukungnya. Di bawah komando PDIP dan Golkar, kartel melanjutkan diri mempersiapkan pemilu 2004.
Kartel terancam bubar saat pemilu 2004 dan memasuki sistem Pilpres baru yang memunculkan pemenang bukan dari peserta kartel tersebut. SBY-JK ketika itu hanya didukung partai gurem yakni Partai Demokrat, PKS, dan Partai Bulan Bintang.
Kartel sepertinya benar-benar bubar ketika SBY-JK memenangkan Pilpres dan kemudian PDIP, Golkar serta PKB memilih membentuk koalisi bernama “Koalisi Kebangsaan” yang bersedia mengambil sikap opisisi terhadap pemerintahan SBY.
Namun, kesinambungan politik dan kemapanan lebih ingin memperlihatkan bentuknya ketimbang perubahan. Ancaman bubarnya kartel tidak terwujud karena SBY-JK berhasil mengelola kartel dengan baik. Terutama ketika JK berhasil menjadi ketua umum partai Golkar.
Golkar akhirnya masuk ke dalam pemerintahan, PKB juga memutuskan bergabung. Dan kartel pun semakin ketambahan peserta. PDIP menjadi satu-satunya partai yang memilih beroposisi menyaksikan kolusi di antara partai-partai selama 10 tahun .
Kuskridho Ambardi (2008) menggambarkan politik kartel di Indonesia sebagai situasi ketika partai-partai politik secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan sebagai sebuah kelompok. Logika kartel membuat parpol merasa tidak perlu bersaing setelah Pileg dan Pilpres berakhir. Karena seberapa menang dan kalah pun, mereka tetap ditampung dan mendapat posisi.
Banyak kritik disuarakan oleh kelompok sosial demokrat di Indonesia bahwa sejak reformasi dan proses demokratisasi bergulir, partai politik di Indonesia tetap mewariskan elitisme dan oligarki dalam tradisi kepartaian. Politik Indonesia dicirikan dengan sebuah gerbong koalisi besar yang bertahap.
Parpol lebih sering hanya menjadi humas kapital daripada humas warga dan konstituennya. Parpol pun kerap kehilangan elan ideologisnya dan kehilangan wibawa anggotanya karena parpol tidak dihidupi oleh iuran partai semata tetapi terutama dihidupi oleh pengusaha dan cukong yang paling banyak uang dan kemudian menjadi pemimpin partai.
Sejumlah studi politik mempertanyakan bagaimana bisa sistem presidensialisme multipartai bisa terus berjalan di Indonesia tanpa rongrongan dan instabilitas yang hebat?
Braun (2008) misalnya menyebutkan dalam studinya bahwa sistem presidensial di Indonesia menjadi pemicu destabilisasi. Braun menyarankan agar Indonesia mengganti sistemnya dengan sistem parlementer.
Djayadi Hanan (2014) mengatakan para pendukung sistem parlementer seperti Linz (1994) Stepan dan Skach (1994) mengatakan bahwa presidensialisme yang umum dianut negara Amerika Latin dan Afrika hakikatnya lebih rentan terhadap instabilitas atau kehancuran demokrasi dibanding sistem parlementer.
Presidensialisme menurut Linz tidak punya katup pengaman layaknya sistem parlementarisme, yaitu mosi tidak percaya yang memungkinkan pembubaran pemerintah saat terjadi krisis tanpa perlu menghapus konstitusi.
Pemisahan yang ketat di antara cabang negara membuat presiden tidak punya opsi membubarkan parlemen, dan parlemen tidak punya opsi mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap eksekutif. Ketiadaan opsi itu mendorong partai-partai menggunakan manuver inkonstitusional dan mendorong presiden menawarkan otoritarianisme jika berhadapan dalam situasi konflik.
Selain itu, ada juga kemungkinan intervensi militer ketika permusuhan antara cabang-cabang pemerintahan berubah menjadi krisis (Mainwaring, 1993). Semua alasan ini menjadikan sistem presidensial rentan mengalami instabilitas demokrasi, jika bukan malah kehancuran demokrasi.
Argumen-argumen di atas menjelaskan kepada kita bahwa stabilitas demokrasi merupakan salah satu ciri penting suatu sistem pemerintahan bisa berjalan dengan baik.
Tapi apa yang teoritik, telah mendapat laboratorium menariknya di kancah perpolitikan Indonesia. Mengapa Indonesia mampu menghidupkan sistem presidensialisme yang multipartai? Padahal Amerika Serikat sebagai model demokrasi yang sering dirujuk Indonesia saja, lebih sederhana jumlah partainya?
Salah satu pandangan yang menawarkan penjelasan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah karena sistem kepartaian di Indonesia, sebagai basis utama bekerjanya demokrasi di Indonesia menganut sistem kartel. Inilah alasan mengapa sistem pemerintahan di Indonesia sejauh ini stabil tanpa ada huru-hara presidensialisme versus parlementarisme.
Sistem kartel telah membuat sistem presidensialisme di Indonesia yang multipartai sejauh ini dapat bekerja karena terjalin perselingkuhan dan kongkalikong di antara partai-partai politik dan karenanya juga antara legislatif dan eksekutif.
Sistem kartel telah mewujudkan persetujuan tidak ideologis di antara partai-partai besar dan kecil untuk memperoleh dan membagi “saham” dan kepentingannya dalam berbagai bentuknya. Seperti jabatan pemerintahan, proyek pemerintah, politik anggaran, dan jenis pemburuan rente lainnya.
Logika kartel ditunjang dengan oligarki di tubuh partai, memandang remeh ideologi atau prinsip-prinsip haluan partai. Mereka bahkan cenderung tidak peduli dengan kebijakan atau agenda presiden selama mereka tetap memperoleh keuntungan-keutungan politik dan ekonomi bagi keberlanjutan partai-partai mereka (Djayadi Hanan 2014).
Perselingkuhan dan kongkalikong inilah yang membuat gesekan hebat presidensialisme multipartai menjadi sangat berkurang dan persaingan antara eksekutif dan parlemen menjadi tidak diperlukan.
Katz dan Mair (1995) menemukan dalam studinya sebuah bentuk baru partai politik yang dalam studinya dinamai “partai kartel”. Partai-partai ini hidup dengan cara memerah sumber daya negara dengan cara saling berbagi. Dari waktu ke waktu mereka menggunakan demokrasi untuk saling menguatkan tujuan mereka mengeruk sumber daya negara demi kelangsungan partai dan kesejahteraan elitnya.
Menurut Katz dan Mair, partai kartel cenderung menutup pintu bagi partai-partai baru dan melakukan kampanye pemilu dengan gaya yang mahal, professional dan tersentralisasi. Semuanya mengandalkan keterampilan mengeruk sumber daya dan subsidi negara karena akses dan hak istimewa yang mereka miliki.
Ciri-ciri internal partai kartel umumnya semakin kabur antara anggota partai yang ideologis dan kader tulen dengan mereka yang datang belakangan hanya untuk maju menjadi peserta legislatif atau untuk menjadi pemimpin daerah.
Salah satu penelitian kartel yang khusus berbicara tentang sistem kepartaian di Indonesia adalah yang dilakukan Dan Slater (2004, 2006). Slater berpendapat Indonesia mengalami “jebakan akuntabilitas” karena kegagalan partai politik menjalankan fungsi checks and balances di pemerintahan. Setelah pemilu 1999, alih-alih semakin meruncingkan persaingan ideologi di tengah partai, yang terjadi malah pembentukan kartel yang mencegah munculnya posisi oposisi yang sejati.
Partai-partai mendulang banyak kepetingan ekonomi sebagai pemburu rente proyek dan pos anggaran pemerintahan di kementerian dan BUMN atau menerima “konsesi” karena melancarkan hubungan korporasi dengan pemerintahan.
Beberapa bentuk kasus nyata yang dapat mendukung kartelisasi dapat kita lihat dalam urusan politik anggaran APBN di legislatif. Seperti kita ketahui bersama APBN selalu disahkan berdasarkan konsensus sejak awal pemerintahan SBY. Jelask sekali kita lihat ada kecenderungan partai-partai cenderung seragam dan bertidak sebagai kelompok kartel.
Politik anggaran di APBN dan Badan Anggaran DPR semestinya menjadi pertarungan ideologis di antara partai-partai untuk menyusun kebijakan terutama pengeluaran publik berdasarkan alokasi sumber daya negara. Tapi kita liha sendiri, parpol cenderung seragam dan memudahkan politik anggaran karena mereka sama-sama punya dan berbagi kepentingan ekonomi di dalam politik anggaran tersebut.
Dalam situasi seperti ini, parpol akan terus mendukung presidensialisme multipartai selama peserta kekuasaan terutama eksekutif masih menampung logika kartel dan tidak berani memutus hubungan dirinya dengan kartel. Jika sudah begini, siapa pun presidennya, yang menang hanya kapital bukan rakyat dan perubahan. Partai politik tidak ubahnya hanya menjadi humas kapital. [Tasning]