Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Petaka Privatisasi Air Jakarta

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Itulah bunyi pasal 33 ayat 3, yang diamanahkan Undang-Undang Dasar kepada pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak vital publik ini.
 
Namun apakah amanat Undang-Undang ini dijalankan dengan benar? Sayangnya tidak. Banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa lebih dari 15 tahun lamanya air sebagai hak publik justru diprivatisasi dan dikuasai pengelolaannya oleh pihak swasta.
 
Adalah Ibu Halimah, warga kampung Rawa Badak, Jakarta Utara yang sejak 15 tahun lalu berjuang tak kenal lelah mendapatkan haknya atas air hingga kini. Dia pun mengisahkan duka-deritanya kepada ABI Press.
 
“Tahun 1998 air sering mati. Sampai hampir 3 bulanan nunggu adanya air.  Kadang-kadang dapet, kadang-kadang nggak. Dapetnya juga cuma 2 ember,” tutur Halimah.
 
Kebutuhan harian Bu Halimah adalah 2 drum air untuk satu hari. Namun karena minimnya debit air yang didapat, ia terpaksa memutar otak agar air cukup untuk keperluannya sehari-hari.
 
“Kalau pagi itu istilahnya mandi koboi. Anduk kecil dikasih air, lalu peras. Baru diusapin ke tubuh. Bekas air cuci beras dan air cuci sayur juga tidak dibuang. Kita kumpulin di ember. Dimanfaatin buat nyiram BAB,” ujar Halimah.
 
Tak hanya debit air yang tak mencukupi, kualitas air yang diterima dari PAM Jaya pun sangat buruk.
 
“Airnya bau, kotor, kemerah-merahan. Gak berani kalau kita minum langsung. Kita saring dulu kalau buat masak,” lanjut Halimah. “Bahkan sampai ada jentik nyamuknya, padahal kita taruh di drum yang rapat. Artinya dari PAMnya airnya memang kotor.”
 
Ibu-Ibu Melawan
 
Halimah tentu bukan satu-satunya. Ibu-Ibu lain tetangganya merasakan hal yang sama. Tak hanya di kampung Rawa Badak, di Cilincing pun warga mengalami nasib serupa. Inilah yang membuat Halimah tergerak memprotes. Ia mengumpulkan Ibu-Ibu tetangganya untuk menuntut hak atas air ini.
 
“Kami kan selalu bayar tagihan rekening, tapi airnya sudah sedikit, kotor, bau pula,” keluh Halimah.
 
Menurut Halimah, dulu di daerah tempat tinggalnya itu banyak air. Namun sejak daerah Gading yang dulunya rawa-rawa dijadikan komplek perumahan dan mall, mereka kehilangan air.
 
“Sudah kita gak dapat air, kalau telat didenda, ada perawatan kran harus bayar, Palyja selalu naikin air per semesternya diam-diam. Jadi kekesalan itu menumpuk. Sampai segitunya kita cuma ingin dapat air,” ujar Halimah, tak bisa menyembunyikan kegemasannya.
 
Kapitalisme Swastanisasi Air
 
Muhammad Reza Sahib, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA) saat ABI Press wawancarai menyebutkan akar masalahnya ada pada pengkhianatan pemerintah yang tidak menjalankan amanah konstitusi. Menyerahkan pengelolaan air pada kapitalisme swastanisasi air.
 
“Saat krisis, Juni 1997 itu Bank Dunia beri utang ke Indonesia untuk perbaikan pengelolaan air. Tapi menekan dengan syarat melibatkan sektor swasta,” ujar Reza.
 
“Yang main itu Times dan Suez. Times gandeng Sigit, dan Suez gandeng Salim Grup. Suez ini sekarang namanya Palyja. Sedang Times itu Aetra,” terang Reza. “Nah, di sinilah perlanggaran-pelanggaran hukum itu sudah nyata banget. Dari klausulnya kita lihat negara akan rugi, rakyat akan rugi. Tapi ditutup-tutupi sedemikian rupa. Bahkan kontraknya rahasia.”
 
“Sampai saat ini ada 1,8 triliun kerugian yg diderita pemerintah,” ujar Reza.
 
Menurut Reza air adalah hajat hidup orang banyak yang harusnya dikuasai Negara. Mandat konsititusi sangat jelas, air dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat bukan untuk keuntungan swasta. Persetujuan Kerja Sama yang selama ini penuh kejanggalan hanya menguntungkan swasta dan tak berorientasi pada kepentingan publik.
 
Runtuhnya Mitos Swasta Lebih Baik
 
Menurut Arif Maulana dari LBH Jakarta, keputusan ilegal yang menyalahi konstitusi ini merupakan ekses dari pandangan kapitalisme yang menganggap bahwa swasta lebih baik dari pemerintah. Dan menurut Arif, itu salah besar.
 
“Kan mitosnya kapitalisme itu, pengelolaan air akan lebih baik, lebih berkualitas. Pelayanan pasti juga lebih baik dong, swasta gitu. Itu kan doktrinnya kapitalisme,” ujar Arif. “Kalau negara itu lebih koruptif dan pelayanan buruk.”
 
“Tapi ternyata, setelah lewat 17 tahun ini, dari data BPS, yang terjadi adalah jangkauan distribusi air bersih hanya mencakup 50% saja dari seluruh wilayah Jakarta.”
 
“Juga banyak keluhan kualitas air itu jelek, keruh, bau dan sebagainya. Selain itu harganya mahal sekali. Kalau Palyja itu tarifnya Rp. 7.800,- per meter kubik, Aetra Rp. 6.800 per meter kubik. Yang kalu kita bandingkan dengan kota-kota besar di Indonesia itu paling di bawah Rp. 2.000,- ”
 
“Jakarta itu tertinggi di Indonesia harga airnya. Dan bahkan di Asia Tenggara pun tertinggi,” tambah Arif. “Di Singapura itu harganya Rp. 5.000, – sampai Rp. 6.000,- siap minum. Di Malaysia dan Thailand 3500. Di Indonesia bisa Rp. 6.800,- sampai Rp. 7.800,-. Itu pun dengan kualitas yang dipertanyakan.”
 
Kegagalan Privatisasi Air dan Gerakan Remunisipalisasi Air Dunia

Gerakan privatisasi air ini tak hanya ada di Indonesia, di hampir semua negara berkembang air juga diprivatisasi. Tapi faktanya, privatisasi air gagal memberikan pelayanan publik yang maksimal kepada rakyat. Ini terjadi di seluruh dunia.
 
Kegagalan ini membuat trend dunia berbalik arah. Muncul gerakan remunisipalisasi air, mengembalikan air dari swasta ke negara. Hingga tahun 2012 sudah ada 81 Negara yang melakukannya dan hasilnya lebih bagus. Termasuk Inggris dan Perancis, negara asal Suez dan Times pun melakukannya.
 
Arif berharap, setelah Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan dan menetapkan air sebagai barang milik publik yang tak boleh diprivatisasi dengan bebas oleh korporasi, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah merumuskan aturan mikronya.
 
“Aturan mengenai air ini kan masih makro ya? Itu harus diturunkan dalam peraturan daerah di Indonesia. Harusnya tiap daerah punya lembaga negara, semacam BUMD lah yang fokus tangani air di wilayahnya. Dan tujuannya buat kemakmuran rakyat, peningkatan APBD, kesejahteraan, ekonomi, dan sebagainya,” tutup Arif. (Muhammad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *