Berita
Pesan Toleransi Dari Bali
Jumat (5/12) lalu, bertempat di Hotel Puri Ayu, Denpasar, Bali, sebuah seminar internasional bertajuk “Moral and Innovative Leader: Young People Make Change” diselenggarakan oleh organisasi nirlaba Global Peace Foundation (GPF) Indonesia yang aktif mengajak generasi muda dalam memajukan kegiatan sosial kemasyarakatan. Acara seminar dimulai pada pukul 14.00 – 17.00 WITA dengan peserta mayoritas mahasiswa berjumlah lebih kurang 100 peserta berikut 28 delegasi Global Peace Volunteer (GPV) yang dipilih dari berbagai universitas di penjuru Indonesia.
Seminar menghadirkan pembicara Ida Pedanda Wayahan Wanasari selaku tokoh Hindu, serta akademisi kaliber internasional berkebangsaan Malaysia, Ms. Tokuda Poon Yor Ching sebagai penanggung jawab GPF Indonesia. Tidak seperti rangkaian acara formal pada umumnya, sesi kidung doa menurut kepercayaan Hindu dilakukan di awal untuk membuka acara.
Pedanda Wayahan berkesempatan menjadi pembicara pertama menyampaikan materi “Kemitraan Lembaga Lintas Agama Untuk Kerukunan”.
Dengan gaya menyenangkan dan penuh humor segar, Pedanda Wayahan menekankan bahwa jika generasi muda ingin menjadi agen perdamaian global yang inovatif sekaligus bermoral, maka dia harus siap menghormati keragaman simbol keagamaan umat lain. “Saya yakin kok andaikata Nabi Muhammad, Yesus, Budha Gautama, Krishna, dan semua pemuka agama dunia hadir dalam forum ini sebagai narasumber, pastilah semuanya bakal mencari persamaan satu sama lain. Tidak seperti sekarang ketika forum diskusi justru diarahkan menjadi debat yang saling mencerca satu sama lain karena lebih melihat aspek perbedaan satu sama lain,” ucapnya.
Bahkan dalam salah satu slide materinya Pedanda Wayahan menunjukkan satu kutipan dari Imam Ali bin Abi Thalib untuk menghargai manusia sebagaimana mestinya sekalipun ia bukan saudara seiman. Dalam pemaparannya pula secara khusus Pedanda berpesan agar selalu meningkatkan kualitas pengetahuan dan kesejahteraan ekonomi karena tanpa kehadiran dua faktor ini, berdasarkan amatannya, umat akan sangat mudah diprovokasi oleh sentimen keagamaan.
Adapun pembicara kedua adalah Ms. Tokuda. Secara terbuka ia menyatakan kekagumannya pada kebiasaan di lingkungan pemerintahan Indonesia, khususnya dalam pidato kepresidenan yang selalu diawali dengan menyampaikan ucapan salam menurut tata cara 6 agama di Indonesia. Baginya, ini adalah tradisi unik. “Sejatinya, bangsa anda ini sudah siap untuk mewujudkan global peace. Saya berani mengatakan demikian karena Indonesia memiliki falsafah bagus berbunyi Bhinneka Tunggal Ika. Malaysia, harus saya akui, masih belum memiliki modal ini,” ujar Ms. Tokuda sembari disambut tepuk tangan riuh peserta.
Lebih jauh untuk memperkuat argumen tersebut ia memberikan contoh hasil pengamatannya di Semarang mengenai bagaimana Islam dan kultur Tionghoa-Konghucu mampu bersanding bahkan melakukan asimilasi kebudayaan. Disampaikan pula, Nahdlatul Ulama sebagai ormas keagamaan turut diapresiasi lewat penghargaan yang diberikan oleh GPF Indonesia karena dinilai mampu mengakomodasi keragaman religio-kultural di Tanah Air. (Fikri/Yudhi)