Berita
Pesan Sakral Sultan Demak Di Tubuh Ki Amuk
Puing batu-bata merah berlumut bekas reruntuhan keraton Surosowan yang ditumbuhi rerumputan hijau liar itu, beberapa bagiannya masih tampak utuh. Pemandangan itulah yang pertama kali menyambut kedatangan ABI Press di Kasemen, Serang, Banten. Setelah tiga jam perjalanan dari Jakarta, sampailah kami di lokasi wisata Banten Lama, dekat Cilegon (sekitar 10 km dari pusat kota Serang), tepat pukul tiga sore, Rabu (5/3) kemarin.
Sejarah mencatat, keraton Surosowan dibangun sekitar tahun 1526-1570 pada masa pemerintahan Sultan pertama Banten, Sultan Maulana Hasanudin dan konon juga melibatkan arsitek asli Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel, yang memeluk Islam dan kemudian bergelar Pangeran Wiraguna. Terdapat dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area keraton dengan luas kurang lebih 3 hektar. Sepintas Surosowan mirip benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Keraton Surosowan ini memiliki tiga gerbang masuk, masing-masing terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya. Selain kolam berisi air berwarna hijau (dipenuhi ganggang dan lumut) pada bagian tengah, banyak pula ruang petirtaan (tempat mandi) di dalam keraton. Salah satu yang terkenal adalah bekas kolam taman, berbentuk persegi empat (panjang 30 meter, lebar 13 meter) dengan kedalaman 4,5 meter bernama Bale Kambang Rara Denok dan pancuran pemandian yang biasa disebut pancuran mas.
Melewati bekas reruntuhan keraton itu, ABI Press tiba di depan Masjid Agung Banten Lama dengan menara kokoh mirip pagoda setinggi 23 meter. Masjid di Barat alun-alun kota dengan arsitektur tradisional itu berdiri megah di tanah seluas 0,13 hektar. Bangunan induknya berdenah segi empat dengan atap bertingkat bersusun lima yang dikenal dengan istilah atap tumpang itu, tiga bagian atap teratasnya sama runcing dan bagian puncaknya terdapat hiasan atap yang disebut mamolo. Pondasi masjid pejal setinggi kurang lebih 70 cm ini konon berhubungan dengan konsep tradisional pra Islam yang cenderung membangun tempat suci di tempat yang lebih tinggi. Sementara dari sisi arsitektur, pondasi masjid yang demikian memang dianggap dapat memperkokoh bangunan.
Puas menikmati aura monumental masjid dan kharismanya yang tinggi, kami beranjak ke Museum Purbakala Banten Lama yang berada tak jauh dari sana, tepat di sebelah timur masjid. Di tempat inilah kami bertemu Ki Amuk. Diam, bisu, meriam seberat 7 ton dengan panjang 341 cm itu tampak gagah menyambut kami dan ratusan tetamu (peziarah) lain yang ingin mereguk karomah dan ngalap berkah di masjid bersejarah itu.
Karel Christiaan Crucq dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Ki Amuk ditemukan pertama kalinya di bekas pelabuhan Kesultanan Banten, Karangantu. Keberadaannya pun dikaitkan dengan Ki Jimat, meriam yang disebutkan dalam Babad Banten dan diprediksi telah dibuat pada tahun 1450 tahun Saka (1528/1529 M). Adapun nama Ki Amuk menurut Selamet, penjaga museum yang sejak awal menemani saya, adalah julukan pemberian rakyat Banten ke atas meriam itu karena bunyi dentuman dahsyatnya tak hanya kerap membuat ciut nyali musuh namun juga membuat mereka lari tunggang-langgang dari medan perang.
Sementara Sadjarah Banten mencatat keberadaan Ki Amuk sejak masa pemerintahan Sultan Abdulmafakhir Muhammad Abdulkadir yang pada masa itu berada di perkampungan bernama Candi Raras. Di situ terdapat dua bangunan berjuluk Made Bobot dan Made Sirap. Di sisi Timur Made Bobot itulah Ki Amuk diletakkan. Dengan moncong menghadap Utara ke arah laut, sejak awal Ki Amuk memang dimaksudkan untuk menghadang setiap musuh yang berusaha datang mendekat. Tugas utama sebagai penghadang musuh itulah yang membuat Selamet tak henti-hentinya berkisah tentang kegagahan meriam itu. Juga tentang asal-muasal keberadaannya sebagai hadiah dari Sultan Demak III, Sultan Trenggono kepada Maulana Hasanudin, penguasa Banten kala itu.
Dalam tarikh kesultanan Banten Surosowan, disebutkan bahwa Maulana Hasanudin adalah seorang penakluk wilayah Banten Girang yang kemudian mendirikan Kesultanan Banten. Menariknya, kata Selamet, bukan melalui utusan tapi justru melalui Ki Amuk lah pesan Sultan Demak disampaikan kepada Sultan Banten saat itu. “Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani.” Itulah selarik pesan berbahasa Arab yang terpatri di tubuh Ki Amuk. Pesan bermakna “Buah kebaikan adalah keselamatan iman,” itu disambung pesan lain berbunyi “La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta” yang artinya “Tak ada pemuda kecuali Ali, tak ada pedang selain Zulfiqar, bersabarlah atas huru-hara (peperangan), tak ada kematian kecuali karena ajal.”
Penasaran, ABI Press bertanya kepada Selamet, apa sebenarnya makna pesan panjang Sultan Demak itu. “Pesan ini adalah penyemangat kepada pasukan Islam yang saat itu telah berhasil menguasai wilayah Banten, untuk terus berjihad dan bersabar atas peperangan yang terjadi,” jelas Selamet dengan isyarat tangan yang terus bergerak dan sesekali menunjuk manuskrip di dekat Ki Amuk.
Bila direnungkan lebih mendalam, mungkin saja pesan sakral Sultan Demak kepada Sultan Banten itu bukan saja pesan khusus bagi bala tentara Kesultanan Banten masa itu, namun juga pesan bagi seluruh umat Islam masa itu hingga kini. Karena huru-hara pasti akan selalu ada di setiap masa sedangkan iman, sampai kapanpun akan tetap menjadi jalan keselamatan. Pertanyaan tersisa yang belum terjawab adalah, dari mana atau dari siapa Sultan Demak mengutip pesan yang kemudian dipatrinya di tubuh Ki Amuk, bahwa bala tentara Muslim mesti berjuang layaknya Ali dengan pedang Zulfikarnya, sehingga mereka pantang gentar menjemput kematian? Saat ini belum ada yang tahu pasti. Namun seiring waktu, kami berharap berkesempatan menemukan jawabnya. (Lutfi/Yudhi)