Berita
Pesan Perlawanan dan Kepahlawanan
(Refleksi Arbain)
Saat tulisan ini dibuat sejatinya tidak ada hari peringatan nasional apapun di Tanah Air. Namun izinkanlah penulis mengajak pembaca membuka kembali rekaman perjuangan bangsa.
Bayangkan saat ini kita berada di salah satu babakan sejarah perjuangan mempertahankan Republik; Serangan Umum 1 Maret 1949.
Lepas dari kontroversi yang meliputinya, kejadian ini cukup menarik dikaji ulang.
Alkisah pada saat itu Indonesia sudah dipandang publik internasional sebagai negara yang tidak berdaulat dan secara militer terpuruk akibat agresi Belanda.
Sebagai upaya mematahkan asumsi tersebut, laskar dan TNI mengadakan serangan serentak pada pukul enam pagi tepat atas Yogyakarta, Ibu Kota Indonesia saat itu yang dijaga ketat militer penjajah. Aksi bersejarah ini diikuti dengan pendudukan Kota Pelajar selama 6 jam lamanya oleh para pejuang. Ketika bala bantuan Belanda tiba dari arah Magelang, pasukan pimpinan Soeharto serta Sri Sultan Hamengkubuwono IX segera melakukan pengunduran diri.
Dalam aksi ini Republik harus mengorbankan sedikitnya 300 putra-putri terbaiknya gugur sedangkan kerugian di pihak penjajah jauh lebih sedikit.
Barangkali timbul pertanyaan sebagian kalangan, apa sebetulnya tujuan dari Serangan Umum? Dari segi kalkulasi militer, jelas operasi ini adalah kerugian besar dilihat dari rasio korban jiwa yang timpang. Kualitas persenjataan juga tak sepadan. Terlebih operasi ini terkesan “tanggung”. Mengapa pejuang tidak sekalian mengambil alih Ibu Kota? Apa pentingnya hanya sekadar menyerang, mendudukinya sesaat, lalu mundur kembali?
Di sinilah rahasianya. Serangan Umum memiliki makna strategis lain. Ia ditujukan sebagai pesan politik yang tegas kepada dunia: bahwa Indonesia masih ada, TNI dan rakyat masih sedia mempertahankan kemerdekaan. Api perlawanan belum padam. Kepahlawanan sejati ditunjukkan dengan keikhlasan berkorban nyawa.
Faktanya, “pesan” ini terbukti efektif. Sebagaimana ditulis sejarawan Pierre Heijboer dalam Agresi Militer Belanda, Serangan 1 Maret ini adalah hantaman telak bagi kaum penjajah di muka Internasional. Hingga kini, sejarah mengenang 1 Maret sebagai tanggal penting dalam kaleidoskop Indonesia.
Dari ilustrasi tersebut, bolehlah direfleksikan antara Serangan Umum 1 Maret dan Tragedi Karbala memiliki satu kesamaan penting: sadar akan kekuatan “pesan” dari sebuah perlawanan. Kedua kejadian yang berbeda zaman ini sama-sama tidak memfokuskan diri pada kemenangan militer. Imam Husein plus kafilahnya ketika bergerak ke Karbala, sebagaimana pejuang Republik ketika bergegas menuju Yogya, sadar pilihannya menuju medan itu akan berakhir tragis. Namun beliau tetap keukeuh mengorbankan diri demi membuktikan pada sejarah bahwa kepahlawanannya adalah bukti penolakan terhadap penindasan sekaligus pesan bahwa Islam sejati masih eksis di tengah era kalabendu kaum Muslimin masa itu.
Syahidnya Imam Husein plus 72 syuhada pada hari Asyura justru membuat pesan kepahlawanan dan perlawanan mereka bernilai tinggi. Harapan Yazid untuk menghapus memori kaum Muslimin terhadap Islam dan Keluarga Nabi salah besar. Meski dihinakan sedemikian rupa, perempuan pemberani bernama Zainab melalui lisannya tak gentar menyampaikan pesan kebenaran yang dibawa oleh sang kakak, Husein, di hadapan para penangkapnya. Bahkan bila kubur Imam Husein diratakan dengan tanah agar tak seorangpun mengetahuinya, namun kisah perlawanan dan kepahlawanan Karbala terlanjur membekas di hati para pencinta kebenaran. Pesannya terlalu kuat untuk dipatahkan. Termasuk seorang Jabir bin Abdullah yang dalam keterbatasan fisiknya, berkat rasa cintanya serta rahmat Allah, pada akhirnya mampu menemukan kubur tersebut dan menginisiasi peringatan Arbain kala itu, yang terbukti tetap lestari bahkan kian “hidup” hingga detik ini. (Fikri/Yudhi)