Berita
Pesan Imam Besar Al-Azhar: Umat Islam Harus bersaudara, Apapun Mazhab yang Dianutnya, Sunni atau Syiah!
Jakarta – Pada 2016 lalu, saya beruntung bisa berjumpa langsung dengan Imam Besar al Azhar Mesir, Syaikh Ahmed Tayyeb di Jakarta. “Saya lulusan al-Azhar, menulis buku tentang al-Azhar, ingin menghadiahkan buku ini kepada Yang Mulia. Saya bersama seorang jurnalis ingin mewawancarai Yang Mulia”, ujar saya kepada Sang Imam Besar pada saat itu.
Dengan ramah sekali, Imam Besar itu langsung menerima kami untuk sebuah wawancara yang lumayan lama. Ia menjawab pertanyaan dengan serius perihal perlunya memahami Islam sebagai agama rahmat bagi semua makhluk Tuhan dan tantangan ekstremisme yang dihadapi umat Islam saat ini.
“Umat Islam harus bersaudara, apapun mazhab yang dianutnya. Menjadi Sunni atau Syiah bukan sebuah kekeliruan. Keduanya harus bersaudara, saling menguatkan, dan mewujudkan persaudaraan”, ujar sosok yang sangat sederhana itu.
Minggu ini, Imam Besar al-Azhar berkunjung lagi ke Jakarta untuk menghadiri Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan. Ia didapuk menyampaikan pidato pembukaan dalam perhelatan tersebut, di samping mengisi ceramah di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Pondok Puteri Mantingan Gontor, Ponorogo.
Imam Besar al-Azhar merupakan sosok yang sangat penting saat ini. Ia dinobatkan oleh The Royal Islamic Strategic Center sebagai ulama nomor wahid yang paling berpengaruh di dunia. Ia dianggap sebagai sosok yang mampu menginspirasi dunia Islam untuk terus mewujudkan perdamaian, harmoni, dan moderasi.
Dalam sebuah pertemuan dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, saya berkesempatan menghadiri dialog terbuka dengan Imam Besar al-Azhar, yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj. Begitu pula saat menyampaikan pidato pembuka di Istana Kebun Raya Bogor, saya juga beruntung bisa mendengarkan langsung pesan-pesan Sang Imam Besar.
Yang menarik dari Imam Besar al-Azhar bukan pada orasinya yang heroik dan berkobar-kobar, tapi kesejukan dan keteduhan tutur katanya. Ia istiqamah menegaskan pentingnya moderasi Islam. Ia mengingatkan kita semua agar selalu berada dalam jalur moderasi Islam.
Menurut Imam Besar al-Azhar, moderasi pada hakikatnya adalah jalan tengah, keadilan, dan keramahtamahan. Moderasi menjadi unsur distingtif bagi umat Islam, karena Nabi Muhammad SAW diutus Tuhan hanya untuk menebarkan rahmat bagi seluruh makhluk-Nya. Islam harus membawa kemaslahatan bagi sesama manusia.
Pada ranah ini, problem moderasi Islam menurut Imam Besar al-Azhar bukan pada tataran konsepsinya, melainkan pada tataran praksisnya. Di tengah pembajakan terhadap Islam yang dilakukan oleh kelompok ekstremis, maka diperlukan sebuah upaya sungguh-sungguh untuk membumikan Islam Moderat. Di sinilah Imam Besar al-Azhar menjadi pionir bagi terobosan membumikan moderasi Islam.
Di tengah gelombang politisasi agama yang sangat kuat pasca-Musim Semi, Imam Besar al-Azhar terus menunjukkan posisinya sebagai lokomotif moderasi Islam. Al-Azhar menjadi gerakan masyarakat sipil yang mempersatukan berbagai kelompok di dalam umat Islam, termasuk mempersatukan antara Muslim dan Non-Muslim dalam konteks kebangsaan. Salah satu ungkapan Imam Besar al-Azhar yang sangat populer di Mesir, “Persatuan antara umat Islam dan Kristen Koptik merupakan sebuah keniscayaan.”
Menurut Imam Besar al-Azhar, persatuan dan persaudaraan sesama umat Islam sangat penting. Hal tersebut menjadi salah satu ciri utama dari moderasi Islam. Apapun mazhab, model, dan corak pemikiran yang dianut oleh umat Islam sejatinya mengedepankan persatuan, bukan konflik dan perseteruan.
Salah satu ungkapan Imam Besar al-Azhar yang sangat populer di tengah-tengah umat Islam, di antaranya adalah Sunni dan Syiah ibarat dua sayap yang harus berjalan beriringan, tidak boleh ada yang patah di antara salah satu sayap tersebut. Keduanya harus hidup dalam harmoni dan toleransi, serta menjunjung tinggi persatuan.
Dalam rangka menjaga persatuan di antara sesama Muslim, maka kita harus meninggalkan dan menanggalkan jauh-jauh klaim atau monopoli kebenaran dengan dalih mengkafirkan pihak lain yang berbeda dengan kita. Karenanya, masalah serius yang dihadapi umat Islam saat ini adalah maraknya paham takfir. Paham ini menganggap hanya dirinya yang benar, sedang orang lain sepenuhnya salah. Paham takfir ini menjadi masalah serius, bahkan benalu umat Islam.
Saatnya kita kembali ke fondasi yang diletakkan oleh Ahlussunnah wal Jamaah, khusunya Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia sepenuhnya melarang pengkafiran pada sesama Muslim sejauh menghadap kiblat. Seorang Muslim tidak berhak mengekslusi keimanan orang lain. Setiap Muslim dilindungi oleh Allah SWT dan utusan-Nya.
Dalam konteks tersebut, al-Azhar sebagai benteng moderasi Islam selalu berada di garda terdepan untuk mengukuhkan moderasi Islam dengan memberikan pemahaman yang moderat terhadap al-Quran dan hadis. Sejak dini para pelajar al-Azhar dibekali dengan budaya dialog, keniscayaan perbedaan, dan pentingnya menghormati pendapat orang lain. Karenanya, menurut Imam Besar al-Azhar, siapapun yang lulus dari rahim pendidikan al-Azhar tidak mungkin menjadi takfiri. Lulusan al-Azhar tidak mungkin mengkafirkan pihak lain karena perbedaan mazhab dan pandangan keagamaan.
Pada akhirnya, Imam Besar al-Azhar menyerukan kepada kita untuk senantiasa mencari titik-temu dan memaklumi adanya perbedaan sebagai bagian dari takdir Tuhan pada setiap makhluk-Nya. Titik-temu merupakan ijtihad yang mutlak dilakukan umat Islam agar moderasi Islam menjadi ruh yang menjadikan umat Islam dapat membangun persaudaraan dan persatuan.
Itulah pesona Imam Besar al-Azhar yang selalu menjadi oase bagi umat Islam di tengah konflik dan perseteruan yang diakibatkan oleh perbedaan politik, kebodohan, dan permainan kekuatan besar dalam pertarungan global. Umat Islam harus menegaskan jati dirinya sebagai ummatan wasathan, umat yang moderat. Karenanya, moderasi Islam adalah solusi bagi persoalan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. (detik.c0m/asf/abi)
Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama, lulusan al-Azhar Mesir, dan analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute