Berita
#PersatuanMuslimin: Pandangan tentang Asal-Usul Mazhab
Pembahasan sebelumnya: #PersatuanMuslimin: Sebab Fundamental Perpecahan
Perbedaan-pandangan terhadap asal-usul mazhab-mazhab tersebut dapat dipilah menjadi dua sikap utama: Sikap pertama adalah dari Salafi, atau mereka yang mengklaim mempertahankan loyalitas pada para pendahulu yang saleh (salaf as-shalih) dan meyakini bahwa asal-usul mazhab dalam Islam adalah sebuah bidah (bid’ah). Para pemimpin dari kelompok tersebut saat ini adalah kaum Wahhabi. Salah seorang pemimpin mereka, yang bernama Syekh Nasiruddin Albani, menulis buku tentang bidah-bidah yang ada, bahkan di dalam mazhab Ahlusunnah. Dalam buku itu ia mendeklarasikan beberapa fatwa, bahwa yang tidak cocok dengan asumsi dan seleranya dianggap sebagai bidah.
Mereka meyakini bahwa Islam saat ini semestinya sama dengan Islam pada zaman Nabi saw, para sahabat dan para salaf as-Shalih. Hal itu bisa terjadi -menurut mereka- jika tidak ada mazhab, jalan, atau aneka perbedaan yang muncul. Apa saja yang dipraktikkan dan datang dari setelah [tiga] era tersebut maka dinyatakan sebagai bidah.
Kelompok kedua berkeyakinan bahwa perkembangan mazhab merupakan peristiwa positif. Namun, kelompok ini juga keliru karena mereka biasanya menempatkan mazhab sebagai agama, dan menyatakan bahwa siapapun yang menentang akar dan cabang mazhab yang dimaksud sebenarnya menentang agama.
Pandangan kedua ini secara langsung berlawanan dengan yang pertama, yaitu ketika pandangan pertama menyatakan bahwa tidak boleh ada mazhab yang eksis karena itu adalah bidah; sebaliknya, pandangan kedua menyatakan bahwa mazhab saya adalah alat ukur yang menakar agama dan siapapun yang tidak setuju dengan mazhab / sekte saya maka ia sebenarnya tidak setuju dengan lslam.
Dengan melihat dua pandangan di atas, lantas manakah yang mewakili kebenaran dan harus kita pilih?
Kita tentu saja tidak bisa mengambil pandangan bahwa kemazhaban itu bertentangan dengan sifat-sifat Islam. Alquran menyatakan: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? (QS. 47:24)
Dan, Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama… (QS. 9:122)
Alquran hadir di tengah-tengah umat manusia dengan tujuan menyeru pembacanya untuk berpikir, memahami, dan memiliki pemahaman mendalam (faqih). Bukankah kasus itu berada dalam arti yang umum bagi manusia agar terus belajar gigih (ber-tafaqquh), mengingat dalam dimensi keyakinan atau akidah, praktik atau fikih, dan akhlaq atau etika, pada akhirnya tentu membutuhkan pemikiran, deduksi (istinbat), dan ijtihad (upaya intelektual untuk memperoleh kesimpulan hukum)?
Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa Islam sendiri telah meletakkan dasar-dasar ijtihad dan pembentukan pendapat orang itu sendiri. Oleh karena itu adalah sudah sewajarnya dan bahkan harus jika islam mentolerir terjadinya perbedaan pendapat di tengah masyarakat sampai batas batas yang wajar. Hal ini karena tidak mungkin bagi Alquran yang di satu sisi memerintahkan kita untuk bertafaqquh dalam agama, sementara di sisi lain berlaku memaksa, sehingga ketika timbul masalah lantas menyatakan, “Katakan ini [saja] dan jangan katakan yang lain!.”
Untungnya, para ulama pada semua mazhab percaya bahwa dalam masalah mendasar (dharuri) tidak ada ruang untuk ijtihad dan taklid. Namun, hal fundamental tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk ijtihad dalam masalah-masalah non-fundamental.
Hal ini penting dikemukakan untuk mengingatkan diri kita bahwa isu-isu dalam islam itu bisa dipilah-pilah. Seperti cara pemilahan ke dalam tiga kategori; yaitu akidah, fikih dan akhlak. Pada masa Nabi saw hingga era para pendahulu yang saleh itu, barangkali konsep-konsep agama dipahami secara umum [jika dilihat dari perspektif perkembangan pemikiran di era setelahnya]. Begitu pula dengan praktik-praktik fikih, mengingat gerak perkembangan sosial yang terjadi. Berbagai konsep ketika itu dipahami, misalnya belum berada di bawah upaya penelitian dan studi yang kompleks. Misalnya, tidak pernah muncul pertanyaan, apakah firman Allah itu tidak diciptakan dan kekal (qadim) atau diciptakan dan temporal (hadits)? Apakah sifat-sifat Tuhan terpisah dari atau identik dengan Zat Ilahi? Dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu boleh jadi belum pernah diajukan dan terlontar ke tengah masyarakat. Mereka mencukupkan pada pemahaman dan pembahasan bahwa Tuhan adalah Mahaesa dengan sifat-sifat yang telah disebutkan dalam Alquran. Begitu pula dalam ranah fikih dan akhlak.
Namun, ketika ilmu-ilmu Islam berkembang dan semakin maju, dan pertanyaan seperti itu muncul di dunia Islam, [lalu] apa yang seharusnya dilakukan? Apakah benar jika kita mengatakan, ‘tidak perlu ada ada diskusi’?. Jika dilakukan pembatasan terhadap diskusi-diskusi tentang hukum atau fikih dan ilmu akidah semacam itu maka semua warisan terpendam Islam akan terabaikan dan dikesampingkan. Hal itu juga berarti bahwa fikih atau yurisprudensi yang luas pada mazhab-mazhab harus dihapus, [dengan alasan] karena di era awal sejarah Islam tidak ada fikih; dan yang ada hanya Alquran dan Sunnah. Begitu pula di bidang teologi, semua penelitian dari mazhab yang berbeda-beda pun harus dihapuskan, karena terlarang untuk menghadirkan yang baru. Dan, hal yang sama akan dilakukan dalam lingkup akhlak juga.
Jika para ulama masa lalu dari dunia Islam juga dianggap mengembangkan bidah karena temuan metodologi dan pikiran-pikiran barunya, lalu apa yang sebenarnya diinginkan oleh orang-orang seperti Ghazali pada bagian akhir dari abad kelima dengan menghasilkan karya-karya dalam berbagai cabang ilmu Islam; seperti fiqh, ushul (prinsip-prinsip hukum Islam), teologi, dan ahklaq? Atau, mungkinkah bagi seseorang seperti Syekh Thusi akan muncul pada abad yang sama? Atau juga, akankah Ibnu Taimiyah dan muridnya lbnu Qayyim, pendiri pemikiran Salafi itu, muncul di abad ke-8? Bukankah mereka semua memanfaatkan pengetahuan abaq sebelumnya dalam menyusun dan menulis pandangan-pandangan mereka?
Ketidakabsahan pandangan anti-kemazhaban pun menjadi jelas. Sebab, Islam sendiri telah mendorong ijtihad, refleksi, dan kontemplasi, seperti dinyatakan dalam berbagai frasa; ‘afala ta’qilun’, atau ‘afala tatafakkarun?’; dan seterusnya. Sehingga Islam tentu mengizinkan setiap umatnya untuk memikirkan tentang berbagai masalah dan menghasilkan konsep yang tidak selalu sama. Tentu saja ada persyaratan bagaimana membangun pemikiran secara benar dan cara untuk menyampaikan pendapat secara tepat dan santun. Kita harus menyadari bahwa Allah, Yang Maha Melihat dan Memelihara, senantiasa memperhatikan dan menuntut setiap upaya mulia yang dilakukan hambanya.
Ijtihad harus ada, dan keberadaannya meniscayakan jalur dan kecenderungan yang berbeda, yang semuanya merupakan rahmat [dari Allah]. Tentu saja, mazhab yang berbeda-beda itu tidak boleh terperangkap pada tujuan-tujuan politik, seperti yang -sayangnya- telah terjadi. Perbedaan yang ada tentunya merupakan upaya dan jalan-jalan yang digunakan untuk mencapai kebenaran seutuhnya dan hakiki, dan jika belum sampai pada kebenaran sejati, maka upaya-upaya jujur dan argumentatif (berdasarkan pada kelogisan yang kuat dan gamblang) yang dilakukan bisa memperkaya khazanah islam dan terpuji.
Alquran menyatakan tentang apa-apa yang patut digenggam dalam menempuh jalan kebenaran dalam kalimat, ...setelah datang kepada mereka keterangan-keteranganyang nyata…(QS. 2:213)
Perbedaan yang wajar seperti di atas, bukanlah penyebab perpecahan. Jika kita tidak mempermasalahkan berbagai perbedaan-pendapat yang ditemukan dalam dunia ilmiah, seperti dalam disiplin fisika, kimia, dan obat-obatan, lalu kenapa perbedaan pendapat dalam fikih, kalam, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya bermasalah?. Jenis perbedaan seharusnya tidak menjadi penyebab perselisihan, kebencian, dan penumpahan darah!. Para penganut mazhab-mazhab itu memulai perselisihan destruktifnya ketika kekuatan-kekuatan politik jahat memaksakan pendapat dan kehendaknya dan menyokong satu mazhab tertentu sebagai bahan legitimasi yang dipaksakan demi memajukan strategi dan meraih kepentingan politik mereka sendiri.
Islam menerima kebangsaan dan etnisitas dalam tingkat yang wajar, dan secara normal. Alquran menegaskan hal itu: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…(QS. 49:13)
Penciptaan [manusia] berdasar pada suku dan bangsa. Meski demikian ‘Iita’rafu’ (agar kamu dapat mengidentifikasi dirimu sendiri dan saling mengenal) bermakna bahwa perbedaan kesukuan dan kebangsaan haruslah terbingkai dalam kesantunan dan keramahan satu sama lain, bukan agar mereka menolak dan menafikan satu sama lain. Karena sesungguhnya, keragaman bangsa dan suku itu berada dalam sebuah kesatuan kemanusiaan. Ketika satu dari etnis atau bangsa jatuh terjerembab ke jurang ta’ashshub (prasangka buruk), mereka akan bertindak bertentangan dengan Islam dan Alquran, seperti tampak dalam pernyataan Nabi Muhammad saw:
“Orang yang menyebarkan prasangka buruk bukanlah dari golongan kami.”
Tapi sayangnya, sepanjang sejarah, dan khususnya di abad ini, hal tersebut telah menebarkan efek yang sangat negatif di dunia Islam.
Kekuatan-kekuatan kolonial memahami betul semua itu, dan kita melihat bagaimana mereka piawai melepaskan ikatan-ikatan kebersamaan orang-orang Arab, Turki, Persia, Kurdi, Lurs, non-Arab dan yang lain, yang berada di bawah bendera [ummah] Islam. Itulah sebabnya mengapa kelompok penindas itu mampu menyeret masyarakat di sana kepada rasa bangga kebangsaan, terutama kebangsaan Arab, yang merupakan sebuah pukulan terhadap seluruh dunia lslam yang hingga kini masih terasa. Slogan berikut ini ditulis dalam sebuah perempatan di Kairo: “Keputusan milik Allah dan kekuatan milik orang-orang Arab”; sementara Allah Swt berfirman, …Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya, dan Orang-orang mukmin...(QS. 63:8)
Tidak ada pelebihan etnis apapun terhadap etnis yang lain, dan satu-satunya alasan pelebihan atau pengafdalan hanyalah karena takwa [takut pada Allah). Kita akhiri tulisan ini dengan ayat indah Alquran:
Perpegang-teguhlah kamu semua, kepada tali Allah, dan janganlah bercerai berai [karena politik, mazhab atau etnis]. Dan ingatlah nikmat AIIah yang diberikan kepadamu ketika kamu [sebelumnya] bermusuh-musuhan, kemudian Dia mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu bersaudara disebabkan karunia-Nya. [QS. 3:103)
oleh Muhammad Vaiz-Zadeh Khurasani, Jurnal Bayan, vol 3, 2013