Artikel
Persatuan Umat
Persatuan umat adalah kekuatan Islam dan perpecahan umat -apapun alasannya- adalah kelemahan dan kehancuran.
Perbedaan adalah sebuah kenyataan. Menafikan perbedaan adalah kedunguan yang sangat nyata. Orang yang cerdas adalah orang memahami perbedaan lalu mengorganisirnya hingga menjadi kekuatan.
Dakwah Islam selalu mengajak kepada persaudaraan dan persatuan. Walau persatuan tidak mudah tetapi dapat diwujudkan. Karena sesungguhnya persatuan adalah anugerah Allah Ta’ala kepada umat-Nya. Dan pada hakikatnya Dialah yang mempersatukan umat dalam keragamannya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan Dia yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfāl, 8: 63)
Salah satu cara dalam mewujudkan persatuan adalah berpegang teguh kepada al-Qur’an karena Allah Ta’ala yang menciptakan manusia, lalu Dia pula yang menurunkan panduannya yakni al-Qur’an yang mulia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imrān, 3: 103)
Landasan Persatuan
Persatuan dan kesatuan umat dapat terwujud apabila mereka berpegang kepada nilai universalitas Islam. Di antara nilai universalitas Islam yang dapat dijadikan landasan dalam membangun persatuan umat adalah:
- Akidah mustaqimah
Secara etimologis akidah artinya ikatan atau komitmen. Secara terminologis akidah adalah ikatan atau komitmen seorang hamba kepada Tuhannya untuk mewujudkan “kalimat thoyyibah” dalam pentas kehidupan.
Abu Bakar al Jazayri berkata, secara rasional akidah merupakan pondasi setiap Muslim dalam menjalankan kehidupan di dunia. Seorang Muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala “membenarkan” bahwa Allah Ta’ala itu Esa, Dia pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui yang lahir dan batin, Tuhan segala sesuatu dan Dia disifati dengan kesempurnaan (kamaliyah) dan keindahan (jamaliyah) serta suci dari kekurangan.
Beberapa ayat menginformasikan tentang Allah Ta’ala adalah sebagai berikut,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ ۗ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’rāf, 7: 54)
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha, 20: 14)
Berpegang teguh kepada akidah yang lurus adalah pondasi utama, namun kebenaran akidah yang diyakininya tidak boleh menjelekkan keyakinan agama orang lain. Karena menghina keyakinan orang lain adalah pertanda akidahnya tidak lurus.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. al-An’ām, 6: 108).
Perbedaan agama adalah sebuah realitas sosial, menanamkan kebencian terhadap pemeluk agama lain adalah kesalahan besar.
Salah satu tanda akidah yang lurus adalah tidak menghina Tuhan agama lain, karena menghina Tuhan agama lain berarti menghina Allah Ta’ala.
Islam secara tegas mengajarkan cara atau etika bergaul dengan pemeluk agama lain.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُون َ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ . وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah, hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. al-Kāfirūn, 109: 1-6)
Hubungan antar pemeluk agama jelas: Pertama, tidak mencampuradukkan doktrin agama masing-masing; Kedua, toleransi beragama yaitu, Agamamu untukmu dan agamaku untukku.
- Ibadah yang benar
Aktualisasi dari akidah yang lurus adalah ibadah yang benar. Kebenaran dalam memahami teks agama sangat beragam karena dalam kajian teks sangat dimungkinkan terjadinya multi interpretasi. Kehadiran mazhab dalam bidang fikih dan aplikasi ibadah menunjukkan bahwa teks dapat ditafsirkan berbeda, baik dalam pendekatan hakikat al syari’ah, hakikat ‘urfiyah dan hakikat lughawiyah atau bahasa.
Meyakini amalan dan menjalankannya adalah sebuah keharusan, tetapi menyalahkan amalan orang lain adalah pengrusakan. Secara rasional orang awam pasti mengikuti orang alim, namun meyakini kealiman seseorang tidak boleh dibarengi dengan membenci guru orang lain. Fenomena kekinian yang seringkali “merasa benar” dalam beragama lalu “menyalahkan” amalan orang adalah proses penghancuran Islam dari dalam dan merusak persatuan.
فَلِذَٰلِكَ فَادْعُ ۖ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ ۖ وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ ۖ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah, aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita).” (QS. al-Syūrā, 42: 15)
Kebencian atau menanamkan rasa benci kepada orang yang tidak semazhab adalah kebodohan yang nyata. Menghukumi amal ibadah orang lain dengan menggunakan kacamata pribadi dengan alasan kelemahan dalil orang adalah sebuah proses pembodohan di masyarakat. Persatuan akan hancur bila orang awam merasa mengerti agama, dan tidak menghormati amalan ibadah orang lain.
- Akhlak mulia
Sesungguhnya inti agama adalah mewujudkan akhlak mulia. Salah satu akhlak mulia dalam menyampaikan gagasan dan pendapat adalah sebagai berikut:
a). berkata yang benar.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. al-Aḥzāb, 33: 70)
Gagasan dan pendapat hanya berisi perkataan yang benar. Kata-kata dusta bukan hanya akan merusak persatuan, juga diancam neraka oleh Allah Ta’ala.
Rasulallah saw bersabda, siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silahkan ambil tempat duduknya di neraka.
b). Berkata yang lemah lembut.
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha, 20: 44)
Saat Fir’aun sudah melampaui batas, Allah Ta’ala memerintahkan kepada nabi Musa dan nabi Harun agar menyampaikan kebenaran di hadapan Fir’aun dengan perkataan yang lemah lembut. Karena perkataan lemah lembut adalah cermin kelembutan hati.
c). Berkata dengan perkataan yang berbobot.
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS al-Muzammil, 73: 5)
Al-Qur’an adalah perkataan yang berbobot berat, bernilai tinggi dan agung. Seseorang yang menyampaikan dakwah Islam harus sejalan dengan bobot wahyu hingga perkataannya mempunyai efek positif bagi orang yang mendengarkannya.
4). Perkataan yang baik
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. al-Baqarah, 2: 235)
Perkataan yang baik adalah perkataan yang sejalan dengan kebaikan natural. Al-Qur’an mengajarkan agar berbicara sejalan dengan bahasa kaumnya. Rasulallah saw mengajarkan agar berbicara sesuai kapasitas orang yang diajak bicara, hingga pesan positif dapat menyentuh hati orang yang diajak bicara.
Akhlak berbicara yang diajarkan oleh al-Qur’an akan berbekas dan berdampak positif bagi orang yang mendengarkannya. Dengan perkataan yang berakhlak akan terwujud persatuan umat.
Sumber: Sebuah Renungan; Dr. M Zuhdi Zaini.