Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Pernyataan Para Ulama Syiah yang Muktabar tentang Tahrif (perubahan) Alquran

Pernyataan para ulama mazhab Ahlul Bait yang muktabar dituangkan di sini:

  1. Syaikh Al-Shaduq (w. 381 H/ 991 M) dalam Al-I’tiqâdât menyatakan, “Alquran dalam keyakinan kami adalah kalam, wahyu, perkataan, dan kitab yang diturunkan Allah. Sesungguhnya ia (Alquran) tidak datang kepadanya kebatilan dari depan maupun dari belakangnya, (QS. Fusshilat [41]: 43). Sesungguhnya ia adalah kisah yang benar (QS. Âli ‘Imrân [3]: 62). Sesungguhnya Alquran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan batil, dan sekali-kali bukanlah senda gurau(QS. Al-Thâriq [86]: 13-14). Sesungguhnya Allah yang berbicara atasnya, menurunkannya, menjaganya dan Tuhan-Nya.”
    Lebih jauh dia melanjutkan, “Keyakinan kami adalah sesungguhnya Alquran yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Muhammad Saw yang berada di antara dua sisi sampul, yaitu yang ada di tangan manusia saat ini. Tidak lebih dari itu. Surahnya berjumlah 114. Barang siapa menuduh kami bahwa kami beranggapan Alquran lebih dari itu, maka dia telah berbohong.” (1)
  2. Syaikh Mufid (w. 413 H/1022 M) dalam Awâ’il Al-Maqâlât menyatakan, “Mayoritas ulama Imamiyah mengatakan bahwa (Alquran) tidaklah berkurang satu kata, satu ayat, atau bahkan satu surah pun. Akan tetapi yang terhapus dari mushaf Amirul Mukminin adalah takwil ayat dan tafsir makna dari hakikatnya ketika diturunkan.” (2)
  3. Syarif Al-Murtadha (w. 436 H/1045 M) menjelaskan secara panjang lebar tentang dalil-dalil tidak adanya tahrif dalam Alquran. Secara ringkas ia menyatakan, “Sesungguhnya mayoritas sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan selain mereka telah mengkhatamkan Alquran berulang kali di hadapan Nabi Saw. Hal ini menunjukkan kuatnya dugaan bahwa Alquran telah terkumpul secara rapi tanpa terputus dan terpisah-pisah.” Sebelumnya juga dia mengatakan, “Dan ulama Islam telah menghafalnya dan menjaganya secara seksama. Sehingga mereka mengenali segala i’rab, bacaan, huruf dan ayat-ayat yang berbeda. Bagaimana mungkin ia berubah atau berkurang dengan perhatian serius dan koreksi yang ketat?”(3)
  4. Syaikh Al-Thusi (w. 460 H/ 1068 M) dalam Tafsir Al-Tibyân fî Tafsîr Al-Qur’ân menyatakan, “Adapun isu terdapat penambahan dan pengurangan dalam Alquran tidaklah laik atasnya. Isu (hipotesis) penambahan di dalamnya jelas batil berdasarkan ijmak (kesepakatan). Sedangkan hipotesis tentang berkurangnya, maka dari yang terbaca dari referensi sebagian besar Islam berbeda. Ini yang lebih laik dianggap sebagai yang benar (valid) dalam mazhab kami. Inilah yang dikuatkan oleh (Syarif) Al-Murtadha sebagaimana jelas pada berbagai riwayat.”(4)
  5. Al-Thabarsi (w. 548 H/1153 M) dalam Al-Majma’Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân menyatakan, “Isu tentang penambahan dan pe-ngurangan Alquran, sesungguhnya tidaklah layak untuk dibahas, karena adanya tambahan dalam Alquran telah disepakati kebatilannya, sementara pengurangan dari Alquran telah diriwayatkan oleh sahabat kami ‘Sesungguhnya dalam Alquran terdapat perubahan dan pengurangan’ dan yang paling benar dalam mazhab sahabat kami kebalikannya dari itu.”i(5)
    Kemudian dia menegaskan kembali dalam tafsirnya atas ayat, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dzikr, yaitu Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya, dari penambahan dan pengurangan.”(6)
  6. Sayid Ali bin Thawus Al-Hilliy (w. 664 H/ 1266 M) menyatakan, “Sesungguhnya pendapat Imamiyah adalah tidak ada tahrif.” (7)
  7. Al-Hasan bin Yusuf bin Al-Muthahhar (w. 726 H) yang dijuluki Allamah Al-Hilly menyatakan dalam Ajwibah Al-Masâil Al-Mihnâ’iyyah, “Sesungguhnya Alquran tidak ada perubahan dan pemutarbalikkan di dalamnya. Bahkan tidak bertambah dan tidak berkurang. Oleh karena itu, kita berlindung kepada Allah Swt dari keyakinan semacam itu, sebab berkonsekuensi kepada pertentangan dengan mukjizat Rasul yang disampaikan secara mutawatir.” (8)
  8. Syaikh Zain Al-Din Al-’Amili Al-Nabathi Al-Bayazhi (w. 877 H/1472 M) menyatakan dalam kitab tafsirnya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Dzikr dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.(QS. Al-Hijr [15]: 9), maksudnya, sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya dari tahrif, perubahan, penambahan, dan pengurangan.”i(9)
  9. Syaikh Ali bin Abd Al-’Ali (w. 938 H/1532 M) menuliskan sebuah risalah khusus tentang tidak adanya pengurangan dalam Alquran. Salah satunya berbunyi, “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang menunjukkan adanya pengurangan mesti ditakwil atau diacuhkan. Karena jika sebuah hadis bertentangan dengan Alquran, Alsunnah yang mutawatir dan kesepakatan ulama sehingga tidak mungkin untuk ditakwil dari berbagai sisi, maka wajib untuk diacuhkan.” (10)
  10. Syaikh Nurullah Al-Tustari (w. 1019 H/1610 M) dalam Mashâib Al-Nawâshib menyatakan, “Adanya perubahan dalam Alquran sebagaimana dituduhkan atas keyakinan Syiah Al-Imamiyah bukanlah pendapat mayoritas ulama Imamiyah. Tetapi hanyalah golongan kecil yang tidak perlu diperhitungkan.”i(11)
  11. Syaikh Muhammad bin Husein Al-’Amili (w. 1030 H/1621 M) yang lebih dikenal dengan julukan Syaikh Al-Baha’i menyatakan, “Terdapat perbedaan pendapat dalam hal penambahan dan pengurangan di dalam Alquran, dan yang benar adalah Alquran Al-Karim terjaga dari hal itu. Sebagaimana dalam ayat, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS. Al-Hijr [15]: 9). Adapun yang tersiar di kalangan ulama bahwa nama Amirul Mukminin terdapat dalam sebagian tempat (dalam Alquran) tidaklah muktabar di kalangan ulama. Sebagaimana terekam dalam sejarah, hadis dan riwayat bahwa Alquran telah terangkum secara mutawatir oleh ribuan sahabat dan bahwa Alquran Al-Karim terkumpul pada masa Rasul.” (12)
  12. Abdullah bin Muhammad Al-Tuni (w. 1071 H/1661 M) menyatakan dalam kitabnya Al-Wâfiyah fî Ushûl Al-Fiqh, “Yang masyhur bahwa Alquran terpelihara dan terhapal sebagaimana ia diturunkan, tidak pernah terganti dan berubah. Ia dijaga oleh Yang Maha Bijak lagi Maha Mengetahui. Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dzikr dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.(QS. Al-Hijr [15]: 9)”(13)
  13. Fakhr Al-Din Al-Thuraihi (w. 1085 H/1674 M) menyatakan, “Sesungguhnya Alquran dijaga dari setiap penambahan dan pe-ngurangan, perubahan dan tahrif. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang tidak terjamin keterpeliharaannya, Alquran dihafal orang-orang yang telah mencapai derajat makrifat dan tidak ditimbang dari selain yang dihafal.”(14)
  14. Syaikh Ja’far bin Kamal Al-Din bin Muhammad Al-Bahrani Al-Ula (w. 1088 H/1677 M) telah menulis sebuah kitab bernama Al-Kâmil fî Al-Shinâ’ah yang terdiri dari tiga puluh bab sempurna. Di antaranya adalah bab pertama tentang keutamaan Alquran, bab kedua tentang tiada tahrif, dan bab ketiga tentang kemutawatiran qira’at.i(15)
  15. Al-Faidh Al-Kasyani (w. 1091 H/1680 M) dalam Tafsîr Al-Shâfî, menyatakan, “Kalau seandainya sebagian ayat Alquran itu muharraf (mengalami perubahan), kita sama sekali tidak akan dapat bersandar kepadanya, dan Alquran bukan hujjah yang asli, sehingga akan hilanglah manfaat untuk mengikuti serta berpegang teguh kepadanya……dst, dan banyak riwayat dari Nabi dan para Imam Ahlul Bait tentang keharusan dikembalikannya hadis kepada Alquran agar dapat diketahui kesahihannya dengan persetujuan Alquran, dan kepalsuannya dalam pertentangannya dengan Alquran, maka wajib menolaknya dan menghukumi kebatilannya.”i(16)
  16. Syaikh Muhammad bin Al-Hasan Al-Hurr Al-’Amili (w. 1104 H/1693 M) penulis kitab Wasâil Al-Syi’ah, menyatakan “Para penulis sejarah, hadis dan atsar mengetahui dengan yakin bahwa Alquran secara mutawatir diriwayatkan oleh ribuan sahabat dan bahwasanya Alquran telah terbukukan pada masa Rasulullah Saw.”(17)
  17. Syaikh Muhamad Baqir Al-Majlisi (w. 1111 H/1700 M), penulis kitab Bihâr Al-Anwâr, berkata, “Disebutkan dalam Al-Masail Al-Sarwiyyah bahwa Syaikh Mufid ditanya apakah benar pernyataan bahwa yang ada di dalam sampul buku itu adalah kalam Allah sebenarnya tanpa penambahan dan pengurangan, sementara anda meriwayatkan dari para Imam as bahwa mereka membaca Kalian adalah para Imam terbaik yang dilahirkan untuk manusia begitu pula kami jadikan kalian para Aimmah wasatha.Bukankah ini bertentangan dengan mushaf yang ada di tangan manusia? Jawabannya adalah bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan tersebut adalah hadis-hadis ahad dan tidak bisa disandarkan kebenarannya atas Allah. Oleh karena itu, kami memilih diam.”(18)
  18. Syaikh Ja’far bin Khidr Al-Najafi (w. 1228 H/ 1813 M) yang dijuluki Kâsyif Al-Ghithâ’ karena bukunya yang terkenal, Kasyf Al-Ghithâ’ ‘an Mubhamât Al-Syarî’ah Al-Gharrâ’, menyatakan, “Sudah pasti Alquran terpelihara dari pengurangan dengan hafalan para cendikiawan agama sebagaimana ditunjukkan oleh penjelasan Al-Furqan, dan kesepakatan ulama sepanjang masa dan tidak perlu contoh atas ketidaklaziman. Hal-hal yang diriwayatkan tentang pengurangan jelas tertolak oleh akal.” (19)
  19. Sayid Muhammad Mujahid bin Abu Al-Ma’ali Al-Thabathaba’i (w. 1242 H/1827 M) menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa seluruh bagian Alquran bersifat mutawatir pada asal dan bagian-bagiannya. Begitu pula secara urutan tempat menurut peneliti Ahlusunah. Karena Alquran yang penuh mukjizat agung ini adalah asal agama dan jalan yang lurus. Banyak sekali bukti-bukti yang menunjukkan periwayatan global dan rinci secara mutawatir. Jika diriwayatkan secara ahad pastilah ia bukan Alquran.” (Mafatih Al-Ushul)
  20. Muhammad bin Ibrahim Al-Kalbasi (w. 1262 H/1846 M) menyatakan, “Sesungguhnya riwayat yang menunjukkan adanya tahrif bertentangan dengan kesepakatan umat kecuali bagi orang yang tidak perlu diperhatikan. Pengurangan Al-Kitab tidak memiliki akar, tidak terkenal dan tidak mutawatir, mengingat jumlah besar hadis bahkan mayoritas (yang menyatakan kemutawatiran Alquran).”(20)
  21. Muhammad Jawad Al-Balaghi (w. 1352 H/ 1933 M) menyatakan dalam tafsirnya Âlâ’ Al-Rahmân fî Tafsîr Al-Qur’ân, “Tidak ada kesepakatan atas kemutawatiran dalam hal yang bersifat sejarah dan kebenaran abadi seperti kemutawatiran Alquran Al-Karim. Sebagaimana telah dijanjikan Allah dengan firmannya, Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Dzikr dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya (QS. Al-Hijr [15]: 9) dan firman-Nya yang lain, Sesungguhnya atas tanggungan Kami pengumpulannya dan bacaannya. (QS. Al-Qiyâmah [75]: 17). Oleh karena itu, jika ada Anda mendengar keanehan dalam suatu riwayat tentang tahrif Alquran dan hilang sebagiannya, maka jangan perdulikan.” (21)
  22. Syekh Muhammad Al-Husain Kasyif Al-Githa’ (w. 1373 H/1954 M) dalam kitab Ashl Al-Syî’ah wa Ushûlihâ menegaskan, “Sesungguhnya kitab yang ada di tangan muslimin adalah kitab yang telah Allah turunkan kepada Nabi-Nya sebagai mukjizat, untuk mengajarkan hukum-hukum, membedakan halal dari yang haram, dan sesungguhnya tidak ada pengurangan di dalamnya, tidak ada tahrif,tidak ada tambahan. Oleh karena itu kesepakatan mereka dan orang yang berpendapat dari mereka atau selainnya dari kelompok muslimin mengenai adanya pengurangan dalam Alquran atau tahrif, maka dia orang keliru yang nantinya akan berbenturan dengan nas Alquran yang berbunyi, Kami yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang menjaganya.”i (22)
  23. Syaraf Al-Din Al-Musawi (w. 1377 H/1958 M) menyatakan dalam bukunya, Al-Fushul Al-Muhimmah fi Ta’lif Al-Ummah,“ Alquran Al-Karim yang tidak datang kepadanya kebatilan dari depan maupun dari belakangnya hanyalah yang terdapat dalam dua sampul buku itu. Yaitu yang ada di tangan manusia saat ini. Tidak ada penambahan dan pengurangan satu huruf pun. Tidak ada perubahan kata dan huruf di dalamnya.” (23)
  24. Syaikh Muhammad Ridha Al-Muzhaffar (w. 1383 H/1963 M) menyatakan dalam ‘Aqâid Al-Imâmiyyah,“Kami berkeyakinan bahwa Alquran Al-Karim adalah wahyu ilahi yang turun dari Allah Swt melalui lisan Nabi-Nya yang mulia. Di dalamnya terdapat penjelas segala sesuatu, yaitu mukjizat abadi yang membuat takjub manusia dari bahasa, kefasihan dan kandungan hakikat kebenaran dan puncak pengetahuan. Tidak ada penggantian, perubahan dan tahrif di dalamnya. Ia adalah yang berada di tangan kita saat ini, yang kita baca sebagaimana Alquran yang diturunkan atas Nabi. Barang siapa menuduh selain dari itu, maka ia seorang pandir, penipu atau penyamar. Mereka semua itu tidak mendapat petunjuk, karena Alquran adalah kalam Allah yang Sesungguhnya ia (Alquran) tidak datang kepadanya kebatilan dari depan maupun dari belakangnya,(QS. Fusshilat [41]: 43).” (24)
  25. Agha Bozorg Tehrani (w. 1390 H/ 1970 M), penulis ensiklo-pedi kitab-kitab Syiah, Al-Dzarî’ah ilâ Tashânîf Al-Syî’ah, juga menulis sebuah buku Al-Naqd Al-Lathîf fî Nafy Al-Tahrîf (Ana-lisis atas Tahrif).
  26. Sayid Muhammad Hadi Al-Milani (w. 1395 H/1975 M) menyatakan, “Tidak ada tahrif dengan penambahan atau pengurangan dalam Alquran Al-Karim, bahkan dengan perubahan lafaz sekali pun. Jika ada riwayat yang menjurus kepada bentuk tahrif, maka mestilah bertujuan perubahan makna menurut beberapa pandangan dan cara takwil yang batil dan bukan perubahan pada lafaz dan kalimat.”
  27. Al-Lankarani (w. 1402 H/1982 M) dalam Kitab Madkhal Tafsîr Abhâts haula I’jâz Al-Qur’ân menegaskan, “Dalil tidak adanya tahrif dalam Alquran merupakan riwayat mutawatir dari Nabi dan ‘Itrah yang suci…dst.” (25)
  28. Muhammad Husein Thabathaba’i dalam Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, menjelaskan banyak argumentasi penolakannya atas isu tahrif Alquran. Di antaranya ia mengatakan, “Secara mutlak, Alquran terjaga dalam pengawasan Allah dari segala penambahan, pengurangan dan perubahan dalam hal lafaz dan urutan.” Selanjutnya ia juga menegaskan, “Banyak hadis Nabi dari banyak jalur periwayatan dari dua kalangan (Sunnah dan Syiah) yang justru menunjukkan tidak adanya tahrif. Juga hadis perintah untuk merujuk kepada Alquran manakala terjadi fitnah dan sebagai jalan keluar dari pelbagai masalah. Sebagaimana hadis mutawatir, ‘Se-sungguhnya aku meninggalkan kepada kalian Al-Tsaqalain, Kitab Allah dan ‘Itrahku Ahlu Baitku, yang jika kalian berpegang atas keduanya, maka kalian tidak akan tersesat setelahku selama-nya.’ Perintah hadis ini tidak akan bermakna jika berpegang kepada kitab yang mengalami tahrif.” (26)
  29. Al-Khu’i (w. 1412 H/1992 M) menjelaskan secara panjang lebar bantahannya atas riwayat-riwayat dalam khazanah Islam tentang adanya tahrif Alquran dalam Kitab Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân kemudian menyatakan, “Sebagaimana telah kami jelaskan kepada pembaca, sesungguhnya orang-orang yang menganggap adanya tahrif berlawanan dengan akal sehat. Seandainya ia membenarkannya maka ia tidaklah berakal.”(27)
  30. Ruhullah Khomeini (w. 1409 H/1989 M) dalam Anwâr Al-Hidâyah menyatakan, “Adanya tahrif dalam Al-Kitab menurut hadis-hadis tidaklah mungkin dijadikan sandaran sebagaimana banyaknya petunjuk global dalam hal ini. Terjadinya tahrif sangatlah tidak mungkin sebagaimana disampaikan oleh para peneliti, ulama muktabar dari dua pihak sebagaimana telah disampaikan oleh Allamah Al-Balaghi dalam pembukaan Tafsîr Âlâ’ Al-Rahmân.” (28)
  31. Murtadha Muthahhari (w. 1399 H/1979 M) menyatakan dalam bukunya, Al-Ta’arruf ‘alâ Al-Qur’ân Al-Karîm, “Sesungguhnya ayat-ayat Alquran telah mencapai tingkatan yang tidak mungkin terjadi perubahan, penambahan atau penghapusan satu huruf pun di dalamnya.”(29)
  32. Muhammad Husein Ali Al-Shaghir (lahir 1940 M), seorang professor studi Alquran dari Universitas Kufah menjelaskan dengan gamblang bagaimana isu tahrif Alquran terjadi di kalangan kaum muslimin dan menolaknya dengan berbagai argumentasinya. Bahkan beliau juga menulis sebuah buku bantahan atas Theodore Noldeke (w. 1930) dan kaum orientalis lainnya, yang menganggap Alquran telah berkurang. (30)

Baca juga  Keterjagaan Alquran Dari Penyimpangan

Tuduhan lainnya yang selalu mengemuka terkait keaslian Alquran hingga saat ini, tidak akan pernah terlepas dari kitab Al-Fashl Al-Khithâb yang disusun oleh salah seorang ulama Syiah yang bernama Al-Nuri. Akan tetapi, kitab tersebut juga telah disanggah dengan keras dan kritik tajam oleh Alyatullah Khomeini, sebagaimana yang beliau sampaikan dalam kitabnya berikut ini :

Dalam kitab Anwâr Al-Hidâyah fî Ta’liqah ‘alâ Al-Kifâyah, beliau menyatakan, “Sesungguhnya jika satu urusan sebagaimana yang telah digambarkan oleh pengarang kitab Fashl Al-Khithâb yang telah ditulisnya tidak bermanfaat dari sisi keilmuan dan perbuatan. Dia selalu membawakan riwayat-riwayat yang daif dan aneh, yang tidak diterima oleh akal sehat. Dan satu hal lagi yang mengherankan dari mereka yang hidup sezaman dengannya (Al-Nuri) mengapa lalai dan lengah akan hal semacam ini (membiarkan karyanya tersebut).”(31)

Bukan hanya itu, riwayat tersebut juga telah disanggah oleh salah seorang murid Al-Nuri sendiri, Syekh Thahrani dalam kitabnya, Al-Dzarî’ah ilâ Tashânif Al-Syî’ah: “Dia menukil dari gurunya: “Bahwasannya kitab tersebut (Al-Fashl Al-Khithâb fî Tahrîf Al-Kitâb) maksudnya bukan tentang tahrif Alquran penambahan dan pengurangan………dst, sepantasnya dinamakan Fashl Al-Khithâb fî ‘Adami Tahrif Al-Kitâb (tidak adanya tahrif dalam Alquran).” (32)

Husain Al-Nuri dalam Kitab Mustadrak Al-Wasâil wa Mustanbath Al-Masâil, menyatakan, “Apa yang telah kami dengar dari lisan guru kami (Al-Nuri) di akhir hidupnya, beliau berkata, ‘Saya keliru dalam memberi nama kitab tersebut yang seharusnya saya namakan dengan “Fashl Al-Khitâb bi ‘Adami Tahrif Al-Kitâb.’” (33)

Sekali lagi, prinsip Syiah yang telah dikemukakan di atas ialah mengembalikan kesahihan hadis kepada Alquran. Bukankah Allah Swt sendiri telah berfirman, Sungguh Kami yang telah menurunkan Alquran dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia).

 

Catatan kaki

  1. Syaikh Al-Shaduq, Al-I’tiqâdât, h. 83-4, cet. 2, Dar Al-Mufid, Beirut, Lebanon, 1993 M (1414 H).
  2. Syaikh Al-Mufid, Awâ’il Al-Maqâlât, h. 81, cet. 1, Al-Mu’tamar Al-’Alami, Qom, Iran, 1413 HQ.
  3. Al-Thabarsi, Abu Ali Al-Fadhl bin Al-Hasan, Majma’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 1, h. 14-15, cet. 1, Dar Al-Ulum, Beirut, Lebanon, 2005 M (1426 H).
  4. Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi, Al-Tibyân fî Tafsîr Al-Qur’ân, j. 1, h. 3, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT.
  5. Al-Thabarsi, Abu Ali Al-Fadhl bin Al-Hasan, Majma’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 1, h. 15, cet. 1, Dar Al-Ulum, Beirut, Lebanon, 2005 M (1426 H).
  6. Ibid., juz 6, h. 80.
  7. Ali bin Thawus, Sa’d Al-Su’ûd, h. 144, Penerbit Amir, Qom, Iran, 1363 HQ.
  8. Ibnu Muthahhar, Allamah Al-Hilli, Ajwibah Al-Masâil Al-Mihnâ’iyyah, h. 121, masalah 13, Mathba’ah Al-Khayyam, Qom, Iran, 1401 H.
  9. Rahmatullah bin Khalil Al-Rahman Al-Hindi, Izhâr Al-Haqq, j. 2, h. 113, cet. 2, Dar Al-Jil, Beirut, Lebanon, TT. Atau j. 2, h. 98, Maktabah Al-Tsaqafah Al-Diniyyah, Kairo, Mesir, TT. Atau Maktabah Syamilah, (2/126-7). Lihat juga Rasul Ja’farian, Ukdzûbah Tahrîf Al-Qurân baina Al-Syî’ah wa Al-Sunnah, h. 101, Salman Al-Farisi, Qom, Iran, 1413 H.
  10. Muhammad Jawad Al-Balaghi Al-Najafi, Âlâ’ Al-Rahmân fî Tafsîr Al-Qur’ân, j. 1, h. 26, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT.
  11. Syahid Nurullah Al-Tustari, Mashâib Al-Nawâshib, h. 121, cet. 1, Muassasah Qaid Al-Ghurr Al-Muhajjalin, Dzi Qar, Irak, 1426 H.
  12. Muhammad Jawad Al-Balaghi Al-Najafi, Âlâ’ Al-Rahmân fî Tafsîr Al-Qur’ân, j. 1, h. 26, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT. Lihat juga Syaikh Ja’far Subhani, Mafâhîm Al-Qur’ân, j. 10, h. 441, cet. 3, Muassasah Al-Imam Al-Shadiq, Qom, Iran, 1328 HQ.
  13. Abdullah bin Muhammad Al-Tuni, Al-Wâfiyah fî Ushul Al-Fiqh, h. 147-8, cet. 1, Majma’ Al-Fikr Al-Islami, 1412 HQ.
  14. Fakhr Al-Din Al-Thuraihi, Mu’jam Majma’ Al-Bahrain, h. 307 , cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 2009 M (1430 H).
  15. Agha Bozorg Tehrani, Al-Dzarî’ah ilâ Tashânîf Al-Syî’ah, j. 17, h. 256, cet. 2, Dar Al-Adhwa’, Beirut, Lebanon, 1978 M.
  16. Al-Faidh Al-Kasyani, Tafsîr Al-Shâfî, j. 1, h. 42-44, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 2008 M (1429 H).
  17. Rahmatullah bin Khalil Al-Rahman Al-Hindi, Izhâr Al-Haqq, j. 2, h. 130, cet. 2, Dar Al-Jil, Beirut, Lebanon, TT. Atau Maktabah Syamilah, (2/128). Lihat juga Rasul Ja’farian, Ukdzûbah Tahrîf Al-Qurân baina Al-Syî’ah wa Al-Sunnah, h. 101, Salman Al-Farisi, Qom, Iran, 1413 H. Bandingkan dengan Syaikh Ja’far Subhani, Mafâhîm Al-Qur’ân, j. 10, h. 441, cet. 3, Muassasah Al-Imam Al-Shadiq, Qom, Iran, 1328 HQ.
  18. Syaikh Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, j. 89, h. 53, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, cet. 1, 2008 M (1429 H).
  19. Syaikh Ja’far bin Khidr Al-Najafi, Kasyf Al-Ghithâ’ ‘an Mubhamât Al-Syarî’ah Al-Gharrâ’, juz 2, h. 299, Intisyarat Mahdawi, Isfahan, Iran, TT.
  20. Sayyid Abu Al-Qasim Al-Musawi Al-Khu’i, Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân, h. 234, cet. 8, Anwar Al-Huda, Qom, Iran, 1981 M (1401 H).
  21. Muhammad Jawad Al-Balaghi Al-Najafi, Âlâ’ Al-Rahmân fî Tafsîr Al-Qur’ân, j. 1, h. 18, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT.
  22. Syekh Muhammad Al-Husain Al Kasyif Al-Githa’, Ashl Al-Syî’ah wa Ushûlihâ, h. 220, cet. 1, Muassasah Al-Imam Ali, Qom, Iran, 1415 H.
  23. Sayyid Syaraf Al-Din Al-Musawi, Mausu’ah Al-Imam Al-Sayyid ‘Abd Al-Husein Syaraf Al-Din, j. 3, Al-Fushul Al-Muhimmah fi Ta’lif Al-Ummah, h. 1157/195, cet. 2, Dar Al-Muarrikh Al-’Arabi, Beirut, Lebanon, 2010 M (1431 H).
  24. Syaikh Muhammad Ridha Al-Muzhaffar, ‘Aqâid Al-Imâmiyyah, h. 47, TP, Najaf, Irak, 1380 H.
  25. Muhammad Al-Fadhil Al-Lankarani, Madkhal Al-Tafsîr: Abhâts haula I’jâz Al-Qur’ân, h. 217, cet. 2, Maktabah Al-A’lam Al-Islami, Qom, Iran, 1413 H.
  26. Sayyid Muhammad Husein Al-Thabathaba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 12, h. 102-7, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 1997 M (1417 H).
  27. Sayyid Abu Al-Qasim Al-Musawi Al-Khu’i, Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân, oleh Khu’i, h. 220, Penerbit Fururdin, Anwar Al-Huda, cet. 8, 1981 M, 1401 H.
  28. Sayyid Al-Khomeini, Anwâr Al-Hidâyah fî Ta’lîqah ‘alâ Al-Kifâyah, juz 1, h. 243-4, Maktab Al-’Alami Al-Islami, 1413 H.
  29. Murtadha Muthahhari, Al-Ta’arruf ‘alâ Al-Qur’ân Al-Karîm, h. 16, Munazzhamah Al-A’lam Al-Islami, Tehran, Iran, 1403 H.
  30. Lihat, Muhammad Husein Ali Al-Shaghir, Al-Mustasyriqun wa Al-Dirasat Al-Qur’aniyyah, cet. 1, Dar Al-Muarrikh Al-’Arabi, Beirut, Lebanon, 1999 M (1420 H) dan Tarikh Al-Qur’an, cet. 1, Dar Al-Muarrikh Al-’Arabi, Beirut, Lebanon, 1999 M (1420 H).
  31. Sayyid Al-Khomeini, Anwâr Al-Hidâyah fî Ta’lîqah ‘alâ Al-Kifâyah, juz 1, h. 244-5, Maktab Al-’Alami Al-Islami, 1413 H.
  32. Agha Bozorg Tehrani, Al-Dzarî’ah ilâ Tashânîf Al-Syî’ah, j. 16, h. 231-2, cet. 2, Dar Al-Adhwa’, Beirut, Lebanon, 1978 M.
  33. Hajj Mirza Husein Al-Nuri Al-Thabarsi, Mustadrak Al-Wasâil wa Mustanbath Al-Masâil, j. 1, h. 50, Muassasah Ali Al-Bayt li Ihya Al-Turats, TT.
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *