Pernahkah Nabi SAW Tersesat?
Di era komunikasi super cepat dalam ragam platform media sosial menjadi panggung bebas penyampaian pendapat, penyebaran apa saja yang dihuni oleh para penyebar dan pendebat juga pendukung dan pengecam.
Menghina Nabi
Salah satunya adalah berita kasus pemghinaan terhadap Nabi yang dituduhkan atas seorang pendakwah terkait pernyataannya tentang ‘kesesatan” Nabi SAW. Semua anggota melontarkan kecaman yang sebagian bernada kasar. Bisa dimaklumi, itu merupakan ekspresi penghormatan dan kecintaan mereka kepada manusia termulia ini. Kenabian dan posisi Nabi Muhammad sangat sakral bagi umat Islam. Peristiwa dan kasus “penistaan” semacam sering terjadi. Sebagian yang dituduh melakukannya tak mendapatkan hak jawab dan perlakuan hukum yang adil karena berhadapan dengan kemarahan massal. Tak hanya itu, beberapa orang yang divonis bersalah karena dituduh menistakan agama justru merupakan korban persekusi dan kekejaman politik.
Trauma ketidakdilan yang ditimpakan atas orang-orang tak bersalah dengan pasal penodaan agama dalam undang-undang yang memakan banyak korban, saya memilih sikap lebih tenang dengan mencoba menanggalkan pandangan teologis dan kemazhaban saya untuk menyikapi kasus “kesesatan” ini demi sebuah tujuan edukatif yang akan saya ungkap pada bagian akhir tulisan ini.
Definisi Menghina
Saya mencoba mencari definisi yang komprehensif secara gradual tentang menghina sebagai berikut:
Pertama: Menghina adalah sebuah perbuatan yang dipahami oleh kebanyakan orang sebagai melekatkan sesuatu yang dianggap buruk oleh kebanyakan orang atas seseorang.
Kedua: Menghina adalah sebuah perbuatan yang dipahami oleh kebanyakan orang sebagai melekatkan sesuatu yang dianggap buruk oleh kebanyakan orang atas seseorang dengan tujuan menghinanya atau sengaja melakukan penistaan..
Ketiga: Menghina adalah sebuah perbuatan yang dipahami oleh kebanyakan orang sebagai melekatkan sesuatu yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai buruk atas seseorang dengan tujuan menghinanya atau sengaja tanpa dasar alias dusta.
Keempat: Menghina adalah sebuah perbuatan yang dipahami oleh kebanyakan orang sebagai melekatkan sesuatu yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai buruk atas seseorang dengan tujuan menghinanya atau sengaja tanpa dasar alias dusta karena membencinya.
Ada beberapa kata kunci dalam definisi di atas yang perlu diperhatikan dengan seksama dan tenang, yaitu a) melekatkan sesuatu yang “dianggap buruk”, b) dengan tujuan menghina atau sengaja melakukan penistaan, c) tanpa dasar alias dusta, d) karena membencinya.
Tolok Ukur Tuduhan Menghina
Menghina dan menyampaikan sebuah pernyataan tentang sesuatu yang karena berbeda dengan pendapat kebanyakan dianggap sebagai perbuatan menghina adalah dua hal yang berlainan. Diperlukan sebuah parameter baku dengan kriteria-kriteria yang jelas dan komprehensif sesuai kaidah ilmu di bidangnya untuk menentukannya. Bila tidak, siapa saja yang punya keyakinan atau pendapat yang berbeda dengan keyakinan dan pendapat mainstream tentang sesuatu bisa dianggap menghina.
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab adalah sebagai berikut:
- Apakah menganggap seseorang sesat atau bingung dipastikan sebagai perbuatan menghinanya?
- Apakah perbuatan yang dianggap menghina harus dilakukan secara sengaja dengan tujuan menghina?
- Apakah menganggap seseorang sebagai sesat atau bingung berdasarkan sebuah teks asli dan teks terjemahannya dapat dianggap menghina?
- Apakah penghinaan bisa dituduhkan kepada seseorang terhadap orang yang sangat dihormatinya?
Kata “Dhal” dalam Alquran dan Artinya
Ayat 7 surah adh-Dhuĥā: 7 ( ووَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدى ) menggunakan kata dhāll. Terjemahan Alquran versi Kementerian Agama mengartikan kata dhāll (sesat) sebagai ‘orang bingung’. Terjemahan Kemenag ini lebih tepat disebut sebagai tafsir ketimbang terjemah karena makna primernya adalah sesat, bukan bingung.
Menurut seluruh pakar lafaz Alquran, adh-dhalālah adalah keluar dari jalan yang benar / lurus, baik secara sadar maupun tidak sadar ssebagai lawan kata / antonim dari al-hidāyah.
Ayat 7 surah Adh-Dhuha berdasarkan terjemahan harfiah, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang sesat lalu Dia memberikan petunjuk” sangat mungkin dijadikan sebagai dasar dan rujukan bagi orang yang dituduh menghina Nabi SAW karena menganggap beliau sebagai orang sesat. Berdasarkan terjemahan Kemenag “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk”, mungkin pihak lain menganggapnya melakukan penghinaan terhadap Nabi SAW.
Alamah Thabathabai dalam Al-Mizan terkesan menolak arti selain sesat. Menurutnya, bila arti dasar dan tunggal dhall dalam bahasa Arab adalah tiadanya petunjuk, maka arti dhall dalam ayat 7 surah Adh-Dhuha yang ditujukan kepada Nabi (kamu) juga berarti sesat. Hanya saja Thabathabai, membedakan dua mishdaq kesesatan. Dalam ayat ini posisi sesat tidak bermakna penyimpangan berupa pikiran yang tidak benar dan perbuatan yang tidak baik. Bila dibandingkan dengan Allah Sang Pemilik dan Pemberi petunjuk, maka siapapun, termasuk Nabi tak memiliki sendiri petunjuk alias kosong dari petunjuk pada dirinya. Kesesatan dalam ayat ini adalah situasi orisinal manusia sebagai makhluk sebelum mendapatkan petunjuk dari Allah.
Karena mengartikan sesat sebagai tiadanya petunjuk, dapat dipahani bahwa Thabathabai membagi dua macam petunjuk Allah, yaitu a) petunjuk langsung dari Allah berupa kenabian dan risalah, b) petunjuk tidak langsung berupa petunjuk dari Nabi. Kesesatan kedua inilah yang disepakati sebagai penyimpangan dari kebenaran. Artinya, karena belum mendapatkan petunjuk kenabian, maka Muhammad SAW sesat. Kesesatan dalam ayat ini tidak bermakna penyimpangan yang lazim dialami oleh kebanyakan orang karena belum mendapatkan petunjuk agama dari Nabi SAW.
Kesesatan dalam ayat ini bukanlah kesesatan yang umum dipahami sebagai penyimpangan dalam pikiran dan perbuatan. Hal itu karena sejumlah alasan sebagai beriikut :
1) Ayat sebelumnya menggambarkan situasi keyatiman yang menkonfirmasi masa kecil beliau yang tentu tidak bisa dianggap sebagai orang yang sesat secara intelektual.
2) Berdasarkan konteks ayat sebelumnya yang menggambarkan masa kecil sebagai bocah yatim, maka kesesatan dalam ayat ini hanya bermakna tersesat di jalan saat ikut dalam kafilah pamannya, Abu Talib dalam perjalanan ke Syam.
3) Dari konteks ayat sebelumnya pula, kesesatan fisikal dalam perjalanan yang berarti tak menemukan jalan menuju tempat yang dituju saat masih balita tidak menegasi keterjagaannya dari pikiran dan tindakan yang salah.
Saya membedakan kata sesat dan tersesat. Sesat bermakna penyimpangan spiritual dan intelektual yang mustahil dialami oleh orang yang justru bertugas membimbing umat manusia. Tersesat berarti tidak menemukan jalan yang terhubung ke suatu tempat yang hendak dituju. Kata dhall dalam ayat 7 surah Adh-Dhuha mungkin tak bermakna sesat tapi bermakna tersesat.
Intoleransi dalam Tafsir
Terlepas dari detail persoalan tuduhan penghinaan dan penistaan juga kompleksitas makna denotatif dan konotatif kata dhall dalam surah Adh-Dhuha, dan tanpa pretensi membela orang yang dituduh menghina Nabi atau menyalahkannya, kita perlu lebih tenang dalam merespon setiap isu agar persoalannya tidak makin kabur dan melebar. Yang mungkin perlu direnungkan adalah sebagai berikut:
- Banyak orang keburu menganggap orang atau selain kelompoknya yang menafsirkan teks ayat yang berbeda dengan para ulama yang dipujanya sebagai penistaan agama atau penghinaan terhadap Nabi SAW tanpa mencari tahu rujukan yang dijadikan dasarnya.
- Banyak orang mengira pemahaman dan intetpretasi terhadap teks suci hanya satu versi, yaitu yang didoktrinkan kepadanya seraya menganggap penafsiran lain sebagai penafsiran yang salah, bahkan kadang memvonisnya sebagai penistaan agama dan kitab suci.
- Banyak orang keburu menjatuhkan vonis sesat, kafir dan menistakan agama terhadap siapapun yang tak semazhab dan tak serujukan dalam tafsir karena berhalusinasi bahwa mazhabnya sebagai distributor resmi Islam dan ormasnya sebagai agen tunggal penafsiran kitab suci.
- Banyak orang keburu memberikan reaksi negatif dan agresif terhadap setiap pandangan yang berbeda dengan pandangannya bahkan menuduhnya menistakan agama hanya karena tak rela menerima fakta adanya mazhab lain, kelompok lain dan produk tafsir lain.
Sebenarnya, semua isu kontroversi dan polemik juga perbedaan dalam ranah agama dapat dilhat dari fondasi masing-masing aliran yang merupakan muara ragam pendapat dan keyakinan. Kelompok yang menjadikan teks suci sebagai dasar tunggal keyakinan agama cenderung menafsirkan teks secara harfiah. Kelompok yang menjadikan rasio dengan logika sebagai fondasi keyakinan cenderung mengutamakan interpretasi esensial bila menemukan ayat yang arti primernya bertentangan dengan nalar logis.
Pro dan kontra seputar pernyataan ‘Nabi pernah sesat” dan isu kontroversial lainnya adalah konsekuensi perbedaan fondasi. Para teosof dan para pengikut Ahlul-Ra’yi memberikan tafsir rasional terhadap teks-teks yang memuat kata dengan arti ambigu. Ibnu Taimiyah dan para pengikut Ahlul Hadits mengutamakan makna harfiah sejumlah teks suci, termasuk ayat 7 dalam surah Adh-Dhuha yang memuat kata dhall.
Singkatnya, bila seseorang menyampaikan pernyataan berbasis sebuah pandangan teologis dan tafsir yang terkesan menghina atau menista agama, maka yang patut diadili adalah pandangan teologi dan tafsir yang dijadikan dasar pernyataannya, sebelum penyampainya yang biasanya tak lebih dari pengutip.
Pelajaran berharga yang bisa dipetik ialah, menyadari bahwa Islam hanya satu namun pemahaman tentang Islam takkan pernah satu. Sudah saatnya pula negara yang tak berasas agama ini dibersihkan dari pasal-pasal tentang keyakinan dan agama yang bukan bagian dari negara. Ajaran sesat, kelompok sesat dan 1001 stigma negatif lainnya, pada faktanya bukanlah urusan Pemerintah dan tak sepatutnya dimasukkan dalam undang-undang.
Dr. Muhsin Labib