Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Perjalanan Mencari Diri: Samarra dan Kazhimain

Kazhimain1(Catatan Keduabelas)

Najaf, Rabu 9 Desember. Pagi-pagi kami bermobil meninggalkan kota. Tujuan kami: Samarra. Di sana kami ingin berziarah ke makam Imam Ali Al-Hadi dan Imam Hasan Al-Askari. Sekalian kami juga ingin melihat Sirdab, bangunan bawah tanah tempat Imam Mahdi lahir,  bersembunyi dan akhirnya gaib. 

Untuk sekadar diketahui, para Imam umumnya meninggal di satu tempat dan disemayamkan di tempat lain. Tapi Imam Ali Al-Hadi dan Imam Hasan Al-Askari bermukim (baca: dipenjara) dan meninggal di tempat yang sama: Samarra. Samarra sendiri dulunya adalah kota militer yang dibangun oleh Dinasti Abbasiyah untuk memperkuat pengaruhnya di Irak.

Menurut sejarah, Khalifah Al-Mu’taz meracun Imam Ali Al-Hadi dengan berbagai intrik. Pelanjutnya, Khalifah Al-Mu’tamid juga meracun Imam Hasan Al-Askari hingga meninggal. Kedua khalifah itu adalah penguasa Dinasti Abbasiyah yang umumnya memusuhi Ahlul Bait karena ketakutan atas pengaruh mereka terhadap masyarakat Muslim kala itu.

Imam Al-Hadi sadar akan berbagai tantangan yang bakal menimpa anak dan cucunya kelak, Imam Muhammad Al-Mahdi. Maka Imam Al-Hadi menyiapkan suatu rencana. Sejak masa hidupnya, dia mulai menggali tanah sedikit demi sedikit buat persembunyian cucunya. Kerja ini lalu dilanjutkan oleh putranya, Imam Al-Askari. Manakala istri Imam Al-Askari, Narjis Khatun, melahirkan Imam terakhir, Imam Muhammad Al-Mahdi, sirdab untuk persembunyian itu siap digunakan.

Menariknya, pada detik-detik kelahiran Imam Mahdi di Samarra, Istana Abbasiyah di Baghdad diguncang kudeta berdarah. Pasukan pengawal kerajaan, dipimpin oleh Al-Zinj, melancarkan pemberontakan. Alih-alih mengamati kelahiran Imam terakhir yang dinanti-nantikan, para penguasa Abbasiyah pada saat itu fokus sepenuhnya untuk menyelamatkan diri.

Manusia suci yang telah lama ditarget mati — agar, seperti yang mereka wahamkan, Imamah bisa berpindah dari Bani Hasyim ke Bani Abbas– itu pun akhirnya dapat lahir dengan aman. Bahkan, Bani Abbas yang gagal mengancam nyawanya kini justru kehilangan cengkeramannya. Dinastinya jadi berantakan.

Itu cerita lalu. Perjalanan Najaf-Samarra yang berjarak 302 km  kami tempuh lebih dari 3 jam 40 menit. Jalanan menuju ke makam Imam Ali Hadi dan Imam Hasan Askari amat lengang. Yang mengisi jalanan pagi itu hanya kendaraan peziarah dan petugas keamanan.

Di jalan raya arah Samarra, suasana lebih menegangkan dari yang lain. Jumlah pos pengamanan yang disebut dengan ‘saytharah’, bahkan polisi tidur yang disebut dengan ‘mathabbah’, juga lebih banyak dari biasanya. Maklum, beberapa kilometer dari jalan raya yang kami lalui adalah daerah konflik militer. Nyaris semuanya adalah medan tempur. Sebut saja seperti Falluja, Tikrit, Ba’quba, Ramadi dan sebagainya. 

Persis dua hari sebelum kami datang, sejumlah mortir jatuh dekat makam. Akibatnya, rombongan peziarah dilarang melintas. Sejumlah besar rombongan peziarah Indonesia jadinya gagal berziarah. Sedikit yang berhasil, termasuk kami, masih mencium bau mesiu. Saat sampai di parkiran mobil, kami menyaksikan daerah sekitar sepi, nyaris mati. Bangunan-bangunan kota di sekitar tampak bolong-bolong akibat tembakan. 

Akhirnya sampailah kami di lokasi makam. Setelah melewati check point jumbo yang umumnya dijaga anggota milisi rakyat Hasyd Sya’bi, kami masuk ke semacam perkampungan yang ditutup dua tembok besar. Ini mirip seperti sebuah perkampungan padat. Di dinding-dinding bangunan terlihat banyak kerusakan akibat perang kota. 

Di dalam perkampungan ke arah makam ini, ada banyak lapak, toko plus tenda pelayanan peziarah yang menyediakan makan dan minum. Menariknya, salah satu toko yang cukup besar di situ adalah toko pakaian militer. 

Dari informasi yang kami dengar, seperti itulah setidaknya kondisi Samarra di kala siang. Sebaliknya, perkampungan ini akan mati tak lama setelah lewat Maghrib. Artinya, akses masuk ke sana akan segera ditutup setelah malam tiba.

Setelah berjalan sekitar satu kilometer, tibalah kami di gapura makam. Suasana begitu menyedihkan. Lebih dalam lagi, kami melihat makam masih dalam perbaikan. Di dalam makam, tidak seperti biasanya, kami hanya melihat pusara yang dilapisi kain hitam panjang. Serangan bom yang menimpa kedua makam itu pada tahun 2006 masih nyata terlihat. 

Memang sih sudah banyak perbaikan dibanding empat tahun lalu saya berkunjung. Tapi saat ini, saya melihat lebih banyak kerusakan akibat tembakan mortir atau meriam — bukan ledakan bom. Di kompleks makam ini, selain ada dua pusara, ada sirdab. Sirdab ini sendiri terletak di bawah tanah, tempat Narjis Khatun, ibu Imam Mahdi bersembunyi saat melahirkan. Banyak peziarah, bahkan yang dari Iran, bertanya tentang tempat itu. Yang tidak pernah datang atau membaca peta lokasi, kemungkinan melewatkan kunjungan ke tempat bersejarah itu.

Setelah salat Zuhur dan Asar berjemaah, kami selanjutnya bergerak ke Baghdad. Persisnya ke Kazhimain, tujuan terakhir kami. Kazhimain adalah kompleks pusara Imam Musa Al-Kazhim dan cucunya Imam Muhammad Al-Jawad. Dua hari di sini kami lewati dengan begitu menyenangkan. Daerah yang terletak di pinggiran ibu kota ini terasa lebih  kosmopolit. Tak jauh dari Kazhimain, ada pasar besar yang membentang sekitar 1,5 km. Di dekat sini juga ada Azhamiah, kompleks kuburan Imam Abu Hanifah. Agak jauh lagi adalah kuburan Syaikh Abdul Qadir Jailani yang menjadi tujuan ziarah ratusan kaum sufi Indonesia setiap tahunnya.

Demikianlah sekilas yang dapat saya bagi terkait dengan perjalanan ziarah Arbain kali ini. (Abu Jawad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *