Berita
Perjalanan Mencari Diri: Musthofa, Remaja Pelayan Peziarah Karbala
(Catatan Kedelapan)
Musthofa Janabi adalah remaja biasa saja. Usianya baru 19 tahun. Seperti umumnya pemuda Irak, dia adalah pelayan peziarah Al-Husein. Pemuda kelahiran Baghdad itu kini tinggal di Karbala. Ayahnya, Abu Murthada, adalah pejuang yang bergabung dengan Hasyd Sya’bi (paramiliter yang dibentuk untuk melawan Daesh).
Abu Fatma, paman Musthofa, memohon saya dan beberapa teman untuk menginap di rumah ayah Musthofa di Karbala. Dia kecewa ketika ternyata kami hanya berempat. Dia bilang tahun depan, kalau mungkin, kami datang dengan 30 orang peziarah.
Tiap hari, Musthofa mengantar makan. Pagi, siang dan malam makan selalu siap. Teh dan beragam suguhan lain juga tak pernah ketinggalan. Dan tiap saat dia tak pernah lupa meminta maaf atas (kemungkinan) kurangnya pelayanan.
Ramah, dermawan, pandai, tulus dan ganteng. Itulah sedikit gambaran tentang Musthofa. Cadel membuat susunan kalimatnya terdengar unik dan lucu di telinga. Saya kagum pada kegesitannya meladeni berbagai permintaan kami. Dan mulailah saya menggali macam-macam informasi darinya.
Saya tanya bagaimana bisa rakyat Irak, yang kacau-balau dan ditimpa berbagai musibah, bisa menyelenggarakan acara kolosal semacam ziarah Arbain ini. Dia dengan cepat menjawab: “Karena Al-Husein penyelenggara dan pengawasnya. Sekiranya pemerintah, organisasi atau lembaga lain yang menyelenggarakannya pastilah tak mungkin semulus ini.”
Dia menjelaskan bahwa dia sendiri heran bagaimana semua ini bisa terselenggara dalam suasana yang aman dan syahdu. Berbagai masalah bisa hilang dalam sekejap saat Asyura dan Arbain datang, katanya. Semua orang menunggu momen-momen itu, dan mempersiapkan yang terbaik dari yang mereka miliki untuk hari-hari itu. Bukan hanya yang bersifat material dan logistik, tapi terutama tentunya yang bersifat mental dan moril.
Bagi Musthofa, bangsa Irak pada dasarnya sama saja dengan bangsa-bangsa lain. Ada kelemahan dan ada kelebihannya. Kelebihannya dermawan, suka menerima tamu, terbuka, sopan dan sebagainya. Tapi kelemahannya membuat pemuda ini kecewa dan putus asa, yakni suka bertikai demi hal-hal yang remeh-temeh. Pertikaian ini bisa berlarut sampai bertahun-tahun, dan balas dendam di antara mereka bisa turun-temurun.
Dengan getir dan terus mengusap muka, Musthofa mengisahkan paradoks bangsanya sendiri. “Bila sudah datang (Asyura dan) Arbain, bangsa kami berubah menjadi kumpulan malaikat. Mereka bisa saling menyayangi dan menghormati. Sungguh indah. Tapi bila dua musim itu telah lewat, maka keadaan mereka kembali seperti semula. Tapi saya dan banyak remaja sebaya saya sudah berjanji kepada Al-Husein untuk menjadikan akhlak Arbain sebagai keseharian kami.”
Kemurungan tampak di air mukanya saat dia menuturkan betapa warga di kawasan selatan Irak mudah bertikai. Bahkan bila sudah terjadi pertikaian, ulama pun tak mampu mendamaikan. Dendam seperti bara yang terus menyala. Hutang darah harus dibayar dengan darah. Lalu, sekonyong-konyong, tanpa ada yang menyuruh, pertikaian itu lenyap sekaligus tiap hari-hari Asyura dan Arbain datang. “Sayangnya kami belum mampu membiasakan Asyura dan Arbain dalam keseharian kami.”
Musthofa menuturkan bahwa perayaan Arbain, yang melibatkan puluhan juta orang, sejatinya adalah suatu revolusi mental yang baru dimulai. Ia membutuhkan proses yang panjang. Mungkin barang satu atau dua generasi mendatang hasilnya terasa.
Ya, perayaan Arbain bakal membenamkan dendam dan fanatisme kesukuan kabilah-kabilah Irak dalam samudera cinta Al-Husein, kata pemuda kelahiran 1996 itu. Dan dia mengharap pancaran cinta itu akan berpendar ke seluruh dunia, menjadi awal dari kepemimpinan Juru Selamat bagi sekalian alam.
Musthofa menuturkan penduduk Irak kini berjumlah 36 juta jiwa. Kemampuannya menampung lebih dari 26 juta peziarah dari seluruh penjuru dunia, dari beragam etnis dan latarbelakang, dengan tulus, lapang dada dan kemurahan hati tiada tara, suatu saat akan melahirkan kepribadian bangsa yang menakjubkan. Masa itu, baginya, takkan lama lagi. Apalagi dia percaya keajaiban peristiwa Arbain sebenarnya menunjukkan bahwa arahan ruhani Imam Husein telah diikuti.
Musthofa melanjutkan, “Memang tak mudah mengubah perilaku yang sudah mewatak dalam masyarakat. Tapi apa yang kami saksikan sejak 2003 silam (sejak jatuhnya rezim Saddam) di hari Arbain membuat kami berharap banyak. Kami percaya bahwa mukjizat pelayanan ini adalah pertanda baik. Kami percaya badai pasti berlalu, dan fajar baru akan menyingsing.”
Keajaiban lain peristiwa Arbain ini, bagi Musthofa, tampak bagaimana orang-orang dusun yang miskin lebih bersemangat memberi dan melayani peziarah ketimbang orang-orang kaya di perkotaan. Dan bahwa di antara para peziarah itu, meski ada sedikit sekali adu mulut, tapi tidak pernah mereka sampai saling memaki apalagi baku hantam.
Kemampuan rakyat, sukarelawan dan aparat keamanan mengamankan prosesi sedahsyat ini, kata Musthofa, juga merupakan indikasi yang positif. Artinya ada potensi besar dalam bangsa yang belum terkelola dengan optimal.
Pemuda berambut cepak ini percaya bahwa selain cinta Al-Husein, semua ini dapat berjalan sehebat ini berkat kepemimpinan ulama sekaliber Sayid Ali Sistani (marja terbesar Irak saat ini). Baginya, Sistani adalah jaminan bagi masa depan Irak yang lebih baik. (Abu Jawad/Yudhi)