Berita
Perjalanan Mencari Diri: Jalan Kaki dan Berbagai Hal Lain
(Catatan Ketujuh)
Ada banyak rahasia dalam jalan kaki. Di zaman Yunani kuno, para filosof mengajar sambil berjalan-jalan. Gaya mengajar ini kemudian dikenal dengan nama Peripatetik. Di antara tokoh utamanya adalah Aristoteles.
Jalan kaki memang aktivitas tubuh yang luar biasa. Para peneliti Quantum Learning percaya kemampuan berjalan kaki sedemikian rumitnya sehingga siapa saja yang berhasil melakukannya layak berbangga. Bahkan salah satu kemampuan paling menakjubkan pada manusia adalah kemampuan berjalan.
Dalam long march Najaf-Karbala, saya terheran-heran dengan cara jalan orang yang demikian beragam. Saya belum tahu apakah ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa cara jalan manusia itu memang berbeda-beda, sama bedanya dengan garis-garis dan susunan kaki mereka. Yang jelas saya menyaksikan ragam jalan kaki yang luar biasa.
Yang saya amati, jalan kaki menuju Karbala menuntut sesuatu yang berbeda dari sekadar koordinasi motorik dan pelbagai kemampuan fisik lain. Ia memerlukan kemampuan dan motivasi yang berbeda.
Di antara entah berapa ribu langkah itu, kami punya banyak waktu untuk mengenal ‘batas’ fisik, emosional dan rasional kita. Kami seperti dipaksa untuk menyelami diri lebih jauh melalui banyak tantangan yang menghadang: kelelahan, kebosanan, udara yang tidak bersahabat, lingkungan yang asing, WC yang jorok, disorientasi, motif yang tak tetap, teman jalan yang mulai banyak mengeluh, banyak bicara, atau banyak tanya, pemandangan yang membetot perhatian ke arah lain dan sebagainya.
Semua tantangan itu membawa kami menyelami diri lebih jauh; tentang kemampuan fisik kami sendiri, penyakit-penyakit (fisik dan non fisik) yang baru kami sadari, kelemahan-kelemahan kami, emosi yang sering meluap tak terkendali, perhatian yang kerap melenceng dari fokus yang seharusnya (misalnya dengan memperhatikan kekurangan orang dan sebagainya), kebiasaan-kebiasaan buruk dan lain-lain.
Suasana ruhani yang mengiringi perjalanan ini membantu kami menyeimbangkan dan mengendalikan diri lebih baik. Sisi ini saja sebenarnya sudah begitu positif. Tapi yang lebih menarik lagi adalah munculnya kemampuan emosional untuk menikmati hal-hal yang kita benci dan takuti.
Jalan kaki mengakrabkan otak kita dengan organ-organ lain, memperkenalkan kami dengan titik-titik lemah kami. Kelelahan fisik ini juga akan menelanjangi klaim-klaim palsu di hadapan diri sendiri. Dan jika kami tidak berhati-hati, kelemahan seperti itu akan tampil telanjang di hadapan orang lain selama pejalanan.
Tapi, seberapa pun jauhnya perjalanan peziarah Imam Husein, mereka takkan bisa benar-benar merasakan apa yang dirasakan oleh rombongan keluarga Nabi pasca Tragedi Karbala. Sayidah Zainab, Imam Ali Zainal Abidin dan para tawanan Ahlul Bait Nabi digelandang ribuan kilometer pada 14 abad silam. Apa yang mereka alami sungguh di luar kemampuan manusia untuk bisa menanggungnya.
Satu di antara perbedaan dalam derita jalan kaki para peziarah Arbain dengan rombongan tawanan Ahlul Baitu saat itu: mereka digelandang dan diseret sebagai tawanan yang diperolok sepanjang jalan, sementara kini pengikutnya berjalan dengan segala rupa jamuan dan penghormatan. Ini adalah pembalikan yang luar biasa.
Yang terjadi hari ini, bila ditarik kembali ke belakang, akan membuktikan prinsip ini: Allah akan menepati janji-Nya memenangkan para kekasih-Nya. Dan kemenangan apa yang lebih besar dari fakta bahwa Imam Husein hari ini menjadi penggerak utama bagi aksi jutaan orang yang saling berbagi dengan tulus, cinta dan gairah? Kemenangan apa yang lebih besar daripada fakta bahwa hari ini puluhan juta orang mengagungkannya dan nilai-nilai yang dibawanya? Kemenangan apa yang lebih agung daripada kenyataan bahwa kini Imam Husein menjadi lebih hidup, lebih membahana dan lebih memberikan dampak?!
Jika boleh jujur, di puncak hari Arbain ini, perasaan saya terbelah dalam kegirangan yang mengemuncak menyaksikan masa kini dan masa depan sekaligus kesedihan menatap masa lalu. Saya gembira karena melihat keberhasilan strategi Imam Husein memimpin umat kakeknya, menjamin kelangsungan misinya, memastikan bahwa sejarah akan niscaya berpihak pada pilihannya dan manusia pada ujungnya akan mengakui dan mengagumi perjuangannya.
Tapi juga saya bersedih jika mengingat pertanyaan ini: Mengapa semua kekejian itu harus terjadi atas sebaik-baik manusia dan semulia-mulianya golongan di zamannya? Saya juga bersedih mengapa saya tak hadir menjadi bagian dalam kafilah kemenangan dan kemuliaan abadi itu. Sungguh bukan karena saya merasa layak, tapi karena begitu cerdas dan dahsyatnya strategi Imam Husein dan keluarganya serta para sahabatnya dalam perang mereka melawan kezaliman di hari Asyura sehingga dapat membuahkan bunga-bunga ketulusan, kedermawanan, pelayanan dan pengorbanan dalam jiwa para pengikutnya seindah ini.
Para pencinta Al-Husein yang sejati memang telah melampaui konflik batin itu. Karena dalam kenyataannya, kesedihan di jalan kebenaran dan keadilan sesungguhnya adalah puncak kegembiraan dan kebahagiaan. Dan itulah yang diungkapkan Zainab, adik Al-Husein, di hadapan Yazid pasca Tragedi Asyura. Yazid bertanya sambil meledek: “Hai Zainab, bagaimana kau melihat semua ini? Mengapa Allah memuliakan kami dengan memberi kami kemampuan membantaimu dan menghinakan kalian dengan kekalahan?”
Dengan lantang, putri Ali dan srikandi Karbala itu menjawab: “Demi Allah, aku tak melihat selain keindahan. Hei Yazid, kau takkan pernah bisa menghapuskan ingatan orang tentang kami dan memadamkan wahyu yang turun kepada Nabi kami.”
Ucapan Zainab di istana Yazid itu telah benar-benar terwujud. Puluhan juta orang menziarahinya, mengindolakannya, meneladaninya dan memujanya. Sementara kita tak pernah mendengar dalam sejarah, pujian atas Yazid, bahkan dari mereka yang tidak suka dengan revolusi Imam Husein.
Para pengikut mereka, dalam pandangan mata saya dan banyak orang lain, benar-benar berhasil menyelenggarakan perayaan paling indah, paling rapih, paling penuh suasana cinta, semarak dengan persaudaraan, saling tolong-menolong dan perjamuan paling dermawan sepanjang masa. Mereka berhasil melakukannya dengan aman dan tertib, di dalam negara yang termasuk paling tidak aman dan kacau.
Sebagai penutup, mari kita perhatikan statistik perayaan Arbain tahun ini: 25 juta peziarah, 17.5 juta peziarah lokal, 7.5 juta peziarah asing, 40% lelaki, 60% perempuan, 300 ribu personel keamanan dari sukarelawan, 284 ribu aparat keamanan, 5 ribu sukarelawan dan 2 ribu sukarelawati kebersihan dan kesehatan, 9 helikopter militer, 60 ribu kendaraan transportasi (48,5 ribu milik Kementerian Transportasi dan sisanya milik berbagai kementerian lain), 1.500 bis Iran, 24 kereta, 140 pesawat tiap hari mendarat di Najaf sejak H-10, 7.137 tenda penampungan dan jamuan, 80 warga negara asing ikut berpartisipasi, 600 wartawan ikut meliput, 21 jaringan televisi melakukan siaran langsung, 10 ribu petugas kebersihan dan 10 ribu petugas medis. (Abu Jawad/Yudhi)