Berita
Perjalanan Mencari Diri: Hilang di Jalan Terang
(Catatan Kesebelas)
Di Najaf, setelah dua hari di hotel, saya memutuskan tinggal di rumah kakak. Di rumah ini saya mendengar kisah menarik tentang seorang peziarah, yang anehnya sudah sering saya dengar dari tahun ke tahun.
Husein Muhammad Al-Haddad adalah warga Indonesia asal Surabaya, Jawa Timur. Usianya 60 tahun. Ini tahun pertama dia berziarah. Seperti umumnya peziarah, dia datang bersama rombongan yang berjumlah puluhan orang.
Tiba di Najaf pada 26 November, dia langsung ingin berziarah ke makam Imam Ali bin Abi Thalib. Kerinduannya tak tertahankan. Maka, begitu ada dua warga Indonesia yang datang sebelumnya hendak berziarah, dia langsung bergabung.
Mengingat jarak antara makam Imam dan tempat tinggalnya tak terlalu jauh, Husein memutuskan tidak mengenakan pakaian dingin yang semestinya. Dia kenakan pakaian ala kadarnya. Seperti umumnya rombongan, biasanya mereka janjian bertemu lepas ziarah di lokasi tertentu di waktu yang disepakati. Setelah tiba waktu yang disepakati, ternyata kedua temannya tak menemukan Husein. Cari punya cari, Husein tak kunjung ketemu. (Belakangan diketahui Husein sebenarnya berada di lokasi yang mereka sepakati. Hanya saja kepadatan manusia menyebabkan kedua temannya tak bisa melihatnya atau ada sebab-sebab lain).
Sejak hari itu, Husein dinyatakan hilang oleh rekan serombongannya. Parahnya, dia sama sekali tak bisa berbahasa Arab ataupun Inggris. Di kantongnya pun tak ada sepeser uang dinar. HP juga dia tinggal di penginapan. Pakaiannya pun tak cukup untuk menahan udara dingin padang pasir yang menusuk. Dia tak punya sarana kemudahan untuk dapat kembali bergabung dengan rombongan, termasuk menemukan putranya. Alamat rumah putranya pun hilang dari ingatannya.
Putranya, yang kebetulan pelajar di Najaf, pun mulai beraksi. Dibantu teman-teman sesama pelajar agama di Najaf, termasuk kakak saya, dia mendatangi sebuah lembaga swadaya masyarakat yang khusus bekerja mengurus orang hilang. Namanya Markaz At-Taihin. (Sebagai catatan, hampir semua lembaga yang mengurus peziarah Arbain bersifat non-pemerintah).
Di Markaz, putranya diminta tenang dan menyerahkan pencariannya ke pengurus lembaga. Untuk diketahui, pengurus lembaga datang dari berbagai latar belakang: akademisi, jurnalis, militer, intelijen dan sebagainya. Mereka semua punya satu jawaban buat Muhammad, putra Husein: “Tenang.” Mereka katakan juga: “Takkan terjadi apa-apa. Biarkan dia selesaikan tahap-tahap ritual ziarah, baru nanti kita temukan.”
Tapi Muhammad tak dapat menenangkan diri. Pikirannya menerawang kemana-mana, membayangkan 1001 masalah ayahnya: kedinginan, kelaparan, tanpa uang dan sebagainya. Sebagai orang yang telah cukup lama tinggal di Irak, pikiran-pikiran Muhammad tentang ayahnya memang realistis.
Tiap hari dia dan beberapa teman pelajar lain mendatangi Makam Imam Ali dan Markaz untuk menyelidiki keberadaan ayahnya. Alih-alih dapat informasi baru, Muhammad selalu mendengar nasihat yang sama: biarkan ayahmu tuntaskan ritus ziarah; Imam Husein adalah orang asing yang tak mungkin membiarkan orang asing terlunta-lunta; peziarah Imam Husein takkan dibiarkan celaka dan ungkapan-ungkapan serupa lain.
Staf Markaz juga mengisahkan hilangnya seorang peziarah tua asal Malaysia yang berusia 90 tahun, setahun sebelumnya. Setelah acara Arbain berakhir, orang tua itu ditemukan tapi rombongannya sudah pulang ke Kuala Lumpur. Staf Markaz kemudian membawanya ke Kedutaan Malaysia di Baghdad dan memulangkannya kembali ke negaranya.
Muhammad akhirnya pasrah. Tak ada lagi pilihan buatnya selain menerima kenyataan bahwa ayahnya hilang.
Di sisi lain dari kisah, Husein memutuskan untuk tetap di dalam makam Imam Ali dan menjalani takdirnya di sana sejak malam pertama dia tak menemukan kawan-kawannya. Di malam pertama, ada orang yang memberinya makan dan selimut. Malam ketiga, rombongan orang Iran mengajaknya berjalan kaki ke Karbala.
Husein pun ikut berjalan kaki. Sepanjang jalan dia tak menemukan kesulitan berarti. Lucunya, di jalan dia sempat melakukan transaksi cincin. Husein pun sekarang punya sedikit dana. Sesampainya di Karbala, dia berziarah seperti yang lain-lain, meski seorang diri tanpa teman.
Setelah menunaikan semua ritus ziarah Arbain, mendadak dia teringat dengan alamat rumah putranya–dekat Makam Kumail bin Ziyad. Saat beberapa teman seperjalanannya mengajaknya ke tempat lain, dia spontan menolak.
Husein langsung mencari taksi dan meminta diantar ke makam Kumail. Sampai di dekat makan Kumail, dia akhirnya teringat letak persis rumah kontrakan putranya. Betapa terkejut Muhammad ketika menemukan ayahnya telah berdiri di depan pintu rumah.
Di sore hari yang sama, saya mendengar informasi yang tak kalah anehnya: seorang ibu asal Indonesia yang kehilangan dompet dan paspornya, kembali menemukan semuanya setelah Arbain berakhir.
Para peziarah Imam Husein memang bakal banyak mengamati keanehan. Dan di antara keanehan terbesarnya tentu saja adalah fakta bahwa ritus kolosal seperti ini nyaris tidak memakan korban luka-luka apalagi korban tewas. Puluhan juta orang itu juga tak ada yang mati kelaparan atau kedinginan. (Abu Jawad/Yudhi)