Berita
Perjalanan Mencari Diri: Apakah Potensi Terbatas?
(Catatan Kelima)
Saya mulai jalan kaki pagi-pagi sekali. Setelah mandi dan makan seadanya, saya dan beberapa teman langsung menuju Makam Imam Ali di Najaf untuk berziarah. Jalan ke makam sangat padat. Beberapa kali petugas terpaksa menghentikan arus manusia agar tak bertumpuk-tumpuk dan mungkin berakibat pada saling injak (stampede).
Setelah berziarah, kami langsung bergerak ke arah Karbala. Ini long march 80 kilometer. Di lima kilometer pertama, badan sudah lelah. Sepuluh kilometer berikutnya, lelahnya tak usah ditanya. Tapi kami tak ingin menyerah. Kami berjalan lagi dan … kelelahan makin menguat dan badan kian melemah.
Setelah sekitar 10 kilometer berjalan tanpa henti, duduk istirahat sekitar 5 menit terasa benar-benar sebuah karunia. Terbayang betapa banyak karunia “duduk” dan “istirahat” selama di Jakarta yang berlalu begitu saja tanpa pernah kami syukuri. Di sini, di jalan lapang penuh manusia menuju Karbala, karunia-karunia “kecil” itu begitu mahal dan kontan kami syukuri dan resapi.
Demikianlah seterusnya sampai kami berhasil mencapai kilometer 30. Pada titik itu, saya sudah kehilangan konsep lelah dan lemah. Lelah dan lemah ini seperti mulai menyerah terhadap tekad saya. Dan saya sendiri menyerap tekad dari apa yang saya amati.
Di jalan saya melihat orang tua yang bungkuk, menggigil kesakitan, orang pincang, orang yang berjalan dengan menyeret badan dan kedua kaki, mengesot dan macam-macam lainnya.
Saya juga melihat kaum ibu dan bapak menggendong anak, membawa makanan, anak-anak muda yang berjalan ratusan kilometer tanpa alas kaki, orang tua renta yang berjalan tertatih-tatih, dan lain-lain.
Tidak sedikit saya melihat orangtua membawa bayi mereka, digendong atau didorong dalam kereta. Ada yang membawa binatang kurban dan burung merpati untuk, nantinya, dilepaskan di dekat makam Imam Husein. Di sepanjang jalan, kami juga selalu mendengar berbagai doa dan teater rakyat.
Lalu, sekonyong-konyong saya bertemu sutradara Iran, Majid Azizi, di antara belasan juta orang yang sedang berjalan. Dia baru saja menikah. Long march ini adalah bulan madu dia dan istrinya. Ah, betapa indahnya.
Sekali lagi, dari pelbagai pemandangan unik dan mencengangkan itu, saya mendapatkan tekad. Tekad untuk terus berjalan menuju tujuan. Tekad yang menyembur dari diri mereka yang seperti berlomba ingin meminum cawan cinta Huseini. Yang terjadi kemudian seperti keajaiban: kelelahan berjalan kaki yang di luar batas itu, ternyata bisa kami geser dan kami geser lagi sampai batas maksimal. Dan benarlah kata orang-orang bijak: tak ada batas maksimal bagi potensi manusia. Masalahnya tinggal apa yang menjadi pendorongnya; makin kuat dan agung pendorong itu, makin tak terbatas pula potensi yang bisa Anda raih. (Abu Jawad/Yudhi)