Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Peringatan Tragedi 9/11: Belajar Dari Tiga Belas Tahun Kegagalan Amerika Perangi Terorisme

Pangkalan Militer AS di Dunia

Tiga belas tahun lalu, tepatnya 11 September 2001, warga dan pemerintah Amerika dikejutkan serangan teror yang tak pernah mereka bayangkan. Dunia internasional pun tak menyangka keamanan Amerika yang sebelumnya dianggap super ketat dan canggih, ternyata mampu diterobos oleh sekawanan teroris. Tak kurang dari 3000 orang menjadi korban atas serangan teror dengan pesawat American Airline 11 dan United Airline 175 yang ditabrakkan ke menara kembar WTC (World Trade Center) kala itu. Itulah serangan terdasyat kedua terhadap Amerika setelah serangan Pearl Harbour pada tahun 1945.

Pasca tragedi 9/11, presiden Amerika saat itu, George W. Bush menyatakan perang terhadap terorisme.

Dalam pidatonya yang cukup terkenal di depan Kongres Amerika, Bush mengatakan, “Kalian bersama kami atau bersama mereka para teroris.”

Pidato Bush itulah yang dianggap sebagai titik awal dari peperangan Amerika melawan terorisme.

Kini setelah 13 tahun perang terhadap terorisme berlangsung, tindak terorisme bukannya menurun melainkan cenderung meningkat. Catatan tindak terorisme yang berhasil ABI Press dapatkan menunjukkan tren yang terus meningkat jika dibandingkan dengan sebelum pernyataan perang terhadap terorime oleh Bush dan para sekutunya dikumandangkan.

The Rise of Global Terrorism

Sejalan dengan maklumat perang Bush, pasukan Amerika pun disebar ke seluruh dunia. Mereka membuat pangkalan-pangkalan militer dimana-mana dengan mengatasnamakan perang terhadap terorisme. Sementara itu Al-Qaeda yang dianggap sebagai kelompok yang bertanggung jawab terhadap serangan 9/11 hingga kini masih tetap ada dan terus berkembang dimana-mana.

Pangkalan Militer Amerika di Dunia

Lalu, perang terhadap terorisme seperti apa sebenarnya yang sedang Amerika lakukan?

Pada kenyataannya teroris tidak pernah habis tapi terus berkembang, seperti halnya pangkalan Amerika yang terus meluas di seluruh dunia. Di saat yang sama, kerusakan parah terjadi pada negara-negara yang diinvasi oleh Amerika dengan tuduhan melindungi teroris atau teroris bermarkas di negara itu, seperti halnya Irak, Afghanistan dan juga Libya.

Pengamat terorisme dan intelijen sekaligus direktur eksekutif Yayasan Prasasti Perdaimain Noor Huda Ismail, ketika ditemui ABI Press mengungkapkan bahwa serangan Amerika terhadap Irak dan Afghanistan pasca teror 9/11 memberikan efek pergesaran dari memerangi terorisme menjadi gerakan Islam melawan Barat.

“Jadi yang dulunya  hanya perang Amerika versus Al-Qaeda, kini diperluas menjadi Islam melawan Barat,” tegas Noor Huda.

Akibatnya, menurut Noor Huda, seseorang yang mungkin tidak sepakat dengan aksi teror tapi karena terus dipojokkan dengan stigmatisasi, “Apakah kamu bagian dari kami atau bagian dari teroris,” seperti kata Bush, menjadikan mereka berhadapan dengan kondisi Hitam Putih. Padahal faktanya, tidak bergabung dengan Amerika bukan berarti pasti mendukung tindakan terorisme.

Pengamat Militer Prof. Dr. Salim Said dalam sambungan telepon menjelaskan bahwa yang selama ini disebut sebagai terorisme di dunia selalu merujuk pada kemelut yang terjadi di Timur Tengah. Padahal menurut Salim apa yang terjadi di Timur Tengah itu pergolakan berdarah yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah setempat yang tidak diterima oleh kelompok-kelompok yang ada di negara tersebut. Meski tak dapat dipungkiri, tak ada pergolakan di Timur Tengah yang sama sekali tak berhubungan dengan Amerika.

Kekacauan di Timur Tengah inilah yang telah melahirkan berbagai macam kelompok teroris. Keadaan kacau seperti inilah yang oleh Amerika dan Barat dipersepsikan sebagai ancaman yang kemudian juga dianggap ancaman bagi banyak negara di dunia termasuk di dalamnya, Indonesia.

“Ini bukan soal yang sederhana,” terang Salim.

Dominasi Penyebaran Pangkalan Militer Amerika

Fenomena penyebaran pangkalan Militer Amerika di sejumlah penjuru dunia sebagai dalih memerangi terorisme khususnya pasca tragedi 9/11, dipandang sebagian kalangan tak lebih hanya alasan Amerika untuk mendominasi dunia.

Terkait hal ini Noor Huda menerangkan bahwa akan banyak alasan Amerika untuk mendominasi dunia terutama dengan menggunakan kekuatan NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan konflik antar sesama umat Islam.

Bahkan menurut Noor Huda alsan teror industri yang dituduhkan pada Amerika juga disampaikan oleh kalangan internal Amerika sendiri.

Noor Huda mencontohkan buku dari Robert Cullen yang berjudul “Unholy War” yang menceritakan tentang 30 tahun yang lalu Amerika menggunakan orang-orang Islam di Afghanistan untuk menghadapi Rusia dan juga buku dari Hillary Clinton yang berjudul “Hard Choises” dimana Hillary mengatakan perlu mendukung beberapa kelompok bersenjata yang menggunakan jargon Islam.

Noor Huda menegaskan bahwa isu Amerika sengaja memelihara terorisme untuk mendominasi dunia cukup susah untuk dibuktikan. Namun dampak dari perang terhadap terorisme dan pada saat bersamaan tindakan nyata Amerika mendukung beberapa kelompok bersenjata yang menggunakan jargon Islam seolah tak pernah dipikirkan dampak buruknya oleh Amerika. Bahwa kelompok-kelompok bersenjata yang mereka dukung itu suatu saat tak mustahil akan berbalik menjadi lawan Amerika.

“Dampaknya itu yang sepertinya tak pernah Amerika perhitungkan. Mereka tidak pernah belajar dari sejarah masa lalu,” terang Noor Huda.

Beda dengan Noor Huda, Salim Said melihat meluasnya pangkalan militer Amerika di penjuru dunia tidak harus selalu dihubungkan dengan terorisme, namun dapat juga dilihat dari konteks ketegangan antara Amerika dan Rusia, serta antisipasi Amerika terhadap dominasi Cina yang makin meluas dengan kemajuan senjata yang makin canggih di Asia Pasifik.

Perluasan pangkalan militer Amerika di sejumlah penjuru dunia menurut Salim lebih pada persiapan terhadap kondisi yang tak terduga yang dihadapi Amerika baik dengan Rusia maupun Cina. Karena memang kedua negara tersebutlah rival terberat Amerika untuk mendominasi dunia. Artinya, Amerika tidak hanya memikirkan soal teror namun secara teknis militer mereka juga memikirkan antisipasi terhadap Rusia dan Cina.

“Buktinya, Obama sekarang ada di konferensi NATO yang topik terpentingnya di situ adalah bagaimana menghadapi Presdien Rusia, Putin,” terang Salim.
 
Arti Perang terhadap Terorisme bagi Indonesia

Perang terhadap terorisme yang dinyatakan oleh Amerika, berlaku juga bagi Indonesia. Tercatat beberapa kali Indonesia menjadi target serangan teror oleh kelompok teroris, seperti halnya bom Bali, bom di Hotel JW Marriot dan masih banyak lagi aksi teror lainnya. Yang menarik adalah aksi-aksi teror model sekarang berbeda dengan model jaman dulu. Aksi teror saat ini sudah berskala transnasional yang para pelakunya terhubung dengan jaringan internasional. Sehingga untuk menyikapi teror jenis ini, menurut Noor Huda, mau tidak mau pemerintah harus melakukan hubungan kerjasama intelijen dengan sejumlah negara terutama negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hanya dengan cara seperti itu menurut Noor huda aksi teror transnational crime (Kejahatan Internasional) dapat dicegah.

Namun khusus bagi Indonesia, Noor Huda menegaskan bahwa penanganan terorisme seharusnya memiliki kearifan lokal dan tidak selalu harus mengikuti prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh Amerika ataupun negara Barat lainnya.

Noor Huda setuju bahwa setiap pelaku tindak terorisme harus ditangkap, namun bukan berarti mereka harus ditembak.

Yo ngewongke lah bahasanya,” terang Noor Huda dalam bahasa Jawa yang berarti menghargai manusianya.

Senada dengan Noor Huda, Salim Said juga setuju bahwa kerjasama internasional menghadapi perang terhadap terorisme tidak dapat dilakukan oleh Amerika sendiri. Perlu adanya kerjasama internasional untuk menangani terorisme yang kini bukan lagi bersifat nasional tapi juga bersifat global.

Maka dari itu menurut Salim, permasalahan terorisme bukan cuma khas Indonesia tapi juga masalah internasional.

Pelajaran Penting 13 Tahun Perangi Terorisme

“Perang terhadap terorisme oleh Amerika itu gagal. Itu pasti,” tegas Noor Huda.

Menurutnya, pihak Amerika bisa disebut menang dalam pertempuran tapi kalah dalam perang. Sebab perang ini akan berlangsung lama, bukan perang yang singkat.

 “Ini marathon bukan lari cepat dan akan menguras stamina,” lanjut Noor Huda.

Kekerasan bila dibalas dengan kekerasan lagi maka akan menciptakan kekerasan baru dengan jenis yang baru pula. Hingga tak mudah untuk dideteksi dan akan menghabiskan banyak energi.

Maka pertama, harus ada titik temu antara pihak yang berkonflik untuk menghentikan kekerasan. Atau harus ada intervensi dari kelompok tengah untuk menjadi penengah dalam memecahkan permasalahan terorisme.

Yang kedua, pelajaran yang dapat diambil adalah secara tidak langsung akan memunculkan stigmatisasi terhadap Islam dan seluruh yang ada di dalamnya. Sehingga akan memunculkan phobia terhadap sejumlah hal dalam Islam seperti phobia dengan pendidikan Islam, phobia terhadap partai politik Islam, dan sebagainya.

Akibatnya, orang akan susah membedakan antara kegairahan beragama dan radikalisme agama. Stigmatisasi bahwa setiap orang yang berjenggot akan dicap teroris, celana cingkrang ditakutkan, yang memakai cadar dianggap teroris, akan terus berlanjut. Padahal apa yang mereka lakukan itu menurut Noor Huda, boleh jadi hanyalah sekadar kegairahan terhadap agama.

“Mungkin itu bentuk ekspresi psikologis ingin dekat dengan Tuhannya,” terang Noor Huda. “Yang jadi masalah kalau itu melanggar dan menginjak hak-hak yang lain,” lanjutnya.

Sementara itu Salim Said mengatakan bahwa pelajaran yang harus kita dapat adalah keharusan mengerti akar masalah dari apa yang disebut dengan terorisme.

Kalau kita lihat sejarah hubungan Islam dengan negara, maka kita bisa mengerti bahwa kondisi perang melawan terorisme saat ini lebih sulit dan kompleks dibandingkan dengan zaman dulu saat menghadapi Darul Islam (DI). Kompleksitas seperti ini tidak dapat diselesaikan oleh satu negara seperti Amerika saja tapi harus ada kerjasama seluruh negara di dunia.

Menurut Salim, pelajaran utamanya adalah pada “You cannot solve the problem without understanding the root of the problem,” yang maknanya adalah “Anda takkan bisa menyelesaikan masalah tanpa mengerti akar dari permasalahannya.”

Tiga belas tahun perang terhadap terorisme yang dinyatakan oleh Amerika juga telah menimbulkan berbagai macam hal termasuk banyaknya jumlah korban warga sipil yang tak berdosa.

Sebagai bagian dari warga dunia, mau tidak mau Indonesia harus terseret dalam pusaran kebijakan luar negeri negara lain termasuk kebijakan Amerika dengan perang melawan terorismenya.

Kendati demikian, Indonesia harus bisa menempatkan diri pada posisi yang tepat agar tidak terjerumus dalam perang berkepanjangan tanpa jelas ujung pangkalnya dan menguras banyak energi seperti yang telah dilakukan oleh Amerika.

Selain itu Indonesia juga tidak boleh terjebak intrik pergolakan yang terjadi di Timur Tengah yang pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal yang ada di Tanah Air.

Indonesia harus bisa mengambil pelajaran dari tiga belas tahun perang Amerika melawan terorisme dengan menerapkan kearifan lokal dalam penanganan masalah terorisme.

Maksudnya, tak harus bergabung dengan Amerika untuk berperang melawan terorisme yang terbukti telah gagal menumpas teroris, tapi juga tidak ikut tergabung bersama kelompok teroris dalam melawan Amerika. Indonesia bisa memilih jalan tengah di antara dua kutub kepentingan itu. (Lutfi/Yudhi)