Berita
Peringatan Ghadir Khum di Islamic Cultural Center Jakarta
Jakarta – 18 Dzulhijjah adalah hari yang bersejarah dalam perjalan Islam, hari ini setelah lebih dari 1400 tahun yang lalu peristiwa monumental ini terus dikenang dan diperingati oleh umat Islam, khususnya Mazhab Syiah. Rabu, 29 Agustus adalah jatuhnya 18 Dzulhijjah dalam penanggalan Hijriyah, Muslim Syiah Jakarta memperingati hari besar Idul Ghadir di Husainiyah Al-Huda, Islamic Cultural Center, Jakarta.
Suasana di ICC ini sangat ramai setiap kali ada peringatan keagamaan. Menurut salah satu pengunjung, Kamal (27) acara malam ini sangat ramai, penuh dan hampir berdesakkan, baik yang di dalam aula, di luar juga dibuatkan tenda, samping kiri dan kanan aula juga terisi, meski gedung sudah diperlebar tapi dari tahun ke tahun jemaah yang hadir terus bertambah.
Tampak di depan Husainiyah Al-Huda berbagai varian makanan dibagikan secara gratis oleh jemaah, hal itu ditujukan untuk menjamu tamu-tamu Imam Ali yang datang untuk memperingati hari deklarasi pengangkatan manusia mulia, sang pintu kota ilmu Nabi, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s sebagai penerus risalah suci yang dibawa oleh Nabi Agung Muhammad Saw. Selain berbagai makanan gratis tersaji, ada juga bazar buku keislaman yang dijual relatif murah dan diskon besar sebagai bentuk kegembiraan penyelenggara atas perayaan ini.
Acara dimulai pukul 20.00 WIB, diawali dengan pembacaan ayat suci Alquran Ustaz Usep Irawan, kemudian ceramah oleh Ustaz Muhsin Labib. Dalam tausiyahnya beliau menyampaikan pentingnya memahami makna berwilayah. Menurutnya, momentum Ghadir Khum adalah memperbaharui ikrar wilayah kepada Imam Ali a.s sebagai pemimpin yang ditunjuk langsung oleh pemimpin umat teragung, Nabi Muhammad Saw. Ied Ghadir kali ini menurutnya berbarengan dengan peristiwa suci lainnya yaitu kemerdekaan tanah air tercinta Republik Indonesia yang ke-73. Beliau menegaskan bahwa berwilayah berarti mencintai tanah air dan menjaganya, tak perlu dalil untuk mencintai apa yang kita miliki, apalagi ini tanah air tempat kita dilahirkan dan hidup di sini, sebagaimana cinta Ibu kepada anaknya, tak perlu dalil khusus untuk melakukannya, hanya perlu akal sehat.
Agama bukanlah kotak saran, yang semua pemeluknya mempunyai kebebasan untuk memberikan saran, kita harus patuh pada asas kompetensi, jika semua bebas memberikan saran maka kekacauan dalam agama yang terjadi. Sesungguhnya kita hanya patuh kepada Allah Swt, kemudian bergradasi kepada sesuci yang mempunyai tingkat keimanan tertinggi, mereka para maksumin. Kemaksuman yang wajib diikuti dalam wilayah ini bergradasi dari Nabi Saw lalu kepada penerus risalahnya yang terbaik dan jelas track recordnya, yaitu Imam Ali. Agama yang suci harus jaga oleh manusia suci juga, jika tidak maka yang suci mempunyai potensi tercemari oleh yang tidak suci, kebenaran harus diperkenalkan oleh kebenaran itu sendiri!, imbuhnya.
Masih dalam ceramahnya yang berapi-api Beliau menambahkan, bahwa memperingati Ghadir Khum menurutnya bukanlah memperingati sektarianisme, Syiah meyakini bahwa penerus risalah Nabi adalah Imam Ali, sedang Sunni tak meyakininya, tapi carilah titik temunya, Sunni meyakini Imam Ali juga sebagai sahabat utama, sebagai pintu kota ilmu, dari sini kita sama. Selama masih meyakini tiada tuhan selain Allah, Nabi Muhammad Saw utusan Allah mereka adalah saudara kita dalam satu Islam. Dalam ranah Indonesia kita diikat oleh Pancasila yang di dalamnya ada sila “Ketuhanan”, jadi siapapun yang mengaku bertuhan memiliki hak yang sama sebagai warga negara untuk hidup dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Ghadir Khum bagi Syiah harusnya jadi momentum merekatkan diri, antar semua umat, umat yang satu, umat yang meyakini asas ketuhanan, yang semua itu terangkum dalam Pancasila, Merdeka!
Acara ditutup oleh Hujatul Islam Syeikh Hakem Ilahi sebagai direktur ICC dengan menyampaikan pesan-pesan penting Ghadir Khum, dilanjuTkan dengan pembagian kepada semua jemaah sebagai bentuk kegembiraan, kuis berhadiah, kemudian makan bersama. (asf/abi)