Berita
Perbedaan dan Persamaan Nikah Permanen (Da’im) dengan Nikah Mut’ah
Ulama Ahlusunah tidak mungkin menganggap mut’ah sebagai zina, karena beberapa alasan sebagai berikut:
- Nabi Saw pernah menghalalkan nikah mut’ah. Seandainya Nabi benar pernah mengharamkan nikah mut’ah, dan kemudian mut’ah dianggap sebagai zina, maka berarti Nabi Saw dituduh menghalalkan zina.
- Ahlusunah dan Syiah bersepakat bahwa nikah pada dasarnya adalah mut’ah karena Alquran menggunakannya sebagai sinonim nikah dan zawaj.
- Ahlusunah dan Syiah bersepakat bahwa nikah adalah mut’ah / istimta’ (bersenang-senang atau mencari menikmati) karena pastilah tujuan nikah adalah bersenang-senang. Tak seorang pun menikah untuk menderita.
- Ahlusunah dan Syiah bersepakat bahwa nikah / mut’ah pada dasarnya berjangka karena setiap pernikahan pasti berakhir dan ikatannya tidak abadi bila bercerai atau salah satu pasangan wafat. Karena itu, bila cerai atau wafat, salah satu pasangan tidak lagi dianggap sebagai suami atau istri, sehingga diperbolehkan untuk nikah lagi bila telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Berdasarkan dalil-dalil yang termaktub dalam kitab-kitab riwayat yang dijadikan sebagai sumber penetapan hukum fikihnya, juga disebutkan dalam kitab-kitab riwayat Ahlusunah, fikih Syiah menetapkan jangka ketiga berdasarkan kesepakatan awal yang disebutkan secara sadar dalam akad.
- Ahlusunah dan Syiah bersepakat bahwa mut’ah dengan jangka waktu yang direncanakan bukan zina karena Nabi Saw memperbolehkannya. Hanya saja, Ahlusunah, berpedoman pada sejumlah riwayat yang diandalkannya, menganggap hukum mubah dan halal yang ditetapkan atas mut’ah dengan batas waktu itu telah dicabut. Sedangkan Syiah, karena berpedoman pada riwayat-riwayat yang diyakininya benar berdasarkan mekanisme periwayatan dan penyimpulan hukum atau istinbathnya, menganggap hukum mubah dan halalnya berlaku hingga hari kiamat.
Syarat-syarat Nikah Mut’ah
Tentu, meyakini kehalalannya tidak niscaya membenarkan setiap praktik nikah berjangka waktu secara serampangan tanpa memperhatikan dan mematuhi asas kemaslahatan, kepatutan dan asas-asas etika dan konteks yang berbeda-beda sesuai waktu dan tempatnya. Boleh jadi, meski secara fikih menurut Syiah, mut’ah atau nikah berjangka waktu mubah namun praktiknya harus memenuhi sejumlah syarat kemubahannya, yang apabila salah satu syarat kemubahannya tidak terpenuhi, ia bisa bergeser menjadi tidak mubah bahkan bisa dianggap zina. Ini juga berlaku atas nikah non berjangka waktu alias nikah permanen.
Berikut sebagian dari syarat-syarat kemubahan mut’ah yang secara umum disepakati oleh sebagian besar atau bahkan seluruh ulama Syiah:
- Sebagaimana ditetapkan dalam nikah tak berjangka waktu, penentu siapa yang menjadi suaminya adalah hak wanita atau calon istri. Artinya, izin atau restu wali tidak secara serta merta menjadikan wali berhak menentukan siapa calon suami atau calon istri.
- Sebagaimana ditetapkan dalam nikah tak berjangka waktu, penentuan jumlah dan nilai mahar merupakan hak wanita atau calon istri. Artinya, tuduhan bahwa nikah berjangka waktu ini merendahkan wanita tertolak, karena pihak yang menentukan terlaksana dan tidak terlaksananya adalah wanita atau calon istri. Bila jumlah mahar yang diminta dan ditetapkan wanita tidak dipenuhi oleh calon suami, maka secara niscaya nikah batal atau tidak terlaksana.
Tak dapat dimungkiri bahwa institusi perkawinan mut’ah seringkali disalahpahami, baik oleh yang tidak dapat menerimanya, maupun oleh yang menerimanya. Khusus terkait dengan kelompok yang menerimanya, juga tak dapat dimungkiri adanya penyelewengan-penyelewengan dan praktik-praktik yang tak dapat dibenarkan. Namun, hal ini tentunya tak serta-merta membatalkan keabsahannya. Karena, sesungguhnya, bukan hanya mut’ah yang terbuka bagi penyelewengan, melainkan juga aturan-aturan syariat lainnya. Bahkan, bukan tidak mungkin institusi perkawinan biasa (permanen, daim) tak jarang diwarnai oleh praktik yang bertentangan dengan syariat.
Antara Nikah Permanen (Da’im) dan Nikah Mut’ah
Tidak seperti dihembuskan oleh sementara orang, nikah mut’ah sama sekali tak sama dengan pelacuran terselubung. Nikah mut’ah memiliki banyak persamaan dengan nikah permanen (da’im).
Persamaan
- Status Anak
Anak-anak yang lahir dari pasangan perkawinan mut’ah sama sekali tidak ada bedanya dengan anak-anak yang lahir dari pasangan perkawinan permanen. - Mahar adalah juga sebuah prasyarat dalam sebuah perkawinan permanen maupun dalam sebuah perkawinan mut’ah.
- Mahram
Dalam perkawinan permanen, ibu dan anak perempuan istri, serta ayah dan anak laki-laki suami diharamkan (untuk perkawinan) dan mereka adalah mahram. Dalam perkawinan mut’ah, terkait hubungan di atas, kasusnya sama juga. Dalam kasus istri perkawinan permanen, seorang laki-laki tidak bisa, selama istri masih hidup, menikahi adik atau kakak perempuan istri tersebut.
Dalam kasus perkawinan mut’ah, saudara perempuan si istri juga tidak dapat dinikahi pada waktu yang sama oleh laki-laki yang sama.Di samping itu, sebagaimana melamar atau meminang seorang perempuan yang terikat perkawinan permanen adalah haram hukumnya, maka begitu pula dengan melamar atau meminang seorang perempuan yang terikat perkawinan mut’ah; karena berzina dengan seorang perempuan yang terikat perkawinan permanen membuat perempuan ini diharamkan bagi si pezina itu untuk selamanya, maka begitu pula kasusnya dengan seorang perempuan yang terikat perkawinan mut’ah. - Adanya ‘Iddah
Perbedaan
- Jangka Waktu
Salah satu elemen yang membedakan antara perkawinan permanen dan perkawinan mut’ah adalah bahwa dalam perkawinan yang jangka waktunya ditentukan, seorang perempuan dan seorang laki-laki mengambil keputusan bahwa mereka berdua akan menikah untuk jangka waktu yang ditentukan. Dan pada akhir waktu yang sudah ditentukan, jika mereka berdua cenderung untuk memperpanjang waktunya, mereka berdua bisa memperpanjangnya, dan jika mereka tidak mau, mereka bisa berpisah. - Mahar
Dalam perkawinan mut’ah, tidak adanya perincian jumlah mahar meniadakan atau membuat tidak sahnya perkawinan. Sedangkan dalam perkawinan permanen, hal ini tidak meniadakan atau membuat tidak sahnya (sebuah perkawinan). Konsekuensinya adalah kewajiban untuk membayar mahar standar (mahr al-mitsl). - Lingkup Kebebasan
Dalam perkawinan mut’ah, pasangan perkawinan memiliki kemerdekaan yang lebih besar dalam menetapkan syarat sesuai keinginan mereka. Sebagai contoh, dalam sebuah perkawinan permanen seorang laki-laki bertanggung jawab, entah dia suka atau tidak, untuk menutup biaya-biaya hidup harian, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan hidup lainnya, seperti pengobatan dan obat. Namun, dalam perkawinan mut’ah, pasangan nikah disatukan lewat akad merdeka yang disepakati bersama. Bisa saja si laki-laki tidak mau, atau tidak sanggup, memikul biaya-biaya ini, atau bahwa si perempuan tidak mau menggunakan uang laki-laki.Dalam perkawinan permanen, si istri, entah dia suka atau tidak, harus menerima si laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan melaksanakan apa yang dikatakan si laki-laki untuk kepentingan situasi keluarga. Namun dalam perkawinan mut’ah, segala sesuatunya bergantung pada syarat-syarat perjanjian yang dibuat bersama. - Pewarisan
Dalam perkawinan permanen, si istri dan si suami, entah mereka suka atau tidak, akan memiliki hak saling mewarisi, sedangkan dalam perkawinan mut’ah, tidak demikian kejadiannya. Dengan demikian, perbedaan riil dan penting antara pernikahan permanen dan perkawinan mut’ah adalah bahwa perkawinan mut’ah, sejauh menyangkut batas dan syarat, adalah “bebas”. Artinya tergantung pilihan dan akad di antara kedua belah pihak, sesuai dengan prinsip kebebasan yang disinggung di atas. - Masa ‘Iddah
Periode ‘iddah bagi perempuan dalam perkawinan permanen adalah tiga periode menstruasi, sedangkan dalam perkawinan mut’ah, periode ‘iddahnya adalah dua periode menstruasi atau empat puluh lima hari. (Lihat Tahrîr Al-Wasîlah, Imam Khomeini, Bab Nikah). Berbeda dengan perkawinan permanen, yang ‘iddah juga berfungsi sebagai masa tenggang untuk kepantasan dan penyesuaian psikologis, ‘iddah dalam nikah mut’ah selain berfungsi untuk memastikan bahwa perempuan yang baru selesai melakukan mut’ah, tidak mengalami kehamilan.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)