Berita
Perang Digital dalam Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi
Pola pikir, perilaku, termasuk kebudayaan sangat erat kaitannya dengan berita dan informasi yang diterima.
“Dunia yang sudah terdigitalisasi menjadikan siapapun dapat mengakses informasi dari manapun dan kapanpun secara bebas. Indonesia, sebagai salah satu ladang media digital terbesar, jika tidak berhati-hati dalam penggunaannya maka kemungkinan kita akan di acak-acak dalam banyak bidang kehidupan secara tidak sadar.”
Demikian prolog dari Sekjen Ahlul Bait Indonesia, Ahmad Hidayat dalam Diskusi Publik bertema “Perang Digital dalam Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi” yang diselenggarakan oleh DPP Ahlul Bait Indonesia di Jakarta, Sabtu (14/1).
Meski banyak manfaat dari penggunaan media digital, ternyata banyak juga kerugiannya. Ketimpangan keadilan yang berujung pada ketimpangan ekonomi adalah salah satunya.
“Perusahaan-perusahaan besar search engine, sosial media, dan e-commerce mendapat keuntungan yang sangat banyak dari iklan, tetapi tidak mau membayar pajak,” jelas Agus Sudibyo, narasumber dari Dewan Pers.
“Termasuk juga kesulitan kita mengontrol arus informasi yang terlalul bebas di media sosial, berita palsu, hoax, dan sebagainya sehingga di negara kita harus membentuk lembaga siber nasional meski juga masih blank di beberapa sisi,” tambah Agus.
Adie Marzuki, seorang Penggiat Koperasi Digital bernama Digicoop, mengatakan bahwa perang digital ini sebenarnya belum terjadi, kecuali ketika industri kita ini sudah melawan korporasi-korporasi digital raksasa seperti Google dan Facebook.
“Kita mulai membangun daya tawar kita ke korporasi-korporasi itu. Kalau membuat Google dan Facebook untuk membayar pajak saja kita masih sulit, kita belum perang, ini. Kita masih terjajah oleh perusahaan besar ini. Masih terjadi kolonialisasi digital ini, sampai mereka tunduk terhadap regulasi-regulasi yang ada di negara kita dan bukan mereka yang ciptakan,” kata Adie.
“Perang digital yang didefinisikan akhir-akhir ini saya kira kurang pas, kecuali yang terjadi ini hanyalah simptom-simptom dari peristiwa lain misalnya, pengalihan isu, atau manajemen konflik, dan sebagainya yang menggunakan media digital di ranah maya,” tambahnya.
Lebih lanjut Adie manyampaikan bahwa untuk masuk ke persaingan global, maka kita harus bisa membangun industri digital kita sendiri dulu. Sebab industri digital, termasuk di dalamnya ekonomi digital ini bukan hanya tanggung jawab pelaku-pelau industri, tetapi segenap lapisan masyarakat. Keberpihakan masyarakat ini juga yang sangat diharapkan untuk menumbuhkan industri lokal. Kita ini masih terjajah secara digital, jika kita ingin berdaulat, maka kita harus rebut kedaulatan itu. Setelah menyadarkan masyarakat bahwa kita ini terzalimi, serta sumber ekonomi dan potensi potensi kita telah diambil oleh Kapitalis secara digital. (Mujib M/Yudhi)