Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Peran Indonesia Sikapi Tren Takfirisme dan Ekstremisme Global

Persoalan takfirisme dan ekstremisme menjadi perbincangan serius saat ini. Terlebih setelah meningkatnya kekerasan antar agama, teror dan ancaman bom bunuh diri di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara Timur Tengah, seperti Irak dan Suriah. Masing-masing kelompok yang berbeda, tidak hanya mudah saling mengkafirkan satu sama lainnya, berbekal pemahaman bahwa dirinya paling benar dan yang lain salah, mereka pun bahkan menghalalkan segala cara untuk saling basmi dengan teror dan sebagainya.
 
Takfirisme yang identik dengan perilaku ekstrem ini ternyata bukan hanya terjadi baru-baru ini. Dr. Haidar Bagir, seorang Cendekiawan Muslim Indonesia pernah membahas tentang takfirisme ini di laman pribadinya (haidarbagir.com) berjudul “Takfirisme: Asal-Usul dan perkembangannya” (Takfirisme: Asal Usul dan Perkembangannya).

Dalam tulisan itu disebutkan bahwa fenomena takfirisme ini telah terjadi sejak masa awal perselisihan umat Islam. Kemudian mereka dikenal dengan sebutan Khawarij.
 
Fenomena Khawarij menurut Haidar Bagir menandai terbentuknya fenomena takfirisme (takfiriyah) dalam Islam. Yaitu perumusan suatu doktrin pengkafiran yang mereka percayai dan mereka dasarkan pada ajaran Al-Qur’an. Suatu doktrin yang menyebabkan seorang Muslim yang shalat menghadap kiblat yang sama, melakukan berbagai kewajiban keagamaan, memiliki rukun-rukun kepercayaan yang sama, dapat dianggap sebagai kafir. Bukan hanya itu, bahkan menjadi halal darahnya akibat pemberian status kafir itu.

Akhirnya sejarah mencatat, mereka gagal membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash, tapi berhasil menikam dan membunuh Khalifah Ali ketika sedang shalat Subuh di Masjid.
Dua sampai tiga hari Khalifah Ali masih bertahan hidup sebelum akhirnya wafat. Di hari-hari itu Khalifah sempat memberikan wasiat kepada kedua anaknya: Hasan dan Husain. Dan di antara wasiatnya adalah:
“Orang-orang (Khawarij) ini masih akan terus dilahirkan dari tulang-tulang sulbi ayah mereka.”

Seperti yang telah diramalkan dalam wasiat Khalifah Ali, fenomena takfiri yang dikembangkan melalui faham Khawarij tidak sulit ditemui di kehidupan modern saat ini. Dapat dilihat misalnya, perkembangan kelompok ISIS di Suriah dan Irak, serta maraknya bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad. Bahkan juga dapat dilihat perkembangannya di Indonesia saat ini misalnya dalam kasus pengkafirn terhadap Muslim Syiah di Sampang Madura yang berujung pembunuhan dan pengusiran, serta maraknya deklarasi anti Syiah di berbagai daerah di Indonesia.
 
Di dunia internasional, fenomena takfirisme dan ekstremisme ini menjadi perbincangan serius yang kemudian direspon oleh negara-negara Islam. 

Republik Islam Iran misalnya, dalam hal ini berupaya sangat serius untuk menekan perkembangan takfirisme ini. Selain memberikan sanksi tegas terhadap pelaku takfirisme, negara yang mayoritas penduduknya Muslim Syiah ini menggagas pertemuan internasional dengan mengajak ulama-ulama dunia duduk bersama dalam konferensi internasional menolak takfiri. Tidak kurang dari 80 utusan ulama kelas dunia menghadiri konferensi ini.
 
Dari Indonesia, ada 6 perwakilan yang turut hadir dalam konferensi yang diadakan pada pekan terakhir bulan November lalu itu, di antaranya adalah; Prof. DR. Arifuddin Ahmad, Prof. DR. Nasir Dimyati, Prof. DR. Hamka, Prof. DR. A.H. Suyitno, Prof. Zainul Kamal dan KH. Alawi Nurul Alam Al-Bantani dari LTM PBNU.
 
Kyai Alawi dalam sebuah ceramahnya di Bandung Jawa Barat usai pulang dari konferensi itu mengungkapkan bahwa banyak berita-berita yang masuk ke Indonesia telah dimanipulasi, terutama terkait dengan isu permusuhan umat Islam Sunni dan Syiah yang menurutnya hanyalah upaya adu-domba pihak musuh untuk menghancurkan Islam.
 
Kyai Alawi menceritakan, Ayatullah Makarim Sirazi selaku ulama Islam Iran yang menjadi tuan rumah penyelenggara konferensi internasional itu telah menegaskan, betapa pentingnya ukhuwah islamiyah, persatuan umat Islam, tidak ada Sunni, tidak ada Syiah, semua berada dalm satu ikatan Islam. 

“Dan, bahwa di tengah-tengah gencarnya kaum Muslimin menguatkan persatuan umat Islam, sudah barang tentu musuh-musuh Islam tidak akan senang, kalau kedua mazhab terbesar ini bersatu,” tutur Kyai Alawi mengutip pernyataan Ayatullah Makarim Sirazi.
 
Kyai Alawi juga menceritakan berbagai hal terkait persatuan Sunni-Syiah di sana. (Kesaksian Kyai NU Pasca Konferensi Internasional Anti-Takfiri)
 
Sementara, di tengah upaya para ulama dunia yang menginginkan persatuan dan menentang takfirisme dan ekstremisme, di Indonesia perilaku takfirisme ini justru semakin gencar dan berani menampakkan diri. Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) misalnya, dalam waktu kurang dari satu tahun, kelompok ini sudah dua kali mendeklarasikan diri. Pertama di Bandung Jawa Barat (Saya Mewarta, Saya Dianiaya Mereka Bagian 1). Dalam deklarasi pertamanya yang telah menelan korban dan hingga saat ini kasusnya masih mengendap di kepolisian, deklarasi itu dengan leluasa mengadakan acara serupa di Garut Jawa Barat akhir bulan November lalu.
 
Hal ini yang menurut Kyai Alawi merupakan bagian dari agenda Zionisme Internasional, “Dan hal ini juga sudah dibahas dalam konferensi internasional anti takfirisme di Iran,” tutur Kyai Alawi. 

Perihal mudahnya aparat memberi ijin acara semacam itu dilaksanakan, Kyai Alawi menilai ada upaya serius pihak lain yang terkait dalam hal tersebut. “Ini berurusan dengan para pejabat, organisasi, apakah itu LSM, atau apa namanya, yang jelas ada yang membiayai dan ada yang mem-back up,” tegas Kyai Alawi.
 
Apakah perlu upaya yang dilakukan Iran mengumpulkan para ulama sedunia dilakukan Indonesia untuk menekan ekstremisme dan takfirisme ini?
 
 Abdul Khoir peneliti Setara Institute menilai, hal itu penting namun tidak begitu diperlukan di Indonesia. “Keterlibatan dunia internasional tidak bisa diabaikan, memang penting, hanya saja permasalahan di Indonesia terkait hal itu dapat diselesaikan oleh internal sendiri,” kata Abdul Khoir kepada ABI Press saat menghubunginya. 

Khoir melanjutkan bahwa khazanah Indonesia, kearifan lokal, dan falsafah bernegara sudah menjadi bahan yang sangat cukup untuk menyelesaikan permasalahan ekstremisme dan takfirisme ini. Terlebih, ia menilai langkah-langkah yang dilakukan Kementerian Agama terkait isu keberagaman di Indonesia saat ini cukup bagus.

Apalagi terkait tindak tegas kepada pelaku kekerasan, menurutnya Indonesia sudah memiliki instrumen hukum yang jelas. Tinggal pelaksanaannya saja yang perlu dipertegas. (Malik/Yudhi)