Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Pentingnya Pendidikan dan Pengembangan Karakter Bangsa

Pendidikan Karakter Bangsa

Bertepatan dengan peringatan hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2014, Jaringan One On One Friendship mengadakan seminar interaktif nasional bertajuk Kebangkitan Kembali Karakter Bangsa Indonesia di Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jabar. Ratusan anak muda dari berbagai latar belakang dengan antusias mengikuti acara ini.

Salah satu pembicara seminar adalah Haidar Bagir, Direktur Utama Mizan dan Lazuardi School. Mengawali uraiannya, Haidar menjelaskan tentang pentingnya pendidikan karakter. Betapa banyak menurutnya orang yang pandai secara akademis tetapi memiliki karakter yang rendah.

Haidar melanjutkan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara religius ironisnya justru kurang serius dalam melakukan pendidikan dan pengembangan karakter. Sebaliknya, masyarakat Barat yang dianggap sekuler dan materialistik tampak lebih berhasil membangun karakter anak didik. Haidar juga menjelaskan bahwa sistem pendidikan Indonesia masih lebih menekankan pada prestasi akademis ketimbang penyempurnaan karakter (akhlak). Padahal, pendidikan karakter itu merupakan pesan inti Islam, sekaligus lebih menentukan bagi masa depan dan kepribadian anak didik.

Haidar lalu mengisahkan peristiwa yang dialami anaknya saat di Amerika. Anaknya yang sebenarnya tidak terlalu unggul dalam bidang matematika ternyata saat diuji di Amerika malah dianggap memiliki kemampuan untuk mengajar. Artinya, anak-anak Indonesia sebenarnya sudah memiliki kemampuan akademis yang baik, bahkan mungkin lebih baik dari anak-anak Amerika. Tapi mengapa bangsa Indonesia tetap kalah dibanding bangsa Amerika dalam pengembangan ilmu dan teknologi? Jawabannya karena anak-anak Indonesia tidak memiliki karakter-karakter yang unggul.

Kurangnya pendidikan karakter adalah masalah utama yang menyebabkan rendahnya semangat pencapaian, lemahnya kepercayaan diri, kurangnya profesionalisme, pudarnya kredibilitas dan integritas dan sebagainya. Semua ini sebenarnya akibat dari kurangnya pendidikan karakter.

Sementara itu, Co-Founder One on One Friendship, Etin Anwar menjelaskan pentingnya keunggulan itu dimaknai sebagai milik bersama. Di kampus yang baik seperti juga di lingkungan yang baik, bila ada dosen atau profesor yang melakukan kejahatan seperti plagiat misalnya, maka seluruh elemen harus melawan. Etin menjelaskan bahwa tidak ada keunggulan suatu bangsa kecuali dilakukan secara kolektif. “Jangan sampai kita menjadi complicit (ikut membantu dalam kejahatan).”

Etin mengungkapkan ironi yang terjadi akhir-akhir ini. “Ketika masyarakat Barat yang sekuler mulai menyadari bahwa keunggulan itu bersifat kolektif, masyarakat Timur yg religius justru makin kerap melihat keunggulan sbg persaingan antar individu.” Dan ini menurutnya jelas merupakan gejala kemerosotan cara berpikir yang akut.

Selain Haidar Bagir dan Etin Anwar, dalam seminar yang merupakan bagian dari rangkaian acara peluncuran program One On One Friendship ini tampil juga sebagai pembicara, Budhy Munawar Rahman, penulis buku Pendidikan Karakter dan salah seorang pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS). 

One On One Friendship digagas sebagai wadah atau jaringan penghubung persahabatan antar individu, terutama kalangan generasi muda untuk mengkampanyekan budaya dialog, pertukaran budaya, dan terciptanya keadilan sosial di tengah masyarakat. (Musa/Yudhi)