Berita
Pentingnya Dualisme Pikiran dan Perasaan
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mengingat Allah Swt dan pada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Janganlah pula mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-Hadid: 16)
Belumkah tiba waktunya bagi mereka yang keimanan telah menyinari akalnya dan akidah telah mantap dalam jiwanya serta kebenaran telah jelas baginya dan telah mewujud dalam dirinya yang berasal dari risalah paling mulia dari langit untuk memancarkan keimanan dalam jiwanya suatu gelombang perasaan dan membangkitkan di dalamnya suatu emosi khusus yang sesuai dengan karakter keimanan itu dan hakikatnya. Sehingga hati mereka dipenuhi ketundukan pada kebenaran serta melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
Demikianlah Islam menyuarakan perlunya atau pentingnya dualisme pikiran dan perasaan, serta terkumpulnya akidah dan apa yang dituntutnya dari warna-warna emosi dan perasaan sehingga kehidupan berjalan dalam akidah serta menjadi sumber gerakan dan kekuatan, bukan hanya pemikiran rasional yang tidak disangkutpautkan dengan perasaan dan tidak terkait kehidupan.
Inilah siasat umum dari dakwah Islam sebagai dakwah pikiran dan perasaan. Dengan kata lain, dakwah pada akidah dengan apa yang dituntutnya dari berbagai jenis pikiran dan perasaan yang tak hanya semata-mata dakwah pemikiran. Yakni pemikiran yang bertujuan untuk mengembangkan akidah yang sesuai dengannya dan berhenti pada batas ini sebagaimana mazhab mazhab filsafat yang hampa.
Begitu pula, bukan dakwah-dakwah emosional rendahan yang hanya mengeksploitasi perasaan dan hanya mendidik tanpa mendasarkannya pada prinsip-prinsip pemikiran khusus. Namun, dakwah Islam memiliki jalan khusus dalam menggabungkan pemikiran dengan perasaan serta memancarkan perasaan-perasaan atas dasar pemikiran. Sehingga, karenanya, ia tetap langgeng dan lestari sekaligus terjaga dengan karakter pemikiran dan pada saat yang sama memperhatikan aspek emosional dan mengembangkannya dalam kepribadian Islami. Karena, setiap perasaan terinspirasi dari pemahaman tertentu terhadap kehidupan dan alam serta manusia.
Perasaan-perasaan Islami selalu merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman Islami serta refleksi-refleksi emosional darinya. Karena itu, kita menemukan bahwa Islam menyiapkan teologinya dalam setiap ajarannya untuk menjadi sumber atau pancaran dari perasaan khusus yang sesuai dengan ajaran atau teknologi tersebut. Ini sebagaimana kita temukan dalam ayat al-Quran yang mulia yang melukiskan hubungan antara iman dan syariat yang benar serta ketundukan pada-Nya. Ketentuan ini adalah salah satu bentuk dari emosi yang dituntut oleh keimanan itu dan tampaknya akan menjadi hampa dari emosi yang positif.
Dan penyebab hubungan antara pemahaman dan perasaan dalam Islam sangat jelas. Sebab, Islam tidak menginginkan aneka pandangan dan pemikiran yang tidak terkait dengan perbuatan dan tindakan. Namun Islam menginginkannya sebagai kekuatan pendorong untuk membangun kehidupan sempurna dalam ruang lingkupnya dan sesuai dengan batas-batasnya. Jelas, pemikiran dan pandangan tidak akan menjadi demikian kecuali setelah memiliki warna emosi dan saat menciptakan emosi-emosi yang sesuai dengannya serta pelbagai perasaan yang mendukungnya. Perasaan-perasaan ini mengambil sikap positif dalam mengarahkan kehidupan praktis dan perilaku umum.
Pemahaman tentang persamaan, misalnya, yang merupakan salah satu pandangan paling penting yang disampaikan Islam, tidak akan membuahkan hasil pada bidang praktis seperti yang diharapkan selama tidak terpancar perasaan darinya. Seperti perasaan persaudaraan umum yang Islam bekerja untuk mewujudkannya dalam jiwa seorang muslim dan mengikatnya dengan perasaan khusus tentang persamaan sehingga terbentuklah pandangan dalam perasaan emosional yang memancar serta mampu menciptakan gerakan dan pengaruhnya yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan pandangan tersebut.
Berdasarkan itu, kita dapat menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama, sesungguhnya akidah harus menjadi sebagaimana mestinya. Yakni, berupa kaidah pemikiran bagi kepribadian Islam dan fondasi dalam pola pikir kita serta pandangan-pandangan yang sesuai. Begitu pula harus menjadi kaidah dari perasaan yang bersumber darinya kepribadian Islami, dan dikembangkan di dalamnya pelbagai jenis sarana dan metode. Sebab, perasaan yang diinginkan Islam bagi seorang muslim adalah perasaan yang diwarnai pemikiran (awathif al-fikriyah), yakni perasaan yang bersandar pada pandangan-pandangan pemikiran tertentu.
Dan dikarenakam Islam itu kaidah utama dari pandangan pemikiran yang tercipta dari rasionalitas Islam, maka sebagai hasil darinya secara alamiah adalah menjadi kaidah dan sumber utama perasaan jiwa yang paling dalam dan sesuai dengan kadar kedalaman penyerapan risalah (ajaran) pada tempatnya yang utama dari perasaan-perasaan muslim; maka, terangkatlah kepribadian psikologisnya dan menjadi sempurna pula karakter islaminya sebagaimana terangkat pula kepribadian pemikirannya dan menjadi sempurna pula karakternya sesuai kadar keberadaan kaidah Islam dan tetap fokus hanya di dalamnya.
Al-Quran menyampaikan ungkapan indah tentang akidah Islam sebagai sumber utama perasaan yang paling dalam pada jiwa islami: Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, itu lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. at-Taubah: 24)
Akidah Islam harus menjadi–dalam pandangan Islam–sumber kedalaman perasaan pada jiwa seorang muslim seperti perasaan cinta yang mendalam kepada Allah Swt, Rasul-Nya, juga terhadap ajarannya, yang mengungguli semua perasaan dan emosi.
Kedua, sistem umum dalam Islam berdiri atas dasar kombinasi antara pemikiran dan perasaan; maka dakwah Islam membolehkan kombinasi pemikiran dengan perasaan dalam dakwah dan sarana-sarananya. Dan menganggap perasaan yang ada dalam masyarakat yang membantunya untuk keberhasilan politiknya sebagai kekuatan yang dimilikinya adalah dakwah. Namun dengan syarat, harus terdapat pada perasaan-perasaan itu karakter Islam di mana ia berdiri berdasarkan konsepsi-konsepsi pemikiran tertentu yang sesuai dengan pandangan Islam secara umum.
Dakwah tidak dibenarkan untuk terfokus pada perasaan-perasaan rendah yang telah melebur, yang tidak bersandar pada suatu konsepsi dan lebih dibangkitkan oleh perasaan ketimbang dibangkitkan pemikiran. Karena, penyebaran perasaan yang rendah ini dalam masyarakat akan membahayakan dakwah pemikiran yang berusaha mengangkat kecerdasan umat pada tingkatan yang tinggi dan menyelamatkan mereka dari perasaan yang rendah dan tidak bermutu.
Lebih berbahaya dari perasaan-perasaan yang rendah itu adalah perasaan-perasaan yang akar psikologisnya bersumber dari konsepsi pemikiran yang berlawanan dengan konsepsi dakwah. Suatu propaganda yang dapat mempersenjatai perasaan-perasaan itu dengan kekuatan yang menentang dalam bidang tersebut. Atau menggunakannya dan mengeksploitasinya pada masa tertentu, sebagaimana dilakukan sebagian propagandis yang berusaha menutupi identitasnya dalam banyak tahapannya dengan pengarahan-pengarahan yang bertujuan menarik simpati manusia, kendati konsepsi-konsepsinya berlawanan dengan perasaan-perasaan itu.
Politik umum dari dakwah Islam terhadap perasaan-perasaan yang ada pada umat adalah mengeksploitasi sesuatu yang ada darinya, yang bersifat Islami demi kepentingan risalah (agama) dan membela serta memajukannya dalam konteks perlawanan terhadap kekufuran yang ada di setiap tempat. Dus, menjauhkan umat dari perasaan-perasaan rendahan serta mengikis habis seluruh perasaan yang berkarakter pemikiran yang bertentangan dengan Islam yang terdapat pada mereka. Lalu menggantinya dengan perasaan-perasaan yang sahih, yang berotasi dan berjalan dalam ruang lingkup ajaran Islam. Dapat kita katakan bahwa dakwah berusaha mengikat selama-lamanya antara konsepsi-konsepsi dan perasaan serta memancarkan dalam aspek psikologis umat berbagai perasaan yang didukung Islam dari konsepsi-konsepsi itu.
Dan kadar keberhasilannya dalam bidang pemikiran bergantung pada sejauh mana konsepsi-konsepsinya merasuki pemikiran umat. Sedangkan dalam bidang psikologis, semua itu tergantung pada sejauh mana keserasian perasaan-perasaan umat dengan konsepsi-konsepsi tersebut serta sejauh mana kadar keimanan terhadap risalah melahirkan perasaan cinta terhadapnya dan kerelaan berkorban di jalannya serta ketundukan hakiki yang tercermin dalam setiap perkataan dan perbuatan, sebagaimana firman Allah Swt:
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-Hadid: 16)
Ayatullah Muhammad Baqir Sadr, Syahadat Kedua