Berita
Pentingkah Hidupkan Kembali Tradisi Haul Nabi?
Masyarakat Muslim kalangan santri, khususnya di Indonesia mengenal istilah peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya untuk memperingati hari wafat seseorang. Hal itu dilakukan untuk mendoakan agar almarhum/almarhumah diampuni dosa-dosanya dan mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT.
Setiap Muslim tentu mengenal figur Nabi Muhammad saw. Bagaimana tidak, mengimani kerasulannya adalah syarat mutlak seseorang dianggap sebagai Muslim.
Lalu bagaimana umat Islam semestinya memperingati hari wafat (haul) manusia paling agung sejagat itu?
Yang sering kita lihat pada umumnya, masyarakat Muslim Indonesia lebih banyak memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi ketimbang memperingati hari wafat (haul) beliau. Mengapa?
Padahal jika digali melalui berbagai narasi sejarah, terdapat banyak nilai dan pelajaran yang juga dapat diambil dari peristiwa wafatnya Rasulullah saw.
Keduanya (maulid dan haul) dapat saja diperingati tanpa mengesampingkan satu sama lain. Sebab dari setiap rentetan peristiwa sejarah yang dialami Rasulullah saw. terdapat lautan pelajaran yang dapat diselami manusia sepanjang masa.
Bukankah justru terasa aneh manakala kita memperingati haul orang tua, kakek, dan ulama-ulama kita, namun kita tidak memperingati haul Rasulullah saw. yang justru lebih mulia dari mereka semua?
Dalam berbagai narasi sejarah, menjelang wafat Rasulullah saw. disebutkan bagaimana Malaikat Maut dengan segala penghormatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, mengetuk pintu dan memohon izin terlebih dahulu sebelum mengangkat ruh dari jasad suci itu. Hal ini tidak dilakukan terhadap manusia selain beliau.
Diceritakan pula bagaimana Fathimah, putri kesayangan serta penghulu surga dari kaum wanita ini dirundung kesedihan yang mendalam, dan kembali berseri ketika Rasulullah saw. mengabarkan, bahwa Fathimah tidak lama lagi akan menyusul sang ayah.
Di tengah keheningan itu pula, terucap kata-kata keluar dari lisan suci Rasul, “Umatku, umatku umatku…!”
Beruntunglah kita yang menjadi bagian dari umat Muhammad saw. Lisan suci itu memanggil-manggil kita. Mengingatkan kita untuk selalu mengikuti jalan keselamatan yang dibawanya.
Betapa mulianya Rasulullah saw. sehingga dalam sebuah riwayat Jibril as berkata, “Allah SWT telah berfirman: Sesungguhnya Aku telah melarang semua nabi masuk ke dalam surga sebelum engkau (Muhammad saw) masuk terlebih dahulu, dan aku juga melarang semua umat memasuki surga sebelum umatmu memasuki surga.'”.
Apakah kita yang mengaku umat Muhammad saw. lantas dapat berbuat seenaknya? Tentu saja tidak.
Untuk menjadi umat Muhammad tentu harus mengikuti jalan yang diajarkannya: menjalankan segala kewajiban dan meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT, menjalin silaturahmi, menghindari pertumpahan darah, menghormati tetangga, memaafkan orang yang bersalah, bersabar saat ditimpa musibah dan sebagainya.
Ketaatan kepada Allah SWT dan akhlak yang baik tentu menjadi sebuah konsekuensi logis yang harus dilakukan untuk masuk dalam kategori umat Muhammad saw.
Keteladanan itu dapat diselami melalui berbagai cara, entah itu melalui maulid maupun haul Nabi dan berbagai hari-hari bersejarah lainnya.
Kamis, 28 Shafar/10 Desember bulan ini bertepatan dengan haul Nabi Muhammad saw. merupakan momen yang tepat bagi umat Islam untuk kembali berintrospeksi diri dan menyelami khazanah Islam sepeninggal Nabi, minimal agar status mulia sebagai umat Muhammad bisa didapat. (Malik/Yudhi)