Berita
Penjelasan Taqiyah
Seorang pasien yang menderita komplikasi menghadap ke dokter yang telah memeriksanya secara seksama, “Bagaimana hasilnya Bu dokter?” Dokter itu menjawab,“Dari hasil pemeriksaan, Anda mesti bersabar dan terus berusaha untuk optimis.” Dia belum puas, dia tanya lagi, “Bagaimana peluang hidup saya?” Kali ini dokter yang tahu bahwa pasiennya tidak akan bertahan hidup lama berdusta. “Tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Anda akan sembuh.” katanya.
Salahkah dokter? Apakah itu dusta? Adakah dusta yang diboleh-kan dalam ajaran Islam ini? Apakah semua jenis dusta dianggap sebagai sesuatu yang buruk? Bukankah sesuatu dianggap buruk bila didasarkan pada niat yang buruk? Bagaimana dengan dusta dengan tujuan menghindarkan konflik dalam rumah tangga atau masyarakat? Adakah ‘dusta putih’ dalam Islam dan etika? Apakah niat pelaku dan pertimbangan akibat buruk yang akan muncul dapat dijadikan sebagai dasar menjustifikasi ‘baik’ dan ‘buruk’ setiap perbuatan?
Banyak sekali dalil-dalil yang menjelaskan tentang larangan atau haramnya berdusta, baik di dalam Alquran maupun hadis. Antara lain;
- Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya. (QS. Al-Isrâ [17]: 36)
- Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qâf [50]: 18).
Nabi bersabda, “Ciri-ciri orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia dusta, dan apabila berjanji, ia mengingkari, dan apabila dipercaya dia berkhianat.”
Dusta pada dasarnya haram karena konotasi primernya selalu negatif. Ini juga didasarkan pada definisinya yang umum, yaitu mengutarakan atau mengekspresikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Bila dusta dianggap sebagai sesuatu yang mutlak buruk, maka semua jenis dusta, didasari niat baik maupun buruk, adalah buruk. Artinya, keburukan dusta merupakan sifat substansial, bukan aksidental. Demikian pula, kejujuran. Bila kejujuran dianggap baik secara mutlak, maka kejujuran yang dapat mengakibatkan malapetaka dan akibat buruk adalah baik dan wajib hukumnya.
Syekh Muhammad Ridha Al-Muzhaffar dalam kitabnya, Aqâ’id Al-Imâmiyah, menuliskan, “Taqiyah harus sesuai dengan aturan khusus berdasarkan kondisi dimana bahaya besar mengancam. Aturan-aturan ini, tercantum dalam banyak kitab fiqih, beserta seberapa besar atau kecilnya bahaya yang menentukan keabsahan taqiyah sendiri.
Taqiyah tidak wajib dilakukan di setiap waktu; sebaliknya, taqiyah boleh dilakukan, dan kadang-kadang perlu untuk tidak bertaqiyah. Contohnya pada kasus dimana mengungkapkan kebenaran akan melancarkan tujuan agama, dan memberi manfaat langsung kepada Islam; dan berjuang demi Islam; sesungguhnya, pada situasi demikian, harta benda dan nyawa harus dikorbankan. Selain itu, taqiyah tidak boleh dilakukan pada kasus yang berakibat pada tersebarnya kerusakan dan terbunuhnya orang-orang tak berdosa; dan pada kasus yang akan mengakibatkan hancurnya agama, dan/atau kerugian yang nyata akan menimpa umat Muslim, baik menyesatkan mereka atau merusak dan menindas mereka.”
Selain itu, sebagaimana yang diyakini kaum Syiah, taqiyah tidak menjadikan kaum Syiah sebagai organisasi rahasia yang berusaha menghancurkan dan merusak, sebagaimana yang coba ditampilkan pembenci Syiah tentang kaum Syiah; kritik-kritik ini memperlihatkan serangan mereka secara verbal tanpa benar-benar memperhatikan persoalan dan berusaha memahami pendapat kami mengenai taqiyah. Taqiyah juga tidak menjadikan bahwa agama beserta perintah-perintahnya menjadi sebuah rahasia dalam rahasia yang tidak dapat diungkap kepada orang-orang yang tidak menganut ajaran-ajarannya.
Lalu bagaimana dapat, ketika kitab-kitab Imamiyah kaum Syiah yang membahas persoalan fiqih, kalam dan agama jumlahnya begitu banyak, dan telah melebihi batas publikasi, mengharapkan negara lain menyatakan keyakinannya. Imam Khomeini dalam bukunya “Pemerintahan Islam” juga memberikan pendapatnya mengenai taqiyah. Ia meyakini bahwa taqiyah boleh dilakukan hanya apabila nyawa seseorang terancam. Sedangkan pada kasus dimana agama Allah Swt, Islam, dalam keadaan terancam, taqiyah tidak boleh dilakukan walau akan menyebabkan kematian orang itu.
Dalam bukunya, Islam Shia” (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Seyyed Hossein Nasr), ulama Syiah, Allamah Thabathaba’i mendefinisikan taqiyah sebagai suatu kondisi dimana seseorang menyembunyikan agamanya atau amalan tertentu agamanya dalam situasi yang akan menimbulkan bahaya sebagai akibat dari tindakan orang-orang yang menentang agamanya atau amalan tertentu agamanya.
Bahaya besar yang menjadikan taqiyah menjadi boleh dilakukan merupakan persoalan yang telah diperdebatkan di antara banyak ulama-ulama Syiah. Menurut pandangan kami, praktik taqiyah diperbolehkan apabila ada bahaya yang nyata yang mengancam nyawa seseorang atau nyawa keluarga seseorang, atau kemungkinan hilangnya kehormatan dan harga diri istri seseorang atau anggota keluarga wanita lainnya dari keluarga itu, atau bahaya hilangnya harta benda seseorang sedemikian rupa sehingga menyebabkan kemiskinan dan membuat seorang lelaki tidak dapat menopang dirinya dan keluarganya.
Thabathaba’i mengutip dua ayat Alquran sebagai rujukan taqiyah, Kecuali karena siasat (tattaquh) untuk melindungi diri (tuqatan) dari mereka… (QS. Âli ‘Imrân [3]: 28). Mengenai ayat ini, ulama Sunni terkenal, Al-Maududi, memberikan penafsirannya dalam mendukung taqiyah. Perhatikanlah bahwa pada ayat di atas, kata “tattaqu” dan “tuqat” memiliki akar kata yang sama seperti taqiyah.
Ayat kedua, Barang siapa kafir setelah beriman, kecuali orang-orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap beriman; tetapi barangsiapa tetap teguh dalam kekafirannya murka Allah menimpanya dan bagi mereka siksaan yang pedih. (QS Al-Nahl [16]:106).
Kemudian Thabathaba’i menjelaskan, “Sebagaimana yang disebutkan dalam sumber hadis kaum Sunni maupun Syi’ah, ayat ini turun berkenaan dengan Ammar Ibn Yasir. Setelah hijrahnya Nabi Muhammad Saw, orang-orang kafir Mekkah memenjarakan beberapa orang Muslim kota itu dan menganiaya mereka. Mereka memaksa orang-orang untuk meninggalkan Islam dan kembali kepada agama tuhan mereka sebelumnya.
Di antara orang-orang yang dianiaya di kelompok ini terdapat Ammar, Ayahnya, dan Ibunya. OrangTua Ammar menolak keluar dari Islam dan mereka meninggal dalam keadaan teraniaya. Tetapi ‘Ammar, untuk menghindari diri dari penganiayaan dan kematian, pura-pura berpaling dari Islam dan menerima tuhan-tuhan berhala. Ia, oleh karenanya menghindari diri dari bahaya. Setelah bebas, ia meninggalkan Mekkah secara sembunyi-sembunyi untuk pergi ke Madinah. Di Madinah, ia menemui Nabi Muhammad Saw. Dalam keadaan perasaan penuh penyesalan dan tekanan atas apa yang telah ia lakukan, ia bertanya kepada Nabi Muhammad Saw apakah perbuatannya telah mengeluarkannya dari agama Islam. Kemudian Nabi Muhammad Saw berkata bahwa kewajibannya adalah apa yang telah ia lakukan. Ayat di atas lalu diturunkan.”
Dua ayat yang disebutkan di atas turun berkenaan dengan kasus-kasus khusus tetapi maknanya meliputi seluruh keadaan dimana pernyataan keyakinan agama atau praktik-praktik agama secara terang-terangan akan menimbulkan bahaya. Selain ayat-ayat ini, ada banyak hadis yang berasal dari anggota keluarga Nabi Muhammad, yang memerintahkan untuk melakukan taqiyah apabila ada bahaya yang mengancam.
Beberapa orang mengkritik kaum Syiah bahwa bertaqiyah dalam agama bertentangan dengan keberanian. Dengan mempertimbangkan tuduhan ini, akan menjelaskan ketidakabsahannya, karena taqiyah dilakukan pada suatu kondisi dimana seseorang menghadapi bahaya yang tidak dapat ia tanggung dan ia lawan.
Melindungi diri dari bahaya semacam itu dan ketidakmampuan melakukan taqiyah dalam situasi tersebut menunjukkan kecerobohan dan kebodohan, bukan keteguhan hati atau keberanian. Kualitas keteguhan hati dan keberanian hanya berlaku ketika ada sedikit celah keberhasilan dalam usaha seseorang. Tetapi sebelum adanya bahaya yang nyata dimana tidak ada kemungkinan selamat, seperti minum air yang mungkin berisi racun atau melemparkan diri ke tumpukan kayu yang sedang menyala atau berbaring di rel dimana kereta api sedang melintas. Tindakan seperti ini merupakan bentuk tindakan yang gila dan bertentangan dengan logika dan akal sehat. Oleh karena itu, kita dapat meringkasnya bahwa taqiyah harus dilakukan hanya ketika ada bahaya yang tidak dapat dihindari dan tidak ada harapan selamat dari usaha kita.
Dengan demikian, jelaslah, dari kutipan di atas, bahwa kaum Syiah tidak menganjurkan kemunafikan, rahasia, dan kepengecutan, sebagaimana yang diartikan segelintir orang. Mereka telah menjadi korban yang menyalahartikan makna taqiyah dengan kemunafikan. Sebenarnya, taqiyah dan kemunafikan adalah dua hal yang sangat berseberangan. Taqiyah adalah menyembunyikan keyakinan dan menampakkan kekafiran, sedangkan kemunafikan adalah menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keyakinan. Keduanya sangat bertentangan dalam fungsi, bentuk, dan maknanya.
Alquran menyatakan kemunafikan dengan ayat berikut, Ketika mereka bertemu dengan orang-orang yang telah beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi ketika mereka kembali kepada para setan mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami berada di pihakmu, dan kami hanya berolok-olok terhadap mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 14)
Alquran kemudian menyatakan taqiyah dengan ayat berikut, Seorang mukmin dari kalangan Fir’aun, yang menyembunyikan keimanannya, berkata, “Apakah kalian akan membunuh seseorang karena ia mengatakan, Tuhanku adalah Allah?” (QS. Al-Mu’min [40]: 28).
Selain itu, Barang siapa kafir setelah beriman, kecuali orang-orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap beriman, barangsiapa teguh dalam kekafirannya, murka Allah menimpanya dan bagi mereka siksaan yang pedih. (QS. Al-Nahl [16]: 106)
Dan ayat lain menyatakan, Orang-orang beriman tidak boleh lebih memilih orang-orang kafir daripada orang-orang beriman sebagai kawan dan pelindung. Siapa yang melakukan hal itu, putuslah hubungan dengan Allah kecuali karena siasat (tattaquh) untuk melindungi diri (tuqatan) dari mereka… (QS. Âli ‘Imrân [3]: 28)
Dan ketika Musa kembali kepada kaumnya dengan marah bercampur sedih, ia berkata, “Betapa buruknya perbuatan kalian setelah aku meninggalkanmu. Apakah kalian akan mendahului urusan Tuhanmu?” Lalu ia meletakkan kepingan-kepingan batu, dan dipegangnya rambut kepala saudaranya, lalu direnggutnya. Harun berkata, Wahai putra Ibuku! Kaummu telah menindasku dan mereka akan membunuhku. Janganlah engkau membuat senang musuh karena kemalanganku dan janganlah aku disamakan dengan orang-orang yang durhaka itu. (QS. Al-A’râf [7]: 150).
Sekarang, kita melihat bahwa Allah Swt sendiri telah berfirman bahwa salah satu hambaNya yang setia menyembunyikan keyakinannya dan berpura-pura seolah ia adalah pengikut agama Fir’aun untuk menghindari diri dari penganiayaan. Kita juga melihat bahwa Nabi Harun melakukan taqiyah ketika nyawanya dalam bahaya. Kita juga telah melihat bahwa taqiyah dengan nyata diperbolehkan ketika diperlukan. Sebenarnya kitab Allah memberi perintah agar kita menghindari diri dari situasi yang menyebabkan kehancuran secara sia-sia, Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan. (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
Selain perintah Alquran dan Alhadis mengenai diperbolehkannya taqiyah, keharusan itu juga datang dari sisi logis dan rasional. Bagi para peneliti cerdas mana pun, adalah benar bahwa Allah Swt telah menganugrahkan ciptaanNya mekanisme pertahanan khusus dan naluri untuk melindungi diri dari bahaya yang mengancam. Meskipun taqiyah merupakan tingkah laku yang dipelajari, bagaimana pun ia berasal dari naluri untuk melanjutkan kelangsungan hidup yang melekat pada ciptaan. Artinya, tanpa rasa takut dan naluri untuk terus hidup, seseorang menyembunyikan sesuatu yang mungkin membahayakan keberadaannya. Adalah suatu fakta bahwa seseorang dapat mengatasi rasa takut dalam dirinya, dan mengatakan kebenaran meskipun hal itu akan membahayakan dirinya; tetapi ia harus juga mengatur prioritas dan menilai kapan pernyataan kebenarannya akan menjadi tujuan yang lebih tinggi dan kapan hal itu akan tetap sama.
Apabila seseorang akan dibunuh karena ia seorang Syiah, menyembunyikan keyakinannya adalah hal yang sangat penting, apabila menyembunyikan keyakinan tidak menjadi ketidakadilan bagi orang lain. Contohnya, apabila, kami, seorang Syiah, menyangkal keyakinan untuk melindungi diri; dan akibatnya, orang yang tidak berdosa disalahkan, maka kami harus mengaku, meskipun resikonya dibunuh, untuk melindungi orang itu; tetapi apabila penyangkalan kami tidak menjadi ketidakadilan bagi siapa pun, maka kami harus menyembunyikan keyakinan untuk melindungi diri.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)