Berita
Penjaring Rongsokan Kali Manggarai
Istilah menjaring di sungai lazim diidentikkan dengan seseorang yang sedang mencari ikan. Tapi, bagi Madun, daripada menjaring ikan, menjaring barang bekas (rongsokan) di sungai dianggap lebih menguntungkan. Selain berperan membersihkan sungai dari sampah, nilai ekonomisnya lebih tinggi dibandingkan dengan menjaring ikan di aliran beberapa sungai di Jakarta, yang belum tentu juga ada ikannya.
Madun, kakek asal Banten ini sudah lebih dari 15 tahun hidup di bawah jembatan kali Manggarai, Jakarta. Bersama istrinya Nining, dan Sholeh cucunya yang masih berusia tujuh tahun, mereka menyambung hidup dengan bekerja mencari barang rongsokan di Jakarta.
Awalnya, Madun datang ke Jakarta bekerja sebagai kuli bangunan. Namun, pekerjaan sebagai kuli yang dirasa tidak menentu hasilnya, menjadikan ia memilih profesi sebagai penjaring rongsokan.
“Hasilnya lebih pasti,” kata Madun, “Ketimbang kuli bangunan yang kadang kerja, kadang tidak.”
Dalam seminggu, 400 hingga 500 kg barang rongsok; kardus dan botol bekas air mineral berhasil ia kumpulkan. Kepada pengepul, ia menjualnya dengan harga yang berbeda-beda. Untuk kardus, dihargai 2000 rupiah, sedangkan botol bekas (berbahan plastik) dihargai 6000 rupiah. Adanya 400 hingga 500 kg rongsok per-minggu yang ia hasilkan inilah yang mungkin menjadi alasan Madun dan keluarganya mampu melawan dinginnya malam di pinggiran kali Manggarai. Padahal tak ada dinding layaknya rumah dan hanya beratap jalan layang yang bising setiap saat. Belum lagi, sekawanan nyamuk yang seolah kegirangan melihat darah di daging segar yang siap disantap kapan saja.
Tidak hanya Madun, sekitar enam orang dari berbagai daerah juga bernasib sama.
Kamis (4/9) siang, saat ABI Press mendatangi tempat itu, beberapa pemuda tampak istirahat di sela-sela tiang penyangga jembatan.
”Kalau jam segini pada istirahat, tidur,“ kata Madun.
Berbeda dengan Madun yang bersama Nining dan Sholeh, tiap siang hingga sore, mesti membersihkan rongsok-rongsok dari kotoran. Karena rongsok yang sudah dibersihkan dari kotoran dihargai pengepul lebih mahal dibandingkan yang masih kotor.
Begitulah cara Madun dan orang-orang yang tinggal di kolong jembatan itu menyambung hidupnya. Tak terlihat raut wajah sesal atau merasa menderita tinggal di sana. Senyum sapa mereka lontarkan saat ABI Press mampir datang. Canda tawa antara kami pun ibarat canda sesama kawan lama.
Bahkan, Madun sendiri tak segan mempraktikkan caranya bekerja saat menjaring, di sela-sela perbincangan bersama kami.
Rambut yang sudah memutih tak membuat Madun putus asa. Semangat tinggi ia tunjukkan dengan terus bekerja. Meski kadang, bagi sebagian orang, pekerjaan memulung hanya dipandang sebelah mata, namun bagi Madun dan keluarganya, hal itu dianggap lebih mulia daripada harus hidup dengan cara mengemis dan meminta-minta. (Malik/Yudhi)