Berita
Pengurus NU Dilarang Salatkan Jenazah Koruptor
Jakarta – Ketua PBNU Bidang Hukum Robikin Emhas menyatakan, seluruh pengurus NU di berbagai tingkatan dilarang menyalatkan jenazah para koruptor. Pernyataan itu dilontarkannya pada pertemuan di gedung KPK, Selasa 11 Juli 2017 dalam rangka menguatkan dukungan terhadap lembaga antikorupsi itu.
Pada pertemuan itu Robikin Emhas juga menegaskan dukungan PBNU terhadap upaya pemberantasan korupsi melalui penerbitan peraturan kesepakatan ulama sesuai hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama di Cirebon pada 2013.
Salah satu keputusannya, kata Robikin, adalah selurung pengurus NU di berbagai tingkatan dilarang menyalatkan jenazah koruptor.
“Pertama, peraturan itu menyatakan korupsi memiliki daya rusak sedemikian rupa, termasuk juga memiliki implikasi yang luas atas penderitaan rakyat. Maka pelakunya layak dihukum mati. Kedua, menegaskan koruptor tidak boleh atau sebaiknya tidak disalatkan oleh pengurus NU. Jadi pengurus NU dilarang menyalatkan jenazah koruptor,” kata Robikin.
Sebagaimana dilaporkan kbr.id, Ketua KPK Agus Rahardjo mendukung upaya PBNU yang menyerukan pelarangan menyalatkan jenazah koruptor. Menurut Agus, pendidikan agama sangat penting untuk ditanamkan sejak dini demi terciptanya penguatan karakter bangsa.
Larangan menyalatkan koruptor, kata Agus Rahardjo, bisa memberikan dampak luas dalam upaya pemberantasan korupsi di masyarakat.
“Pembentukan karakter bangsa, tidak hanya di sekolah dan Keluarga, tapi pemahaman agama di masyarakat sangat penting sekali. Oleh karena itu, seperti yang disampaikan Pak Robikin bahwa fatwa-fatwa itu sangat penting sekali. Tadi kan disampaikan pengurus PBNU tidak akan menyalati jenazah para koruptor. Itu kan penting memberikan dampak yang luas,” ucapnya.
Pertemuan itu juga dihadiri Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dan sejumlah pengurus PBNU, termasuk Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muslimat NU Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid).
Koruptor Itu Kafir
Nahdlatul Ulama bersama Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia memandang seseorang yang melakukan tindakan korupsi adalah kafir.
Bahkan keduanya merasa perlu menjelaskan pandangannya itu dalam sebuah buku. Kemudian tersusunlah buku dengan Judul: KORUPTOR ITU KAFIR (Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama) yang diterbitkan Mizan tahun 2010.
Seperti terbaca dalam pengantar Bambang, buku ini menghadirkan telaah hukum korupsi dalam Islam. Korupsi merupakan dosa besar tidak kepalang. Meskipun para penulisnya tidak secara eksplisit mengatakan bahwa korupsi dapat menghilangkan keimanan, namun penjelasan itu sangat ditekankan.
“Misalnya Prof Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah mengatakan korupsi adalah syirik modern karena tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya, the power of money,” kata Bambang.
Di dalam Islam, tindakan syirik merupakan perbuatan yang tidak dimaafkan oleh Allah. Bila dipandang korupsi adalah bentuk dari perbuatan syirik, menurut buku ini, jelas para koruptor sejajar dengan para musyrikin. Koruptor akan dilaknat oleh Tuhan, seperi yang tercantum dalam sebuah hadits, “Allah melaknat orang yang melakukan suap (risywah) dan menerima suap,” (HR Ibn Majah).
Sebagaimana dikutip dari Detik, kalangan NU menyodorkan pandangan bahwa korupsi itu sama dengan pencurian. Sebuah hadits mengatakan, “Pencuri tidak mungkin dilakukan dalam keadaan beriman”. Singkat kata, salah satu bentuk tindakan mencuri adalah korupsi itu sendiri. Jika demikian, maka koruptor tidak mungkin melakukan korupsi dalam keadaan beriman pula.
Secara etimologis, kata ka-fa-ra (korupsi), itu bisa berarti mencuri. Ketika hadits itu memaksudkan bahwa tidak mungkin orang yang beriman melakukan pencurian, dalam hal ini korupsi, bisa diartikan bahwa ketika orang melakukan korupsi, hatinya tertutup, sehingga Allah pun dilupakan. (ZM)