Berita
Pengungsi Syiah: Warga Negara Sehari Saja
Mengupas kulit kelapa kini menjadi kegiatan sehari-hari Rasid, salah seorang pengungsi Muslim Syiah Sampang di Rusun Puspa Agro, Jemundo Sidoarjo. Bersama ratusan pengungsi lain, dia berusaha menghilangkan rasa jenuhnya dengan bekerja. Beruntung, ada sebuah pasar dekat rusun yang mau mempekerjakan mereka. Meski hanya mengupas kulit kelapa dengan upah 200 rupiah per biji, pekerjaan ini rela mereka tekuni tiap hari. “Karena hanya ini yang bisa kami lakukan,” kata Rasid.
Hampir dua tahun Rasid dan 200 an warga Muslim Syiah Sampang lainnya menjadi pengungsi. Jenuh menanti janji-janji pemerintah yang tak kunjung ditepati, membuat mereka tak lagi banyak berharap. “Pemerintah sekarang ini lebay mas, janji-janji melulu. Padahal kami dan teman-teman sudah senang saat Pak Presiden berjanji akan memulangkan kami. Tapi ternyata kami dibohongi,” ujar Sura’e, teman Rasid saat ABI Press menghubunginya.
Sura’e awalnya bukanlah pengungsi. Namun karena mendapat tekanan dari sekelompok orang yang memaksa tanda tangan untuk ‘bertaubat’ (kembali ke Sunni), dia mulai menyusul saudara -saudaranya di pengungsian. “Kalau tidak ikut tanda tangan mau di demo katanya,” tambah Sura’e kepada kami.
Pada awalnya, Rusun Jemundo disebut Pemprov Jawa Timur sebagai tempat relokasi sementara sebelum pengungsi dipulangkan kembali. Namun kenyataannya, setelah hampir satu tahun berlalu, sama sekali tak ada penyelesaian lebih lanjut seperti yang dijanjikan pemerintah daerah. Padahal sebelum dipaksa pindah ke Sidoarjo, warga sudah berada di GOR Sampang dalam waktu hampir setahun juga. Banyak hak mereka yang tak dipenuhi, mulai dari hak bertempat tinggal, hak memperoleh pendidikan bagi anak, hak mendapat pekerjaan layak dan sebagainya. Hingga kini, tak terlihat upaya serius pemerintah untuk memenuhi hak-hak itu, termasuk upaya memulangkan mereka kembali ke kampung halaman. Meski pada kenyataannya, banyak warga di kampung yang sudah menanti kepulangan mereka. Hal ini terlihat dari seringnya warga kampung menengok mereka di rusun, meminta agar pengungsi cepat pulang.
Upaya damai antar warga dipertegas dengan adanya deklarasi damai yang ditandatangani bersama oleh kedua belah pihak yang semula termakan provokasi. Upaya lain pun telah dilakukan dengan mendatangi tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk mengambil kesepakatan pemulangan.
Namun, menurut Hertasning Ichlas, Direktur LBH Universalia (lembaga yang selama ini mendampingi korban) justru pihak pemerintah lah yang seperti menghalangi inisiatif baik banyak pihak untuk memulangkan pengungsi. Di sisi lain, menurutnya Presiden SBY dan Gubernur Jawa timur Sukarwo terkesan menunda pembangunan rumah dan kesepakatan pemulangan yang sejak awal dijanjikan. Seperti diketahui publik, SBY pernah berjanji memulangkan pengungsi sebelum lebaran dua tahun lalu atau paling lambat sebelum awal tahun 2014. Namun kenyataannya, janji itu hanya sekadar isapan jempol belaka.
Hertasning lebih lanjut menilai bahwa pengungsi telah dipermainkan oleh kepentingan politik, mulai dari upaya relokasi paksa hingga lamanya waktu mereka diterlantarkan sebagai pengungsi. Ironisnya, setelah sekian lama hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tak dipenuhi, saat pemilu legislatif beberapa waktu, hak memilih mereka justru bisa didapat dengan mudah. Seakan hanya suara pengungsi saja yang penting, sementara nasib mereka adalah soal lain. Jika demikian, apa relevansi pemilu bagi pengungsi selaku korban politik penguasa?
Ada kecewa, namun juga ada harapan. “Ada senangnya juga, karena siapa tahu pilihan kami bisa membantu kami ke luar dari masalah ini,” tutur Nur Cholis salah seorang pengungsi yang diberi kesempatan menggunakan hak pilihnya dalam Pileg kemarin. “Tapi kuatir juga kalau pemimpin yang terpilih nanti tak jauh beda dengan yang sekarang,’’ tambahnya.
Iklil Al-Milal, koordinator pengungsi saat ini, memiliki pandangan lain tentang Pemilu. Dia menggunakan hak pilihnya semata karena ingin membuktikan tanggung jawabnya selaku warga negara yang baik kepada pemerintah. Meski sebelumnya, kekecewaan demi kekecewaan telah ia dapat atas kebijakan pemerintah yang sering membuatnya sengsara. Terutama sejak Tajul Muluk, adiknya, dikriminalisasi dan dipenjara atas tuduhan penodaan agama, sedangkan rumah serta perkampungannya dibakar kelompok massa intoleran beberapa tahun silam.
“Kami ingin memiliki pemimpin yang dapat menegakkan hukum,” tambahnya. Karena menurutnya pemimpin yang sekarang tidak dapat menegakkan hukum tapi cenderung tunduk pada mayoritas dan tekanan segelintir orang. Akibatnya, masa depan pengungsi pun makin tak menentu.
Apalagi dari informasi yang kami dapat dari Iklil, pemerintah telah menghentikan kerja tim relawannya untuk memasak bagi pengungsi, sejak Sabtu (12/4). “Mereka menarik relawan dengan alasan diperlukan di tempat lain, seperti pengungsi Kelud, dan sebagainya.”
Dengan penghentian pemberian jatah makan itu, pihak Pemprov Jatim melalui Biro Kesra berjanji memberikan kompensasi sebesar 750 ribu per bulan per kepala. “Tapi uang pengganti itu kabarnya hanya berlaku selama tahun 2014 saja. Setelah itu, kami tak tahu lagi bagaimana nasib kami ke depan,” ungkap Iklil pasrah.
Di tengah ketidakadilan bermotif kepentingan politik dan kepentingan lain, pengungsi Muslim Syiah Sampang kehilangan haknya sebagai warga negara. Namun saat Pemilu, ketika kepentingan politik membutuhkan suara mereka, mereka kembali diperlakukan layaknya warga negara seperti yang lainnya. Ya. Hanya sehari saat Pemilu itulah mereka menjadi warga negara. Selebihnya, mereka tak lebih dari orang-orang yang terusir di negerinya sendiri. (Malik/Yudhi)