Berita
Penguatan Peran Umat Islam dalam Bingkai NKRI
Sebagai warga mayoritas di Indonesia, umat Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia. Dari zaman perjuangan, sejak awal pendirian Republik ini, hingga saat ini. Dalam masa ini berbagai masalah dan tantangan telah dihadapi oleh umat Islam.
Menyikapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia berencana menggelar acara rutin lima tahunan, Konferensi Umat Islam yang akan dilaksanakan pada tanggal 8-19 Februari mendatang di Yogyakarta. Tak hanya perwakilan umat Islam dari berbagai ormas, juga diundang wakil dari pengusaha muslim, cendekiawan muslim, pondok pesantren, dan perguruan tinggi Islam selain juga wakil dari pemerintah.
“Tujuan kongres ini intinya ingin lebih memperkuat persatuan sesama umat Islam Indonesia. Perbedaan pasti ada. Tapi bagaimana perbedaan itu tidak membuat umat Islam terpecah-pecah dan justru membawa rahmat pada Indonesia,” tutur Arif Fahrudin, Wakil Sekretaris dari MUI. “Tiga hal yang akan dibicarakan yaitu penguatan peran politik, ekonomi dan sosial budaya umat Islam.”
“Misalnya secara politik, banyak sekali kepentingan Islam tidak terakomodir atau malah terpinggirkan. Bagaimana kehidupan umat Islam yang semestinya dikedepankan malah diabaikan. Contohnya misalnya, banyak sekali legislasi-legislasi yang justru bertentangan dengan Islam sendiri,” ujar Arif.
“Akhir-akhir ini juga kita lihat umat Islam seperti ditinggalkan. Perekonomian nasional itu sedikit sekali mengacu prinsip-prinsip kesyariahan, tapi mengacunya ke jalur liberal atau kapitalis. Ini berujung ke masalah sosial budaya,” keluh Arif.
“Kita lihat sekarang, kampung Muslim itu dulu banyak sekali masjid-masjid dan madrasah di pinggir jalan raya. Tapi ke sini, di era kekinian, simbol-simbol spiritualitas Islam makin hilang. Berganti pusat-pusat hedon, glamour, yang itu jauh sekali dari prinsip-prinsip dan peradaban Islam sendiri,” tambah Arif.
Ahmad Hidayat, Ketua Harian Ormas Islam Ahlulbait Indonesia menyambut baik hal ini. Menurutnya Konferensi Umat Islam yang akan diadakan MUI ini bisa menjadi terobosan untuk membangun persatuan umat Islam.
“Kongres Umat Islam yg akan diadakan MUI adalah langkah yang sangat baik, untuk membangun persatuan umat Islam. Kita berharap bahwa MUI benar-benar bisa menghadirkan Islam Indonesia yang menghargai perbedaan dan menjadikan pluralitas itu sebagai modal untuk membangun bangsa dan umat beragama di Indonesia. Syaratnya satu, menghargai perbedaan pemahaman yang ada di dalam tubuh umat Islam,” ujar Ahmad Hidayat.
Apakah Umat Islam Dipinggirkan?
Amin Mudzakir, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia saat ABI Press temui menyatakan bahwa konferensi seperti ini layak diapresiasi sebagai bagian dari penguatan warganegara. Namun Amin juga menganggap ada beberapa kesalahpahaman yang harus diluruskan. Terutama mengenai ekonomi dan budaya.
Menurut Amin, memang secara statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri dalam survei statistik yang berbasis identitas keagamaan menunjukkan bahwa secara ekonomi dan pendidikan, umat Islam banyak berada di posisi ekonomi dan pendidikan yang rendah.
“Tapi itu masuk akal karena Islam itu paling banyak di negeri ini. Tak bisa ditarik kesimpulan bahwa umat Islam Indonesia terpinggirkan atau diabaikan,” ujar Amin. “Secara faktual tak ada usaha yang sistematik, dan terencana meminggirkan Islam. Malah sebaliknya umat Islam di Indonesia mendapatkan banyak kelonggaran dan kemudahan saat ini.”
“Jika kita menilik ke belakang, sejak zaman akhir pemerintahan kolonial, tahun 30-an, ada affirmative action kepada pengusaha pribumi yang Muslim, karena dianggap tertinggal dari Tionghoa,” papar Amin.
“Ini dilanjutkan Soekarno tahun 50-an dengan nama program Benteng. Pemerintah memberikan kredit besar-besaran kepada para santri. Tapi tidak berhasil. Karena uang hanya berputar di keluarga. Mereka kaya-kaya, tapi buat konsumsi saja, tidak buat artikulasi modal,” terang Amin. “Fenomena ini terjadi di sentra-sentra kota santri, Yogya, Solo, Cirebon, Tasik, di pulau Jawa dan beberapa kota kecil di Sumatera.”
Menurut Amin, anggapan bahwa umat Islam banyak diabaikan dan dianaktirikan bermula sejak zaman Orde Baru Soeharto. “Formasi ini berubah sejak Orde Baru. Pemerintah tak lagi punya prioritas kepada pribumi. Apalagi setelah penanaman modal asing besar-besaran, banyak pribumi yang kolaps. Jadi peminggiran itu bukan pada orang Muslim, tapi pada rakyat kecil semua. Walau memang kebanyakan orang Islam.”
Bahaya Pengerasan Identitas
Menurut Amin, memandang persoalan ini sebagai persoalan identitas belaka itu berbahaya. Ini adalah masalah semua rakyat proletar dalam sistem ekonomi global sekarang.
“Yang harus kita kritik adalah sistem ekonomi global sekarang atas peminggiran terhadap kalangan proletar secara sistematik dan diskurtif. Jadi kritiknya harus diarahkan ke sana. Yang kita sebut, neoliberalistik. Dan ini bukan hanya tugas Muslim belaka. Tapi tugas kita yang ingin keseimbangan.”
“Ini bukan masalah identitas. Tapi soal redistribusi,” tegas Amin. “Saya khawatir klaim ‘pengabaian’ tadi bisa mengaburkan permasalahan. Seolah-olah ini adalah satu usaha yang sifatnya anti Islam. Bukan. Ini bukan anti Islam, tapi soal political economy global yang memang cenderung hanya memberi tempat pada perusahaan besar. Ini soal keserakahan dan kapitalisme. Bukan soal agama. Itu misleading.”
“Saya khawatir jika misleading ini tak diluruskan, akan melahirkan kelompok-kelompok fundamental dan ekstrem yang anti Pancasila,” tutup Amin.
Untuk Bangsa dan Negara
Menanggapi kekhawatiran terjadinya pengerasan identitas yang bisa memunculkan kelompok-kelompok fundamental dan anti NKRI ini, Ahmad Hidayat menegaskan kuncinya ada pada keadilan.
“Kekhawatiran terjadinya pengerasan identitas masing-masing pihak itu bisa terjadi kalau ada dominasi antara satu kelompok dengan kelompok lain. Selama negara memberi moderasi dan ruang yang sama kepada anak bangsa dengan latar belakang apapun, sebenarnya mereka memiliki hak yang sama untuk melakukan penguatan-penguatan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik jika ditujukan atau tujuannya untuk membangun bangsa. Kalau ini tujuan utamanya, ini tak ada masalah,” ujar Ahmad Hidayat.
Menurut Arif Fahrudin, semangat konferensi ini adalah dalam bingkai Nusantara. “Bagi MUI Islam itu Indonesia dan Indonesia itu Islam. Maka ada istilah Islam Indonesia atau Islam Nusantara. Itu sudah harga mati MUI. Tak boleh ada negara dalam negara. Tak boleh ada elemen yang ingin merongrong UUD ’45, NKRI, atau menafikan prinsip kebhinekaan. Jika ada, maka itu semua tak hanya musuh negara tapi harus berhadapan juga dengan MUI,” pungkas Wakil Sekretaris MUI itu. (Muhammad/Yudhi)