Berita
Pengorbanan Ahlulbait as dalam Alquran
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas ( berisi minuman ) yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) mata air (dalam surga )yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik- baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana- mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ( ucapan ) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (QS Al-Insan, 5-10).
Poros Pembahasan
Salah satu keutamaan penting bagi Imam Ali as dan para imam yang lain yang memuat pelajaran berharga adalah ayat-ayat surah Al-Insan. 18 ayat dari 31 ayat surah ini berkaitan dengan keutamaan yang sangat tinggi tersebut. Sebagaian pembahasan dari 18 ayat itu menyinggung kisah Ith’am, sedang 14 ayat lainnya membahas pahala yang akan diterima oleh keluarga mulia yang disebut di dalamnya.
Kondisi Turunnya Ayat-ayat Tersebut
Terdapat banyak kitab yang memaparkan riwayat sebab turunnya ayat-ayat di atas. Allamah Amini dalam kitabnya Al-Gadir, menukil sebuah riwayat dari 34 kitab ulama Ahlusunah, sedang Marhum Qadhi Nurullah Syusytari menyatakan riwayat itu dapat dijumpai dalam 36 kitab mereka. Oleh karena itu, riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat-ayat ini adalah mutawatir. Riwayat tersebut demikian:
Pada waktu kecilnya, Imam Hasan dan Imam Husain menderita sakit, Rasulullah akhirnya datang ke rumah Ali dan Fatimah untuk menjenguk kedua cucunya yang sakit tersebut. Saat melihat kedua buah hatinya, Rasul bersabda kepada Imam Ali: nazarlah, supaya Allah menghilangkan penyakit mereka!”
Setelah mendengar itu, Imam Ali langsung berkata: Ya Allah jika kedua anakku ini sembuh maka aku akan berpuasa selama tiga hari. Fatimah juga bernazar demikian; bahkan Imam Hasan Dan Imam Husain –kendati usia mereka masih kecil- melakukan hal yang sama yaitu mengikuti orang tua mereka berpuasa selama tiga hari. Fidhah, pembantu rumah mulia itu kemungkinan besar bernazar hal yang sama.
Tak lama kemudian penyakit dua buah hati Rasul tersebut hilang, dan tiba saatnya bagi mereka untuk melaksanakan nazar. Pada hari pertama, Ali as telah menyiapkan tepung jo (sejenis gandum; kwalitasnya lebih rendah dari gandum) untuk buka puasa selama tiga hari tersebut dan tepung tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian darinya diperuntukkan untuk membuat roti sebagai santapan buka puasa pada hari pertama. Saat hendak berbuka, terdengar suara ketukan pintu, penghuni rumah menuju pintu untuk mengetahui siapa gerangan yang berada di balik pintu. Ternyata di situ sudah berdiri seseorang yang berkata: Salam atasmu wahai Ahlulbait. Kemudian dia berkata, aku adalah orang msikin dan butuh bantuan, maka bantulah diriku!
Imam Ali as memberikan rotinya kepada si miskin, Fatimah juga melakukannya; bahkan semua anggota keluarga yang lain juga menyedekahkan jatah buka puasanya yang tak lain sepotong roti kepada orang miskin yang datang. Dan pada hari itu mereka berbuka dengan air putih saja.
Hari berikutnya mereka juga berpuasa dan dengan sepertiga tepung tadi mereka siap berbuka, akan tetapi terdengar suara dari luar rumah yang berkata: “Salam atasmu wahai Ahlulbait. Merekapun keluar dan bertanya: siapakah anda dan apa keperluanmu? Dia menjawab, saya salah seorang anak yatim di kota ini, aku lapar tolong berikan aku makanan untuk mengisi perutku yang kosong ini. Kembali Ali as memberikan jatah buka puasanya kepada yatim itu dan anggota keluarga yang lain juga dengan penuh keikhlasan mengikuti beliau. Dengan demikian malam kedua sama seperti malam pertama, buka puasa mereka dengan air putih saja.
Pada hari ketiga sesuai nazar, mereka menyempurnakan puasa mereka dan sebagaimana hari pertama dan kedua kisah itu terulang lagi. Kali ini seorang tawanan yang datang dan meminta bantuan dari keluarga suci ini, lagi-lagi seluruh keluarga ini memberikan jatah buka puasa mereka kepadanya dan untuk ketiga kalinya mereka berbuka dengan air saja. Dan akhirnya nazar itu terbayar juga.
Pada hari berikutnya, Rasulullah Saw sangat sedih melihat Imam Hasan dan Imam Husain dalam keadaan lemas yang akibatnya badan mereka bergetar. Di sisi lain, mata sayidah Fatimah cekung. Beliau saw bertanya kepada Imam Ali: wahai Ali, kenapa anak-anak begitu lemah seperti ini dan kenapa raut muka putriku memudar?
Imam Ali a.s. menuturkan kisah yang telah mereka alami dan pada saat itu malaikat Jibril datang dengan membawa ayat-ayat surah Al-Insan ini.
Penjelasan Dan Tafsir Lima Ciri-ciri Ahlulbait as
Empat ayat dari 18 ayat surah ini membahas amal yang dilakukan oleh keluarga suci ini dan 14 ayat lainnya Allah menyebutkan pahala pekerjaan mereka. Berikut ini 4 ayat tersebut di sana terdapat lima ciri-ciri Ahlulbait as:
Menjalankan sumpah dan janji
Pekerjaan pertama keluarga ini yang harus dicontoh oleh seluruh Syiah adalah melaksakan nazar. Akan tetapi sebagain Syiah saat dihimpit oleh musibah mereka bernazar akan tetapi saat nazar itu telah tiba masanya mereka lupa dan mencari-cari alasan untuk tidak melaksanaknnya. Memang sebagai kaum muslim merupakan misdaq dari ayat ini:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
Saat mereka menaiki perahu maka menyeru Allah dengan penuh keikhlasan, (akan tetapi) saat mereka berada di daratan mereka kembali musyrik.[1]
Sedang Ahlulbait as tidaklah demikian dan bukan hanya nazar saja yang mereka lakukan namun semua janji dan kesepakatan mereka kerjakan; karena salah satu tanda-tanda keimanan[2] dan muslim sejati adalah menjalankan segala janji apapun kesulitan yang akan menimpa.
Takut Terhadap Hari Kiamat
Ciri kedua Ahlulbait yang cukup dominan dan disebut oleh Allah Swt dalam ayat ini adalah mereka takut akan hari kebangkitan. Perlu dipahami bahwa ini bukan berarti di sana akan terjadi kezaliman dan hak-hak akan diinjak-injak. Akan tetapi mereka takut karena pengadilan ilahi; mengingat semua amal perbuatan manusia dari yang terkecil hingga yang terbesar akan dimintai pertanggung jawaban. Sebuah pengadilan yang tolok ukurnya terdapat dalam dua ayat berikut: فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ oleh karenanya wajar jika seseorang merasa takut.
Membantu Orang Yang memerlukan
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Ciri ketiga Ahlulbait as yang menjadi poros pembahasan ayat-ayat ini adalah membantu orang yang memerlukan. Keluarga suci ini rela memberikan hal-hal yang mereka perlukan sendiri untuk kepentingan orang fakir. Mereka membantu orang miskin, anak yatim dan tawanan. Dalam ayat ini tiga kelompok masyarakat ini disebut oleh Alquran.
a. Miskin, kata ini diambil dari kata sukun, yang berarti orang yang tidak memiliki apa-apa, kepapaan telah menindih mereka dan membuat mereka melekat ke bumi.
b. Yatim, adalah seseorang yang sudah kehilangan pengayomnya. Seorang yatim bisa jadi tidak merasa kekurangan dalam sisi materi, akan tetapi secara psikologis dia kering akan kasih sayang.
c. Tawanan, adalah orang yang jauh dari rumah, kota dan tempat tinggalnya dan berada di kota lain sendirian dan tidak memiliki siapa-siapa. Seorang tawanan bisa jadi di kota asalnya orang yang cukup akan tetapi saat ditawan dia membutuhkan bantuan dan uluran tangan.
Kongklusinya, seorang mukmin hendaknya membantu orang yang membutuhkan sesuai kemampuan yang dimiliki. Dewasa ini, sebagaian tiga kelompok masyarakat tersebut sudah tidak ada lagi, akan tetapi ada kelompok lain yang juga membutuhkan bantuan.
Ikhlas
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا
Ciri dan keutamaan Ahlulbait yang keempat adalah keikhlasan luar biasa mereka. Mereka berkata: bahwa bantuan yang kami salurkan kepada kalian wahai miskin, yatim dan tawanan hanya untuk mengharap ridho ilahi, dan kami tidak menginginkan balasan sepeserpun dari kalian.
Apakah orang biasa dapat mengatakan seperti ini? Lebih dari itu, jika ucapan terima kasih diganti umpatan dan cemoohan, keluarga suci ini juga tetap pada posisi mereka.
Ikhlas merupakan hal yang sangat berharga dan langka, oleh karena itu Islam selalu menekankan masalah kualitas dan cara pelaksanaan amal bukan kuantitas; artinya satu rakaat salat yang penuh ikhlas itu lebih bernilai di sisi Allah Swt dari pada seribu rakaaat tanpanya.
Takut Kepada Allah Swt
إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا
Ciri kelima mereka adalah takut kepada Allah. Pada ciri kedua, yaitu takut akan hari kebangkitan telah disebutkan dan sekarang disebut masalah takut kepada Allah, apakah kedua hal ini berbeda?
Jawab, tidak mesti takut kepada Allah dikarenakan siksaan api neraka-Nya di hari kiamat kelak, karena bisa jadi ketakutan tersebut berasal dari zat itu sendiri. Saat manusia memikirkan keagungan Allah Swt maka rasa takut akan menguasainya dan seluruh tubuhnya akan gemetar. Sebagaimana seseorang yang menemui tokoh penting dan ingin mengutarakan sesuatu, bisa jadi karena kebesaran tokoh tersebut dia gemetaran dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata; padahal tokoh tersebut orang yang sangat peramah, baik budi dan yang lain. Oleh karena itu ciri kelima ini bukan ulangan dari ciri kedua, dan maksud dari takut kepada Allah adalah disebabkan keagungan dan kebesaran-Nya.
Pahala-pahala Sebuah Itsar Yang Ikhlas
Sebagaimana telah disebutkan 14 ayat dari 18 ayat surah ad-Dahr berkaitan dengan kisah pengorbanan dan sedekah keluarga Ali as juga menjelaskan pahala-pahala yang berlimpah dari pengorbanan yang besar ini; dengan penuh keyakinan dapat dikatakan bahwa tidak ada di dalam Alquran sebuah amal yang memiliki pahala sebesar ini; pahala perbuatan itu disebut lima belas kali secara beruntun dan jika yang kecil-kecilnya dihitung juga maka dalam 14 ayat ini akan didapati 20 pahala. Pahala-pahala ini akan kami jelaskan dalam 12 poin pada artikel selanjutnya.
Catatan Kaki: [1]Surah Al-Ankabut, ayat 65. [2]Dalam hal ini terdapat beberapa riwayat yang dapat dirujuk dalam kitab Mizanul hikmah, bab 302, jilid 1, halaman 346.