Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Pengaruh Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara [5]

Bagian Kedua

Hubungan Sunni-Syiah Masa Kini

Madzhab-madzhab religius di dalam Islam bersifat politik-religius bukan religio-politis yang berarti bahwa pemisahan religius di antara Sunni dan Syiah didasarkan pada ketaksepakatan atas masalah suksesi politis setelah wafatnya Nabi Muhammad dan bukan atas perbedaan religius atau teologis mengenai ajaran-ajarannya sebagaimana termuat di dalam ajaran-ajaran Alquran. Perselisihan mengenai isu suksesi politis menyebabkan munculnya Ummayad dan Syiah Ali yang selama berabad-abad berubah menjadi perbedaan di antara Sunni dan Syiah sebagai madzhab dengan teologi politis yang berbeda. Syiah Ali mula-mula terdiri Syiah Zaidiyah, Syiah Ismaili (Tujuh Imam) yang terdiri dari Syiah Nizari–Mustali–Druze dan Itsna Asyariyah (Dua Belas Imam).

Pembahasan sebelumnya Pengaruh Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara [4]

Sementara Sunni terpisah-pisah karena penafsiran yang berbeda di antara madzhab-madzhab teologi yang berbeda, secara hermeneutis dan politis, seperti Mu’tazilah, Maturidiyah, Ash’ariyah, dan Athari (para pengikut Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taymiyah) juga sekarang ini terwakili dalam bentuk Barelvi/Deobandi/Salafi yah (Salaf awal, para modernis Islam dan Salafi -Wahhabiyah masa kini). Sejarah sektarianisme dalam Islam telah menjadi suatu sumber konflik di antara umat Muslim.74

Alquran tidak mendukung sektarianisme: Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Alquran, 6:159)

Peristiwa-peristiwa politis belum lama ini yang disebutkan di bawah telah memperburuk ketegangan Sunni-Syiah pada tingkat global.

  1. Perang Iran-Irak (1980-1988) konflik bersenjata di antara Iran dan Irak Ba’ath yang didukung oleh Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat yang diarahkan untuk melawan penyebaran Islamisme ke negara-negara otoriter Sunni di Timur Tengah.
  2. Munculnya Irak sebagai negara Arab Syiah di Timur Tengah setelah invasi Amerika ke Irak pada 2003 dan berakhirnya pemerintahan Saddam Husein telah menyebabkan konflik.
  3. Peristiwa Musim Semi Arab (Arab Spring) 2011 juga menyaksikan konflik Sunni-Syiah di Bahrain, Arab Saudi, dan Syria.
  4. Ulama Sunni Yusuf Qaradawi telah menyerukan penghentian peningkatan Syiahisme di negeri-negeri Sunni.
  5. Selama periode setahun terakhir, Indonesia dan Malaysia telah menyaksikan konflik sektarian di antara Sunni dan Syiah pada tingkat nasional.
  6. Raja Abdullah II dari Yordania, menyebutkan “Bulan Sabit Syiah” yaitu, negeri-negeri di mana Muslim Syiah membentuk mayoritas dominan adalah Azerbaijan, Lebanon, Iran, Bahrain dan Irak. Bentuk negeri-negeri ini bila disatukan menyerupai sebilah sabit yang dibedakan dari para tetangga Sunninya. Minoritas Syiah juga ada Turki, Yaman, Afghanistan, Pakistan, Kuwait, Saudi Arabia, India, UEA, dan Syria.
  7. Dukungan popular Sunni untuk Hezbollah dan Hamas Timur Tengah, dikritik oleh para penguasa dan ulama mereka.

Usaha Rekonsiliasi Sunni-Syiah

Ada beberapa usaha untuk merukunkan kembali dan membangun hubungan damai di antara kaum Sunni dan Syiah. Sebagai contoh, di zaman modern adalah fatwa terkenal al-Azhar 1959 oleh Mahmud Shaltut, “Madzhab Ja‘fari yang juga dikenal sebagai al-Syiah al-Imamiyah Itsna Asyariyah juga merupakan madzhab yang benar secara religius untuk diikuti sebagaimana madzhab Sunni lainnya.” [Fatwa Shaykh Mahmud Shaltut tentang Madzhab Syiah (1959) adalah suatu simbol harapan” tersedia di: www.sunniandshia.com/]

Ketegangan politik-religius di antara kedua madzhab Muslim di zaman kontemporer muncul sejak keberhasilan Revolusi Islam di Iran pada 1979 ketika negara-negara Sunni sibuk dalam kegiatan yang ditujukan untuk mencegah penyebaran efek-efek revolusi itu ke lingkungan pengaruh mereka. Tahun 1980-an dan 1990-an menyaksikan fenomena-fenomena pengkubuan dan militansi Sunni-Syiah di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara yang efek-efeknya kelihatan sampai hari ini.

Baca Perbedaan Syiah dan Sunni Menurut Sayyid Ruhullah Khomeini

Sekarang ini tegangan sektarian sedang diperburuk oleh kontroversi atas konversi Sunni-Syiah yang terjadi mulai dari Sudan, Mesir dan Yordania hingga Thailand dan Indonesia dengan Malaysia yang sedang mengawasi dengan ketat usaha konversi yang dilakukan Syiah di wilayah kekuasaan mereka. Oleh karena itu, ada kebutuhan yang mendesak untuk menghidupkan kembali menuju taqrib—pemulihan hubungan baik sebagai usaha serius mulai dari level masjid jalanan hingga level nasional dan kebutuhan untuk pelaksanaannya yang serius sekarang ini. Fenomena taqrib (rekonsiliasi) bukan hal baru. Ijtihad yang dilakukan fuqaha—para ahli hukum seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Rashid Rida, Syekh Muhammad Shaltut, Imam Khomeini, Abul Ala Maududi, dan para filsuf seperti Muhammad Iqbal, Ali Syariati, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah terlibat dalam kegiatan ini. [Ali Rahnema, ed., Pioneers of Islamic Revival: Second Edition, (Zed Books, 2006); John Esposito dan John Voll, Makers of Contemporary Islam, Oxford University Press, 2001]

Contohnya, Jamaluddin al-Afghani berusaha membangun “pendekatan supra-sektarian kepada berbagai deretan (sic) pemikiran Islam yang mempengaruhi  Muslim pada zamannya dan mengilhami mereka dengan pengertian yang lebih baik akan warisan bersama mereka tanpa memandang perbedaan-
perbedaan doktrinal mereka.” [Karim D. Crow dan Ahmad Kazemi Moussavi, Facing One Qiblah Legal and Doctrinal Aspects of Sunni And Shi “ah Muslims (Singapore: Pustaka Nasional, 2005), hlm. 15-16]

Maulana Abul Ala Maududi, pendiri Jamaat-e-Islami, mengupayakan taqrib. Maulana Maududi melakukan usaha untuk menafsirkan kembali doktin-doktrin Syiah di dalam perspektif wacana Islamis yang lebih luas. Dia menyambut Revolusi Islam Iran 1979 dan juga memainkan peran penting dalam pendirian Milli Yikjahati Council (Dewan Kesatuan Nasional) di Pakistan yang bertujuan mengakhiri kekerasan sektarian Sunni-Syiah di negeri itu.

Di pihak Syiah, karya-karya teologis berikut mengutamakan pembangunan kesatuan Sunni-Syiah. Misalnya, karya Ayatullah Muhammad Husein Burujerdi, memandang tradisi-tradisi proto-Sunni sebagai latar belakang bagi yurisprudensi Syiah dan fiqh perbandingan—karya yurisprudensial seperti, al- Fiqh ‘ala al-Madhāhib al-Khamsah—Hukum Islam menurut Lima Madzhab oleh Muhammad Jawad Mughniyah, seorang Lebanon.

Di Iran, Imam Khomeini dan Ayatollah Taleghani melembagakan Shalat al-Jum’ah berjamaah pada hari Jumat (sebagian besar merupakan praktek Sunni sebagai usaha menuju taqrib) mereka berdua memberi prioritas pada konsep maslahah—kesejahteraan publik di Iran Syiah. Usaha-usaha kontemporer dan pendekatan-pendekatan ke arah taqrib seperti pekerjaan yang Dār al-Taqrib, penerbitan Risalat al-Taqrib/ Jurnal Pemulihan Hubungan Baik dari Tehran dan perayaan tahunan “Minggu Kesatuan” yang dilembagakan oleh pemerintah Iran sejak 1984 juga merupakan contoh-contoh berharga dari penerusan usaha- usaha taqrīb di tengah-tengah konfl ik hebat Sunni-Syiah yang sebagian besar didasarkan pada ketaktahuan daripada keilmuan.

Ahmad Kazemi Moussavi mengatakan bahwa meskipun ada usaha-usaha pemulihan hubungan baik, tersembunyi banyak ketakutan di kedua belah pihak akan perpecahan sektraian. Akan tetapi, ada peluang untuk mengembangkan dialog antarmadzhab. Dia menyimpulkan dengan mengatakan: Jika ada kemungkinan untuk pemahaman Sunni-Syiah, itu hanya akan terjadi jika ada kemunculan suatu generasi mujtahid baru yang dapat menggabungkan pengetahuan mereka akan tradisi dengan keilmuan analitis-kritis dalam usaha untuk menghidupkan kembalinilai-nilai Islam. Usaha ini berpotensi untuk menciptakan prioritas- prioritas baru yang akan meninggalkan perbedaan-perbedaan historis dan menghasilkan suatu dialog baru di mana perbedaan-perbedaan tersebut pudar ke latar belakang.”

Baca Sikap Seorang Syiah dalam Menghadapi Perbedaan Menurut Murthada Muthahari

Abdul Karim Crow berkomentar: Jika kaum Muslim yang reflektif di masa kini gagal merebut kesempatan untuk pengertian yang lebih baik akan hakikat perpecahan di dalam tubuh umat melalui pemikiran kembali yang kritis dan berpengetahuan luas akan pembentukan dan evolusi historisnya, maka mereka akan terhukum untuk mengulangi kembali kesalahan-kesalahan di masa silam.

Di masa kini, dua ulama Sunni and Syiah terkemuka yaitu, Syaikh Yusuf al-Qardhawi dari Qatar dan Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri dari Iran, memprakarsai bersama usaha-usaha menuju taqrīb tetapi kini mereka bertengkar karena beberapa alasan seperti politik Timur Tengah. Ketegangan dan konflik yang terus berulang atas nama sektarianisme di sekitar dunia Muslim bertentangan secara langsung dengan nasehat Alquran akan “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (Alquran 3: 103).

bersambung….

Dikutip dari artikel Imtiyaz Yusuf dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *