Berita
Pengaruh Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara [4]
Dampak Persia di Thailand
Persia telah lama berhubungan dengan Asia Tenggara. Jauh sebelum kedatangan orang Persia beraliran Syiah, Sufisme Persia telah tiba di wilayah itu. Sufisme Persia memainkan peran penting dalam penyebaran dan kemunculan Islam sinkretik di Nusantara. Syiahisme awal hadir di kalangan orang-orang Cham di Vietnam dan juga di Indonesia bagian timur di Maluku dan Aceh. Orang-orang Persia penganut Syiah menetap di kerajaan Siam di Ayutthaya di istana Raja Phra Narai (1656-1688). Pemerintahannya adalah yang paling makmur dan menyaksikan kegiatan perniagaan dan diplomatik yang termasyhur dengan bangsa-bangsa asing termasuk Persia dan Barat.
Bahkan, beberapa orang Persia bertugas sebagai Perdana Menteri danduta besar di istana Raja Phra Narai. Orang Persia mengacu kepada Ayutthaya sebagai Shahr-i Naw – Kota Perahu dan Terusan. Di kota ini, setiap tahun diperingati hari Ashura atau 10 Muharram, wafatnya Imam Husein. Upacara Ashura disponsori oleh Raja Phra Narai, seorang raja Buddha. Sekarang, terlepas dari Syiah, Ashura terus diperingati bahkan di kalangan komunitas Sunni di Asia Tenggara. Ada komunikasi diplomatik yang erat di antara Iran Safavid dan Ayutthaya di antara 1660-an dan 1680-an. Ada pertukaran kedutaan besar antara Shah Sulaiman Safavid dan Raja Phra Narai dari Siam.
Laporan mengenai hubungan demikian dan kedaan komunitas Persia di Ayutthaya termuat dalam Safi nah-i Sulaymani atau Kapal Sulaiman karya Ibn Muhammad Ibrahim, sekretaris misi diplomatik Persia ke Ayutthaya yang mencatat rincian misi itu. Catatan itu memuat informasi tentang Raja Phra Narai, istananya, kegiatan-kegitan dan gaya hidupnya, agama, dan kebudayaan rakyat Siam. Catatan tentang agama Buddha menunjukkan bias religius Muslim yang kurang pengetahuan tentang sejarah agama. Pengarang memandang Buddha sebagai para pemuja berhala. Buku itu juga memberi informasi tentang perkampungan-perkampungan orang Persia di Ayutthaya dan kehidupan religius, politis, dan kebudayaannya. Bahasa Thai telahmeminjam beberapa kata-kata Persia seperti gulab (mawar) menjadi kulaap, anggur menjadi angun, farang (orang Eropa/orang asing) menjadi farang, gol-e kalam (kembang kol) menjadi kalam dork dan bazaar (pasar) menjadi bazaar. Pengaruh Persia juga terlihat dari genre sastrawi hikayat di kepulauan Melayu-Indonesia.
Lembaga Chularajmontri atau Churarajmantri Lembaga Syaikh al-Islam didirikan di periode abad pertengahan Islam. Maksudnya untuk mempersingkat hierarki religius, atau ulama, di dalam negara dengan mengangkat seorang ahli di bidang ilmu-ilmu agama Islam sebagai pimpinan religius komunitas. Syaikh al-Islam berfungsi sebagai mufti kepala—ahli hukum kepala, seorang pakar hukum Islam dan penasehat di bidang masalah-masalah keagamaan, baik publik maupun privat, yang terkait dengan negara. Nasehatnya mempunyai otoritas moral, tetapi tidak mengikat secara hukum kepada para otoritas politik. Maksudnya untuk memberi status birokratis kepada pemimpin religius di dalam struktur politis negara yang sedang berkembang dan meluas.
Sejarah Jabatan Syaikh al-Islam terbentuk di Khurasan pada abad ke-10, dan segera diadopsi di bagian-bagian lain dunia Islam: Anatolia (Turki), Mesir, Syria, Iran Safavid, Asia tengah, Kesultanan Delhi dan Cina. Di antara abad ke-14 dan ke-16, jabatan itu melayani fungsi-fungsi yang berbeda di negeri-negeri yang berbeda. Syaikh al-Islam adalah ahli hukum kepala di Turki Utsman, jabatan yudisial yang sejenis di Iran Safavid, yang membagikan hadiah-hadiah kepada kaum Sufi di India, dan dan penguji mandat religius para guru agama Islam di Asia Tengah dan Cina. Turki menghapuskan jabatan Syaikh al-Islam pada 1922. Sekarang, posisi itu masih ada dalam format yang berbeda—dalam bentuk kementerian, suatu majelis, atau individual—di negeri-negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Bosnia dan Tanzania, dan juga di negeri-negeri minoritas-Muslim, seperti Thailand.
Jabatan Chularajmontri atau Syaikh al-Islam di Siam muncul pada masa dinasti Ayutthaya (1351–1767). Pada masa itu Ayuttahaya mempunyai populasi Muslim Syiah yang signifi kan yang pindah dari Iran. Mereka tinggal berdampingan dengan para imigran Muslim Sunni dari Champa, Indonesia dan India. Para saudagar dan sarjana Syiah Persia setempat di Ayutthaya tidak hanya turut dalam perdagangan tetapi juga bertugas sebagai menteri di istana. Mereka mengatur angkatan laut dan perdagangan laut Ayutthaya sebagai bagian dari keahlian profesional mereka. Ada juga pertukaran Duta Bsar di antara istana Persia dan Ayutthaya. Komunitas-komunitas lain di Ayutthaya termasuk orang Cina dan Portugis. Chularajmontri atauSyaikh al-Islam Siam yang pertama, diangkat oleh Raja Ayutthaya Phrachao Songtham (berkuasa 1620–1628), adalah sarjana Syiah Persia, Syaikh Ahmad Qumi (1543–1631). Dia berikan tugas untuk mengatur urusan-urusan komunitas Muslim, dan juga bertugas sebagai menteri perdagangan luar negeri sang raja. [Imtiyaz Yusuf, “Chularajmontri ( Syaikh al-Islam) and Islamic Administrative Committees]
Tiga belas Chularajmontri pertama di Thailand adalah para Muslim Syiah yang merupakan keturunan Syaikh Qumi. Selama periode ini hingga1934, yang menandai berakhirnya Chularajmontri Syiah terakhir, yurisdiksi mereka tidak meluas hingga ke kerajaan-kerajaan Melayu bagian selatan yang independen. Akan tetapi, dengan penggabungan kerajaan Melayu di Patani pada 1906, Islam menjadi agama minoritas terbesar di Thailand; hal ini menciptakan masalah penggabungan rakyat Muslim Melayu ke dalam bangsa Siam. Thailand menjadi monarki konstitusional pada 1932, tetapi ia terus menghadapi masalah-masalah linguistik, etnik, budaya dan religius baru yang berkaitan dengan propinsi-propinsi mayoritas Muslim Melayu di Thailand bagian selatan. Pada 1945, pemerintah Thailand mengesahkan Akta Perlindungan Islam, yang mencoba membentuk suatu mata rantai di antara otoritas politis pusat dan para pemimpin religius komunitas Muslim. Akta itu menciptakan Pusat Islam Thailand yang dikepalai oleh Chularajmontri atau Syaikh al-Islam, dan juga Dewan
Propinsi untuk Urusan Islam.
Dari Bodhisattva ke Insan al-Kamil
Beberapa sarjana yang mengkaji Islam Asia Tenggara berpendapat bahwa doktrin Sufi mengenai Al-Insan al-Kamildan konsepsi Buddha mengenai Bodhisattva membentuk basis interaksi di antara tradisi religius Islam yang baru masuk di Asia Tenggara dan tradisi religius Hindu- Buddha wilayah itu yang sudah mengalami penyesuaian. Masyarakat-masyarakat Asia Tenggara mengikuti pola konversi yang umum. Sebelum kedatangan Islam, konversi sang raja ke Hindu atau Buddha disusul oleh konversi komunitasnya. Demikian pula, konversi seorang raja ke Islam disusul oleh komunitasnya. Karena pertemuan Islam, Hindu, dan Buddha di Asia Tenggara pada dasarnya adalah suatu pertemuan mistisisme religius, banyak konsep-konsep Buddha mendapat nama-nama Islam. Misalnya, raja mengadopsi gelar―sultan setelah konversi, dan kepercayaan kepada roh-roh hutan menjadi kepercayaan pada jinn.
Konsep Al-Insan al-Kamil,yang bermakna manusia paripurna, didasarkan pada hadist profetis yang dilaporkan oleh Ibn Hanbal bahwa, —Tuhan menciptakan Adam dalam citra-Nya, ‘alasuratih. Sufi seperti Ibn al-Arabi (1165-1240), Mahmud al-Shabistari (wafat 1320) dan Abdul Karim al-Jili (1365-1417) mengomentari panjang lebar istilah Al-Insan al-Kamil. Harus diingat bahwa penggunaan istilah Al- Insan al-Kamiloleh mereka berbeda dengan oleh Al-Hallaj (857-922) yang mengacu kepada dirinya sebagai―’Ana al-Haqq (Aku adalah Sang Mutlak), Sang Kebenaran, yang berarti―Aku adalah Tuhan.
Pertukaran sosiopolitis dan religius antara Islam dan Buddha nyata dalam pemakaian gelar-gelar religio-politis Islam oleh para raja-raja Asia Tenggara yang beralih memeluk Islam. Ketika tiba di Asia Tenggara, kaum Muslim seperti yang disebutkan di muka, menjumpai kehadiran serempak Hindu dan Buddha, yang terwujud dalam pemujaan baik Shiwa maupun Buddha. Agama mereka disusun dari campuran doktrin dan konsep religius Buddha dan Hindu. Kedua agama ini dilihat sebagai jalan yang berbeda tetapi sama untuk mencapai moksha dan nirvana—pembebasan dan pencerahan.
Para Sufi penyebar Islam menawarkan cita-cita Al-Insan al-Kamil sebagai suatu konsep Muslim alternatif bagi para raja boddhisatva Hindu-Buddha. Konsep Bodhisattva Buddha digunakan oleh para raja Hindu-Buddha Asia Tenggara untuk mengidentifi kasi diri mereka dengan tokoh Buddha yang diidam idamkan. Karena itu, konsep Al-Insan al-Kamil berfungsi sebagai medium baru untuk dialog antaragama dan konversi di antara agama sinkretik Hindu- Buddha dan Islam. Setelah beralih menganut Islam, raja-raja Indonesia dan Melayu memakai gelar Al-Insan al-Kamil untuk melegitimasi posisi mereka sebagai raja baik secara politis maupun religius.
Raja-raja Hindu dan Buddha di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, yang dulu menampilkan diri sebagai dev raja (penjelmaan Siwa) atau dhammaraja (raja yang mengikuti hukum Buddha), juga mengadopsi gelar seperti Al-Insan al-Kamilatau gelar kerajaan berbahasa Arab-Persia seperti Sultan, Shah atau Zillullah fi al-’alam (Bayangan Tuhan di Bumi). Penyair panteistik Sufi Hamzah Fanshuri menyebut Sultan (Leiden: E. J. Brill), hlm. 39-44. Martin Van Bruinessen, “Studies of Sufi sm and the Sufi Orders in Indonesia,” Die Welt Des Islam, Band XXXVIII, 2 1998, hlm. 201 dan juga olehnya, “Originsand Development of the Sufi Orders (Thariqah) in Southeast Asia” StudiaIslamika,1 (1) 1994: hlm. 1-23]
Aceh di dalam salah satu syairnya sebagai―orang pilihan Allah. Para raja Hindu di Patani secara khusus tertarik pada doktrin Sufi mengenai Al-Insan al-Kamil, dan setelah beralih memeluk Islam menggunakan doktrin itu sebagai cara untuk mempersatukan struktur-struktur sosio-kultural mereka yang rumit. Para Sultan Patani mengklaim bahwa mereka adalah Al-Insan al-Kamil—bersatu dengan Tuhan dan diberkati oleh-Nya. Karena itu, konsep Islam yang baru mengenai Al- Insan al-Kamilcocok dengan kepercayaan mereka sebelumnya. Dengan cara ini, para sultan Muslim Asia Tenggara menampilkan diri sebagai orang suci yang patut diteladani yang mendorong konversi komunitas mereka ke Islam.
Pratek-praktek tapabrata, penyesalan dosa, dan meditasi dilihat sebagai cara-cara untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Hal ini sangat cocok dengan tujuan Hindu dan Buddha yang mencari persatuan dengan Brahman atau Nirvana. Segera muncul juga tafsiran-tafsiran Sufi Melayu atas konsep Al-Insan al-Kamil yang kemudian dikaitkan dengan ide mengenai martabat tujuh—ide akan tujuh tingkatan untuk mencapai keadaan Al-Insan al-Kamil, yang tertinggi dari ketujuhtingkatan itu. Konsep ini dihubungkan dengan Muhammad Fadl Allah al-Burhanpuri (wafat 1590) dan juga dengan para penganut paham wujud Asia Tenggara—para penganut panteis seperti Hamzah al-Fanshuri dan muridnya Shams al-Din al-Sumatrani (wafat 1630).
Para sultan juga dipandang diberkahi dengan kuasa-kuasa istimewa yang mampu melakukan karamat (keajaiban-keajaiban) dan juga memiliki berkah—karunia-karunia spiritual yang dapat mereka berikan kepada orang lain semasa dia masih hidup atau setelah wafat. Gagasan-gagasan demikian tidak jauh dari gagasan Hindu dan Buddha setempat. Oleh karena itu, sejarah agama-agama di Asia Tenggara menggambarkan bahwa kedua konsep berorientasi secara mistis mengenai Al-Insan al-Kamil dan Bodhisattva menjadi dasar bagi dialog di antara Islam dan Hindu- Buddha. Dalam Muslim Asia Tenggara konsep Al-Insan al-Kamil menggantikan konsep Bodhisattva pada level religius, politis, dan sosial. Sebagai hasil fenomena ini, dimensi mistis Islam dan aspek toleran Buddha memainkan peran yang signifi kan dalam membentuk karakter koeksistensi religius di Asia Tenggara. Dengan demikian, perjumpaan di antara peradaban Islam dan Hindu-Buddha yang terjadi di Indonesia, Malaysia, dan Thailand adalah sejenis dialog di antara suatu bentuk monoteistik dan panteistik Islam dan tradisi-tradisi religius monistik dan non-teistik Hindu dan Buddha. Penduduk lokal juga mengadopsi praktek-praktek Sufi dengan pandangan bahwa tapabrata, penyesalan dosa, dan meditasi akan memampukan mereka untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Pendekatan mistis ini sangat cocok dengan pandangan dunia yang sebelumnya mereka warisi dari Hindu dan Buddha.
bersambung….
Dikutip dari artikel Imtiyaz Yusuf dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara.