Berita
Pengaruh Historis Persia Pada Islam Di Asia Tenggara [3]
Imam Ja’far as-Shadiq dan Sufisme
Semua thariqah Sufi (dengan perkecualian satu-satunya, yaitu Naqsabandiyah) selalu mengklaim keturunan dari sang Nabi khususnya melalui Ali bin Abu Thālib, imam pertama Ahl al-Bayt, dan banyak juga yang menyebutkan selselatal-dahab (mata rantai emas), yang menghubungkan mereka dengan delapan dari duabelas Imam. Akan tetapi, Ja’far al-Ṣhadiq, imam keenam menempati tempat tersendiri dalam tradisi Sufisme. Sejumlah Sufi kabarnya dikaitkan dengan beliau; dia dipuji karena pengetahuannya yang termaktub dalam beberapa karya literatur Sufi.
Pembahasan sebelumnya Pengaruh Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara [2]
Banyak ucapan dan tulisan Imam Ja’far mengenai jalan menempuh spiritualitas dihubungkan dengannya. Apa yang dinyatakan dengan tegas menyangkut beliau terkait dengan hal-hal ini, dalam beberapa kasus, jelas-jelas diragukan kebenarannya dan telah menjadi bahan perdebatan.
Garis keturunan Ja’far as-Shadiq mendapat dimensi Sufi bermula dengan cicit Alawi, Moḥammad bin Ali b. Moḥammad bin Ali bin Alawi (1255), yang dikenal sebagai Al-Ustad al-A’zam (Guru Agung); mulai dari masa ini dan seterusnya, dimungkinkan untuk menyebutkan Thariqah Alawiyah, yang dicirikan oleh transmisi kepemimpinan secara turun-temurun.
Thariqah Aydarusiya, secara genealogis merupakan keturunan Alawiyah. Akan tetapi, lebih penting lagi untuk menghitungnya sebagai cabang Kobrawiyah. Thariqah ini didirikan Abu Bakr bin Abdullāh Aydarus (wafat 1508), yang digambarkan sebagai “Pelindung Suci” dari Aden (Löfgren, Aydarus, hlm. 781). Beberapa syaikh Aydarusiya memakai nama lengkap leluhur jauhnya, Ja’far as-Shadiq, yang dengan demikian mengindikasikan suatu klaim akan keturunan spiritual dan juga genealogis dari imam keenam kaum Syiah (Zabidi, fols. 80b-81a).
Baca Biografi Singkat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s
Meskipun Hadhramaut mempertahankan sentralitasnya bagi para anggota Thariqah Alawiyah maupun Aydarusy, banyak anggota dari kedua garis keturunan itu mengunjungi atau menetap di berbagai bagian Asia Tenggara, terutama di Jawa, Sumatra, dan semenanjung Malaysia. Meskipun mereka berpartisipasi dalam penyebaran Islam di sana, pengaruh spiritual mereka pada populasi pribumi, khusuanya dalam kasus kaum Alawiyah, terbatas karena penyisihan yang konsisten para non-Sayyid dari keanggotaan (Attas, hlm. 32). Akan tetapi, sebagian dari mereka menikmati gengsi yang besar di sejumlah kepangeranan Muslim di Nusantara seperti Pontianak, Sulawesi, dan Sulu. Mereka sering saling menikah dengan keluarga-keluarga penguasa (Atjeh 1977, hlm. 35-37).
Berkenaan dengan keturunan Sufi yang sangat luas dari Ja’far as-Shadiq, akhirnya dapat dicatat bahwa, terkesan dengan kemenangan Revolusi Islam di Iran 1978-79, sebagian telah meninggalkan afiliasi mereka dengan madzhab Syafi’i dan sebenarnya, dengan Sunni secara keseluruhan, dan menganut Syiah Dua Belas Imam, yang bagaimanapun juga, pada hakikatnya dikaitkan dengan nenek moyang mereka (Alatas, hlm. 337-39).
bersambung….
Dikutip dari artikel Imtiyaz Yusuf dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara.